Saat orang-orang mendengar kata bakcang, yang biasanya terbayang adalah makanan berisi daging atau kacang. Tapi di Tangerang, bakcang memiliki kisah dan makna yang lebih dalam.
Setiap tahun, di festival Peh Cun, tradisi ratusan tahun ini tetap lestari; ada ritual memandikan perahu di tengah malam, memanjatkan doa di depan perahu naga, hingga kisah tragis seorang pejabat yang rela mengorbankan diri demi negaranya. Tahun ini, saya berkesempatan menyaksikan langsung bagaimana semuanya berlangsung.
Apa Itu Festival Peh Cun?
Peh Cun, atau Duan Wu Jie () dalam budaya Tionghoa, adalah perayaan yang jatuh setiap tanggal 5 bulan 5 dalam penanggalan Imlek. Di Indonesia, terutama di kalangan masyarakat Tionghoa Benteng di Tangerang, tradisi ini dirayakan secara meriah di tepi Sungai Cisadane.
Secara internasional, Peh Cun lebih dikenal sebagai "Dragon Boat Festival" karena adanya perlombaan mendayung perahu naga (kata "peh cun" sendiri berasal dari "peh liong cun", yang berarti mendayung perahu naga dalam Bahasa Hokkian).
Namun, di balik kemeriahan ini, tersimpan kisah pengorbanan Qu Yuan (atau Koet Goan dalam pelafalan Hokkien), seorang pejabat negara Chu di Tiongkok kuno, sekitar tahun 300an sebelum masehi.
Asal Usul Bakcang dan Peh Cun
Qu Yuan dikenal sebagai pejabat yang jujur dan setia. Namun karena fitnah dari pejabat-pejabat lain yang iri hati kepadanya, ia difitnah berniat melengserkan raja hingga diasingkan dari perpolitikan di negara itu. Saat negaranya kalah perang, Qu Yuan merasa gagal melindungi tanah airnya dan akhirnya bunuh diri dengan melompat ke Sungai Miluo.
Rakyat yang mencintainya berusaha mencari jasadnya dengan mendayung perahu di sungai. Mereka juga melemparkan beras ke sungai untuk mencegah ikan memakan tubuh Qu Yuan. Mereka membawa beras itu dengan dibungkus oleh daun bambu. Bungkusan nasi itulah yang kini kita kenal sebagai bakcang.
Pengalaman Mengikuti Peh Cun di Tangerang