Mohon tunggu...
Balsabah Gatholojo
Balsabah Gatholojo Mohon Tunggu... Penulis - Setiap tulisan adalah anak jamannya

Dan kemerdekaan kata harus diperjuangkan!!!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Karakter Islam Perspektif Tasawuf

13 April 2015   17:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:09 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Salah satu faktor yang diyakini oleh masyarakat dalam kelangsungan hidup manusia adalah pendidikan. Pendidikanlah yang mampu merangsang perubahan sosial kearah terbentuknya suatu kondisi masyarakat yang dicita-citakan. Asumsi bahwa untuk mencapai kemajuan peradaban, salah satu alternatifnya adalah faktor pendidikan. Hal ini disebabkan pendidikan, merupakan masalah yang sangat penting dalam kehidupan, bahkan pendidikan itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Baik dalam kehidupan keluarga, maupun dalam kehidupan bangsa dan negara. Maju mundurnya suatu bangsa sebagian besar ditentukan oleh maju mundurnya pendidikan negara itu.

Dalam dunia pendidikan, pendidikan Islam mulai mengendur seiring perkembangan zaman yang membutuhkan keinstanan dalam berpikir. Keadaan ini tidak terlepas dari membumingnya spiritual materialis, dimana itu membicarakan tentang karakter. Ari Ginanjar dan kawan-kawan juga berbicara tentang karakter, bahkan spiritualis hindu, kristen juga berbicara tentang karakter. Menjadi ironi, tatkala para profesor-profesor Islam tidak membicarakan tentang karakter. Karna sesungguhnya yang harus berbicara tentang karakter ini adalah profesor-profesor Islam ini. Oleh karena itu Rasulullah SAW mengingatkan kita dengan bahasa yang sangat sederhana, bahwa: bu’itsu li utammima makarima akhlak. Sehingga jamak sekali kita melihat orang sakit pergi ke dukun, miris sekali melihat banyak orang datang kepada bukan selain kiai atau ulama. Menjadi benar sabda Rasullullah bahwa diakhir zaman umat banyak menjauhi ulama’.

Pendidikan karakter dalam fenomena pendidikan saat ini begitu urgen diterapkan sebab problematika yang dihadapi anak didik, seperti tragedi kriminalitas yang dilakukan anak didik, tawuran, pertengkaran masal antar pelajar, masuk geng motor, dan lain sebagainya yang harus dijadikan fokus para praktisi pnendidikan di Indonesia ini. Urgensi dari pendidikan adalah mampu menghasilkan pendidikan itu sendiri pada titik tekan moralitas yang baik. Sepandai apapun orang pandai, akan tetapi akhlaknya buruk tidak akan memiliki arti di hadapan masyarakat.

Fenomena moralitas anak didik yang berada pada titik terendah ini disebabkan lingkungan yang tidak kondusif dikarenakan sekedar doa-doa bagi muridnya mengalami desimentasi yang yang sangat luar biasa di negeri ini. Soal spiritualitas yang dibahas ini, bukanlah sekedar do’a. Do’a tadi dianggap saat ini hanya dunia pesantren saja yang masih mengajarkan untuk mendoakan murid-muridnya. Inilah yang membedakan pendidikan pesantren dengan institusi pendidikan yang lain. Bahkan ketika para guru ketika ditanya tentang doa bagi murid-muridnya, jawabannya bermacam-macam, bahkan terkadang karena alasan profesionalitas semata maka setelah selesai mengajar sudah selesai tugas mengajarnya. Disinilah terputusnya komunikasi yang disebut dalam istilah tasawuf­-meminjam bahasa KH. Lukman Hakim- muwasholatul anwar. Konteks spiritualitas inilah yang membedakan institusi pendidikan lain dengan pendidikan pesantren. Sebab pesantren masih mengajar dan mengenal tentang ulumun nafik, barangkali didalam dunia pendidikan nasional kita belum mengenal konsep ulumun nafik ini.

Lingkaran ilahiyah dalam mendidik manusia, diilustrasikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menyebut addabani robbi fa ahsan ta’dibi, Tuhanku mendidikku. Lalu pendidikan itu dipraktekan sebegitu bagusnya, Allahpun mendidiknya dengan cara yang bagus. Dari ilustrasi ini, selayaknya tugas mendidik anak bukan hanya sampai pada tamat dalam hal ihwal pendidikan semata, akan tetapi terus hingga sampai di akhirat nanti. Itulah gambaran sesungguhnya hubungan guru dengan murid yang didasarkan atas konsep ulumun nafik.

Menurut Kh. Lukman Hakim (2014) ulumun nafik adalah ilmu yang dapat menumbuhkan rasa khossyah yaitu rasa takut penuh cinta kepada Allah. Inilah konsep yang idealnya harus muncul dalam dunia pendidikan kita saat ini, mulai dari level TK sampai Perguruan Tinggi. Rupanya konsep khosyyah ini tidak terdapat dalam filsafat pendidikan kita. Oleh sebab itu, inilah analogi dunia pendidikan dari bagian tragedi spiritualitas di dalam membangun karakter.

Klasifikasi ilmu menurut konsep ImamGhozali ada dua, yaitu ilmun nafik dan ilmun ghoiron nafik. Lalu dipertegas oleh ibnu ‘Athoillah: ma kanatil khosyyah fih ilmu nafik itu menumbuhkan impresi khosyyah, khosyyah itu takut dengan penuh cinta. Karena itu Allah menyebut ilmuan yang khosyyah adalah para ulama’. Jadi kalau belajar kata tarbiyah itu diawali di surat fatihah, setelah kita baca bismillahirrohmanirrihom, baru alhamdulillahi robbi kenapa tidak ilahil ‘alamin tapi robbil ‘alamin. Sebab disitu ada proses pendidikan ilahiyah kepada alam semesta (‘alamain atau makhluqot). Simpul dari makhluqot adalah manusia, sebab manusia adalah kunci menuju kepada lillahi ta’ala. Oleh karena itu, hubungan manusia dengan Allah ini dielaborasi sebagaimana sumber awal kependidikan kita.

Mengenai proses didik mendidik antara Allah dan manusia diatas, kita harus telusuri lebih lanjut dari perspektif metodologis atau epistemologi dalam istilah filsafat. Sebab epistemologi yang dikembangkan tidak begitu jelas dimana letak hubungan antara Islam dengan ilmu, hubungan Islam dengan psikologi. Idealnya kita harus mengelaborasi tiga kerangka epistimologi, pertama, epistimologi Islam, kedua, epistimologi imani, ketiga, epistimologi ihsani. Ini yang menjadi kewajiban kita untuk mengelaborasi ketiga epistimologi ini.

Konsep diatas harus dimasukkan ke dalam dunia pendidikan, mana tujuan, mana metodologi, mana prosesing. Konsep ini dalam dunia tasawuf disebut 3T. Pertama, Tazkiyah manusia dibersihkan dulu jiwanya, Kedua, Tahrir yaitu disucikan hatinya, Ketiga, Tanwir yakni pencerahan rahasia batinnya yang dicerahkan bi nurrihi dibeningkan. Dalam istilah yang lebih praktikal dan aplikatif, yaitu takholli, tahalli, tajalli. Sikap yang aplikatif dalam konsep ini menjelaskan bahwa klasifikasi sifat buruk dikelompokkan takholli, sifat baik masuk tahalli, lantas apa out-putnya? Tajalli merupakan model-model karakter manusia yang bagaimana itu tajalli. Inilah yang akan menjadi hasil akhir pendidikan kita dalam membentuk pendidikan karakter. Semoga

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun