Mohon tunggu...
Gariza A Robbani
Gariza A Robbani Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Jadilah mata air yang jernih yang memberikan kehidupan kepada sekitarmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kepada Putra-Putra Bangsa yang Pemberani

19 Agustus 2021   10:50 Diperbarui: 19 Agustus 2021   11:17 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.zenius.net/prologmateri/sejarah/a/648/revolusi-mempertahankan-kemerdekaan 

Kawan!

76 tahun kita merdeka dari belenggu penjajah yang telah merenggut pondasi bangsa kita selama ratusan tahun. 76 tahun telah berlalu, kita saksikan sebuah bangsa yang masih merangkak membangun rumah impiannya sendiri. 76 tahun yang penuh luka-liku. Berkelok-kelok ke kiri dan ke kanan. Tapi, hingga saat ini rumah impian yang kita dambakan masih belum selesai terbangun. Disaat yang bersamaan, kita malah terpecah menjadi kelompok-kelompok yang saling berseteru satu sama lain.

Kawan!

Rumah kita saat ini memang tidak sempurna, tapi ini bukan jadi alasan untuk kita agar meninggalkannya terbengkalai. Rumah tersebut membutuhkan setidaknya enam pilar, yang dimana pilar ini perlu kita selesaikan agar kita bisa tinggal didalamnya dengan nyaman. Maka, bergegaslah dan mari kita bangun lima pilar tersebut!

Pilar Pertama: Persatuan Hati

Semuanya bermula dari sini. Kita selalu mengeluh, menyesali, bersumpah serapah mengapa bangsa kita selalu tertinggal dari bangsa lain. Kenyataan yang kita hadapi bahkan lebih pahit daripada kopi. Jiwa kita meronta akan kemajuan tapi disaat yang sama putus asa sehingga menolak untuk menghadapi kenyataan itu dengan menyalahkan orang lain.

Ya, hal ini nampak pada keseharian sebagian dari kita. Ketika ada sebuah kegagalan atau kejadian yang terduga, kalimat pertama yang lahir adalah, "Ini salah kamu!". Introspeksi diri sepertinya hal yang tabu diantara kita. Apakah menyalahkan orang lain itu menyelesaikan masalah? Tidak, malah dia berpotensi membawa masalah turunan lainnya. Kedengkian, perselisihan, permusuhan menunggu kita di depan gerbang kemunduran. Kesabaran, keteguhan hati yang seharusnya dipakai untuk menghadapi persoalan-persoalan yang konstruktif malah terkuras oleh kanker di kalbu.

Sebuah realita yang menyedihkan ketika kita, manusia berakal kalah oleh semut. Dengan mudahnya mereka gotong royong mengangkat remah-remah yang notabene lebih besar dari tubuh mereka sendiri. Sebagaimana semut bisa mengangkat remah itu, lalu mengapa 270 juta manusia tidak bisa bersatu menjaga dan mengangkat integritas dan martabat mereka?

Pilar Kedua: Cinta Bangsa

Semua pribadi yang ada dalam suatu bangsa harus memiliki cinta kepada bangsanya melebihi cintanya kepada diri sendiri. Cinta bangsa berarti mencintai saudaranya sebangsa. Cinta bangsa juga berarti menjauhkan diri dari segala bibit-bibit permusuhan antar anak bangsa. Bukankah kita sudah lelah menyaksikan drama perseteruan yang lebih lucu dari lawakan pelawak itu sendiri? Hanya hati yang sudah mati yang betah menyaksikan pembunuhan karakter antar sesama putra bangsa. Apakah kita rela melihat Ujang berkelahi dengan Daeng dan Teuku bermusuhan dengan Abimanyu? Sementara musuh-musuh kita menunggu kematian bangsa ini.

Pilar Ketiga: Pendidikan

Kita mengakui, bahwa tidak semua dari saudara kita mendapatkan kualitas pendidikan yang sama baiknya. Keterbatasan teknologi, sulitnya jaringan dan akses pendidikan, budaya orang dalam, keterbatasan biaya dan yang lainnya masih menjadi kanker bagi pendidikan bangsa di masa kini. Disisi lain, hal ini semakin kontras ketika pendidikan semakin mudah diakses melalui teknologi. Transformasi zaman dengan kecepatan yang cukup mengerikan membuat dunia pendidikan pun memasuki kancahnya di dunia maya. Buku fisik digantikan ebook. Seminar, kuliah, kelas pembelajaran, yang semakin mudah diakses karena menyediakan opsi online. Ruangguru, Zenius, Pahamify, hingga Coursera serta EDx menjadi bukti nyata atas semua ini.

Tiba-tiba muncul dua pertanyaan. Pertama, apa sebenarnya maksud dari kontradiksi kesulitan dan kemudahan akses pendidikan diatas?

Hal tersebut merupakan alarm keras bagi orang-orang yang diberi rezeki kemudahan teknologi, bahwa tiada alasan lagi untuk 'bermalas-malasan' belajar. Kita yang diberi kemudahan teknologi tersebut mesti memanfaatkannya sehingga menjadi wasilah meratanya pendidikan ke seluruh Indonesia. Kemudahan ini bukan bentuk eksklusifitas tapi, berupa tanggung jawab yang Allah berikan kepada kita. Misi suci untuk mencerdaskan bangsa sehingga kita menjadi bangsa yang maju. Untuk menyebarkan kembali pendidikan tersebut kepada orang-orang yang terbatas terhadap akses pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun