Mohon tunggu...
Garvin Goei
Garvin Goei Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog, Akademisi, Penyuka Budaya

Penulis buku Psikologi Positif yang diterbitkan oleh Kompas pada tahun 2021. Pengelola akun instagram @cerdasmental.id. Selain psikologi, suka mempelajari budaya dan mencoba makanan baru.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Vihara (Kelenteng) Jamblang, Warisan Budaya Cirebon

6 Desember 2022   11:35 Diperbarui: 6 Desember 2022   11:54 1247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: dokumentasi Garvin Goei

Dugaan ini didukung oleh catatan bahwa kayu yang digunakan pada atap kelenteng berasal dari pohon yang sama yang digunakan untuk membangun Masjid Agung atas persetujuan Sunan Gunung Jati.

Foto: dokumentasi Garvin Goei
Foto: dokumentasi Garvin Goei

Foto: dokumentasi Garvin Goei
Foto: dokumentasi Garvin Goei

Foto: dokumentasi Garvin Goei
Foto: dokumentasi Garvin Goei

Dinding utama kelenteng berhiaskan dengan panel-panel lukisan yang sudah mulai menghitam karena termakan oleh usia. Saya tidak tahu cerita yang terkandung di dalam panel-panel gambar itu, termasuk penjaga kelenteng juga tidak mengetahuinya, tetapi pengurus mengatakan bahwa ada seorang yang berasal dari Universitas Kristen Maranatha di Bandung datang memotret seluruh panel gambar tersebut dan mempelajarinya. Semoga pada suatu hari saya bisa bertemu dengan beliau dan mendapatkan kisahnya.

Setelah selesai sembahyang, saya mengobrol sejenak dengan Ibu Yani, pengurus yang sejak awal menemani saya. Beliau bercerita bahwa dulunya desa Jamblang ini merupakan daerah pecinan yang ramai dan menjadi salah satu pusat perdagangan, tetapi perlahan-lahan pesona kota tua Jamblang ini menghilang, terutama setelah krisis pada tahun 1998. 

Putra-putra asli pun banyak yang mengadu nasib di kota lain, membuat kelenteng ini tidak seramai dulu lagi. Selain itu, banyak warga Tionghoa desa Jamblang yang tidak mau lagi menganut kepercayaan tradisional Tionghoa dan berpindah ke agama lain sehingga kelenteng ini sudah tidak menjadi pusat persembahyangan warga Tionghoa di sekitar.

Selain itu, di dinding kiri dan kanan pintu ruang altar utama, terdapat dua bingkai naskah yang ditulis dalam huruf Mandarin kuno. Saya tidak dapat membaca isinya, tetapi ternyata sudah ada yang pernah menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia dan difotokopi, pengurus kelenteng memberikan saya satu kopi naskah. 

Ternyata teks ini disebut sebagai "Babad Dinding Kelenteng Jamblang", sesuai letaknya yang berada di dinding kelenteng. Teks ini berisi catatan sejarah kelenteng yang menarik untuk disimak. Misalnya, pada tahun 1817 terjadi Peristiwa Kedongdong yang memakan korban nyawa, tetapi penduduk Jamblang sama sekali tidak mendapatkan gangguan dari kerusuhan itu:

"Pada 1817 (Kee Kheng ke-22 Teng Thioe Shio Goe) di sebelah barat distrik Palimanan oleh pemerintah Belanda telah didirikan sebuah tangsi militer untuk mencegah kerusuhan-kerusuhan. Kerusuhan itu timbul akibat ditolaknya tuntutan orang kampung dari kebebasan pajak. Seorang pegawai negeri bernama Raden Patih telah menjadi korban pembunuhan dalam kerusuhan tersebut. Syukur penduduk Jamblang tidak mendapat gangguan apapun. Kerusuhan tersebut dikenal sebagai Peristiwa Kedongdong karena semula timbulnya dari Desa Kedongdong."

Atau pada tahun 1847 sempat terjadi gempa bumi besar selama 5 sampai 6 kali dalam hampir satu minggu yang menghancurkan sebagian besar rumah di wilayah Jamblang:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun