Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Jurus Ahok Atasi Macet Jakarta

29 Juni 2015   12:36 Diperbarui: 29 Juni 2015   12:36 16037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jakarta dan kemacetan lalu-lintas seperti dua sejoli. Malah ada yang berkelakar, “Kalau tidak macet, bukan Jakarta namanya”. Ya, kemacetan memang coba terus diurai Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Soal kemacetan, Jakarta memang tiada duanya. Hasil penelitian bertajuk Castrol’s Magnatec Stop-Start Index yang dilakukan perusahaan oli motor, Castrol, baru-baru ini menyebutkan, Jakarta menempati peringkat teratas sebagai kota termacet di antara 78 kota lainnya di dunia. Dampaknya, rata-rata kendaraan di Ibu Kota harus berhenti dan berjalan lagi dalam satu tahun (stop-start per car per year) adalah sebanyak 33.240 kali. Bandingkan dengan Brisbane (Australia) yang mencapai 6.960 kali, Antwerp (Belgia) dengan catatan 7.080 kali, Paris (Perancis) 18.000 kali, dan Buenos Aires (Argentina) dengan indeks stop-start mobil per tahun menyundul angka 23.760 kali.

Ya, semua pasti setuju, problem kemacetan di usia Jakarta yang sudah 488 tahun ini memang menyebalkan. Sejumlah luapan hati warga terkait derita kemacetan, terbaca di bawah ini.

Blogger Asita DK menghitung kerugian waktu sebagai efek terjebak macet. “Yang rumahnya di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi, setiap hari berangkat dan pulang kerja, rata-rata memerlukan waktu dua jam. Jadi pulang-pergi ke tempat kerja, empat jam terbuang waktu di jalan. Bekerja 8 jam, waktu di jalan 4 jam. Total meninggalkan rumah, 12 jam. Kebahagiaan buat warga Jakarta hanya sederhana. Kalau sedang pergi keluar rumah tidak macet dan tidak antri kalau sedang beraktivitas”.

Hal yang hampir senada disampaikan blogger Ign Joko Dwiatmoko. Dalam tulisannya dia berpendapat, “Sekarang keluar dari rumah rasanya menjadi siksaan luar biasa. Saya yang hidup di perkampungan padat penduduk di Kapuk Cengkareng merasakan, betapa populasi kendaraan bermotor telah mencapai titik jenuh. Ngabuburit yang harusnya nyaman dilakukan menjelang buka puasa, menikmati suasana sambil menunggu datangnya senja, terasa menyakitkan karena jalan-jalan sudah penuh dengan kendaraan. Bahkan saat terjebak kemacetan, emosi bisa-bisa meluap karena setiap pengendara tidak mau mengalah, dan terus merangsek ke depan. Tidak banyak orang mau mengalah untuk membuka jalan demi tertibnya lalu lintas”.

Kemacetan di Jakarta tidak saja terjadi pada jam-jam sibuk. (Foto: rmol.com)

Pernyataan bijak meluncur dari Tjiptadinata Effendi. Penulis blog kelahiran Padang, 21 Mei 1943 ini mengatakan, “Di negeri kita, orang boleh datang dan pergi sesuka hati, asal jangan melanggar aturan setempat. Namun, kalau memang kita sudah bertekad mau tinggal dan menjadi penduduk DKI, tentu harus menerima dengan segala konsekuensinya. Setidaknya, sudah mau menerima, bahwa banjir dan kemacetan adalah bagian yang tak terpisahkan di Jakarta. Menerima, berarti diam. Tidak perlu sumpah serapah berkepanjangan: ”Jakarta banjir, Jakarta macet, Jakarta begini-begitu ...” Bagi yang mau dan sudah memutuskan tinggal di Jakarta, tentu dengan resiko, menerima kenyataan, bahwa ya begitulah Jakarta itu”.

Tak hanya mengakibatkan kicau masyarakat di media sosial, kemacetan Jakarta ternyata juga mengakibatkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Arie Setiadi Moerwanto, angka kerugiannya mencapai Rp 65 triliun per tahun. “Tidak hanya dari sisi pemborosan waktu dan BBM, tapi juga efek psikologis dan kesehatan warga Ibu Kota,” ujarnya baru-baru ini.

Kerugian ekonomi akibat kemacetan Jakarta memang sudah beberapa kali disigi. Pada 2005, Yayasan Pelangi menyebut angka Rp 12,8 triliun per tahun, yang meliputi nilai waktu, biaya bahan bakar, dan kesehatan. Sebelumnya, menurut SITRAMP II tahun 2004 disebutkan, bila sampai 2020 tidak ada perbaikan, maka taksiran kerugian ekonomi melesat hingga Rp 65 triliun per tahun.

Efek domino kemacetan berimbas pada berkurangnya mobilitas warga. Mobilitas yang lemot berakibat pada produktivitas warga ikut merosot.

Sejumlah kebijakan telah dan sedang dilaksanakan. PERTAMA, tentu masih ingat ketika Polda Metro Jaya memberlakukan larangan melintas bagi sepeda motor di jalan protokol (Jalan MH Thamrin dan Jalan Medan Merdeka Barat). Setelah berlangsung sekian waktu, hasil evaluasi membuktikan kebijakan ini mampu mengurangi simpul-simpul kemacetan di jalan protokol hingga 30 persen. Sudah tentu, pelanggaran lalu-lintas menjadi berkurang sehingga dampak positifnya lagi, jumlah kecelakaan di jalan raya pun dapat ditekan. Penurunan angka laka-lantas sepanjang 2013 – 2014 mencapai 8,9% di seluruh wilayah hukum Polda Metro Jaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun