Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film. ==Tahun baru, awal baru. Semoga semua cita-cita kamu menjadi kenyataan di tahun 2024! ==

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bersatu dalam Perbedaan, Sebuah Angan atau Kenyataan?

20 Agustus 2019   20:15 Diperbarui: 21 Agustus 2019   10:35 1520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (sumber: NewsCollection.net)

Dulu ketika masih sekolah, saya punya teman baik yang berbeda suku dengan saya, berbeda asal propinsi, bahkan ada yang berbeda ras dan agama. Kami bersekolah, belajar bersama, bermain, bersepeda, menikmati hari-hari kami dengan suka cita. Walaupun saya tumbuh dengan dogma, tidak berarti dogma menjadi penghalang kehidupan sosial saya.

Tumbuh dewasa, saya semakin mengenal orang-orang tidak hanya dari propinsi lain tetapi juga dari negara lain. Beberapa pekerjaan saya mengharuskan saya untuk bekerja sama dengan mereka. Bahkan beberapa atasan saya datang dari belahan dunia lain. Meski berbeda dalam hal asal negara, suku bangsa, ras dan agama, kami memiliki misi yang sama untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik.

Saya merasa bersyukur dapat mengenal orang lain sebanyak-banyaknya. Cara pandang inklusif yang tertanam dalam diri saya secara alami malah membuka pola pikir saya seluas samudera, seluas angkasa. Saya merasa terbebaskan sebagai individu.

Saya melihat bahwa kehidupan yang eksklusif justru berpotensi menghambat pertumbuhan pola pikir. Gaya hidup ini (yang notabene seia sekata dengan egosentrisme) memandang manusia lain yang berbeda dengannya adalah berbeda sepenuhnya. Karena berbeda, tidak mungkin dapat berjalan beriringan. Apabila ingin mencapai kemajuan bersama, syaratnya harus ada aspek primer yang identik.

Saya tidak bisa membayangkan hidup secara eksklusif. Misalnya, sebuah perusahaan yang mensyaratkan karyawan dari satu suku saja, atau dari satu agama saja. Saya juga tidak bisa membayangkan ide sebuah kompleks permukiman yang mensyaratkan warganya dari salah satu agama saja.

Bila kehidupan yang demikian eksis, betapa monotonnya hidup. Hidup bagi mereka ibarat hitam dan putih saja. Tidak ada warna merah, kuning atau hijau. Kehidupan seperti itu tidak mengenal orang lain yang berbeda suku atau mungkin berbeda agama.

Pada akhirnya terjadi keterbatasan pola pikir oleh karena terbiasa bergaya hidup eksklusif. Gaya hidup eksklusif selain berpotensi mendegradasi nilai-nilai persatuan, juga menjauhkan manusia dari makna kemanusiaan.

Tentang kemanusiaan, filosof Jerman Immanuel Kant (1724-1804) pernah mengatakan makna kemanusiaan sebagai "Act in such a way that you treat humanity, whether in your own person or in the person of any other, never merely as a means, but always at the same time as an end" (sumber) yang diterjemahkan sebagai berikut "tindakan sedemikian rupa sehingga Anda memperlakukan umat manusia, baik dalam diri Anda sendiri atau orang lain, tidak pernah memandangnya sebagai sarana, tetapi selalu pada saat yang sama sebagai tujuan."

Intinya hubungan kemanusiaan adalah tentang berjalan bersama menuju harapan atau tujuan. Hal ini selaras dengan inklusivisme yang tidak memandang orang lain berbeda, misalnya dari suku apa atau agamanya apa. 

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tapi tetap satu jua (unity in diversity) adalah modal kita membangun hidup yang serba inklusif.

Tapi tidak salah juga bila pilihan kita adalah hidup yang eksklusif, karena setiap orang memiliki hak untuk hidup sesuai keinginannya. Tetapi coba kita renungkan sekali lagi tentang konsep eksklusivisme yang cenderung mengesampingkan makna persatuan dalam perbedaan. Bahkan kadang memandang hal atau orang lain sebagai sebuah kekeliruan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun