Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

2018, Tahun Jokowi Bersih-bersih Korupsi

1 Januari 2019   08:04 Diperbarui: 1 Januari 2019   08:51 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KPK dan hasil OTT. (Foto: suratkabar.id)

Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), pada penghujung 2018, menjadi bukti Pemerintah benar-benar ingin mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. OTT terkait kasus suap sejumlah proyek pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) tahun anggaran 2017-2018. Sampai terompet tahun baru 2019 selesai dibunyikan, sudah delapan yang ditetapkan sebagai tersangka.

Kalau dibandingkan antara OTT KPK (di lingkungan Kementerian PUPR, dan sebelumnya di Kementerian Pemuda dan Olahraga) dengan yang dilakukan terkait PLTU Riau 1, misalnya, maka besaran uang yang disita KPK ya rata-rata samalah, ratusan juta sampai miliaran rupiah.

Tapi, bukan nilai uang rampasan itu yang patut kita soal. Toh, besar-kecil sama saja. Itu uang haram, uang setan, karena diperoleh dengan cara tipu-tipu yang lihai pun ilegal. Fokuslah pada "serial" OTT yang dilakukan lembaga anti-rasuah itu. Tak peduli sang menteri (Menteri PUPR Basuki Hadimuljono juga Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi) merupakan sosok-sosok yang selalu dekat dengan Jokowi dimana pun berada, tapi yang jelas, operasi penangkapan para tersangka "tikus-tikus kantor" tak ada sungkan untuk dilakukan.

Ini membuktikan komitmen Jokowi untuk mengedepankan pemerintahan bersih. Berkali-kali, Calon Presiden nomor urut 01 ini menegaskan sikapnya yang tidak akan berkelindan dengan praktik korupsi.

Sekali waktu, Presiden Jokowi menyatakan, "Kita ingin membangun sistem yang baik dengan akuntabilitas yang akurat dengan melalui pembangunan sistem e-budgeting, e-purchasing, e-catalogue, e-audit, serta pajak online yang mampu memperkuat sistem pemerintahan baik di pusat maupun di daerah."

Sosok Presiden yang menerapkan kejujuran dan komitmen untuk tidak korupsi, dimulai dari diri sendirinya sendiri, lalu disampaikan kepada keluarga, kemudian menular ke para pembantunya (menteri-menteri), memberi penguatan kembali pada perjalanan bangsa ini yang sudah jumud dengan praktik NKKN (nakal, korupsi, kolusi dan nepotisme).

Artinya pula, Jokowi tak melupakan janji-janji kampanye politiknya, untuk melaksanakan Nawa Cita, sembilan agenda prioritas. Utamanya, butir Nawa Cita kedua, yaitu: "Membuat Pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan."

Begitu pula dengan butir Nawa Cita keempat. Jokowi (juga JK) menegaskan sikap untuk, "Menolak Negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan pemerintahan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya."   

Maka tak berlebihan bila semestinya, tagar #BersihBersihKorupsi bolehlah disematkan kepada pemerintahan Jokowi-JK, sepanjang 2018 yang baru saja berlalu. Maksudnya, Pemerintah rajin melakukan bersih-bersih perilaku korupsi. Tak peduli apakah kemudian para tersangka -- yang mengenakan rompi oranye "hadiah" KPK -- itu merupakan tokoh-tokoh dari gerbong partai politik pendukung sekalipun.

Semua ini memberi optimisme sekaligus meyakinkan kita semua, bahwa bersama komitmen Presiden Jokowi yang antikorupsi, maka wajar bila dalam penilaian global, Indonesia menjadi negara yang paling berkomitmen guna pemberantasan korupsi. Dalam jargon anak jaman now, apa yang dijanjikan Jokowi kemudian sekaligus pula dibuktikannya, merupakan "karya" yang luar biasa. #IniKaryaKamu ... begitulah tagarnya kira-kira, untuk memberi apresiasi atas komitmen Pemerintah yang antikorupsi.

Masih ingat, ketika Prabowo Subianto, Capres nomor urut 02 menuding praktik korupsi di Indonesia ibarat kanker stadium 4, 'kan? Prabowo juga menyebut, elite pemerintahan Indonesia -- bukan cuma elite politik, tapi juga menteri dan hakim --- sarat korupsi dan suap-menyuap. Akibatnya, tuduh Prabowo, jurang kesenjangan sosial akar rumput dan pejabat yang sarat rasuah semakin lebar. Kemiskinan rakyat Indonesia, pun meningkat.

Maka tak perlu Presiden Jokowi yang lebih dulu bereaksi dan membantah tudingan itu. Tapi, justru KPK yang membeberkan fakta maupun data, demi membantah apa yang disampaikan bekas menantu pemimpin Orde Baru Pak Harto itu.

Kata Ketua KPK, Agus Rahardjo, korupsi di Indonesia saat ini, justru lebih baik dibandingkan dengan zaman akhir Orba. Ketika 1999, saat relatif baru ditinggalkan Orba, indeks persepsi korupsi Indonesia hanya 17. Sejak itu, pelan tapi pasti, indeks kemudian bergerak naik.

"Pada awal reformasi, indeks persepsi korupsi Indonesia berada di posisi paling buncit di Asia. Malah, di Asia Tenggara, Indonesia berada di peringkat empat di bawah Malaysia dan Brunei Darussalam. Namun apa yang terjadi? Justru saat ini, posisi indeks persepsi korupsi Indonesia telah melampaui kedua negara tersebut. Sekarang, mereka di bawah kita," ujar Agus kepada media, saat November 2018.

Oh ya, masih terkait KPK, sepanjang 2018 kemarin, OTT yang dilakukan terhadap sejumlah pejabat di lingkungan Kemenpora adalah merupakan operasi "senyap" oleh tim penindakan yang ke-29 kali. Ckckckckkk ... bersih-bersihnya keterlaluan (hebat) ini, hahahahaaaa ...  Nah, dengan begitu, OTT yang kemudian dilanjutkan terhadap pejabat di lingkungan KemenPUPR, menjadi genap yang ke-30 kali. Mereka yang terlibat mulai dari gubernur, bupati, wali kota, hakim, anggota DPR, kepala kantor, hingga deputi kementerian.

#SemuaIniBerkatKamu     

September 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) 2018 sebesar 3,66 dari skala 0 sampai 5. Semakin mendekati angka 5, maka menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin antikorupsi. Sebaliknya, nilai IPAK yang kian mendekati 0 justru menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap korupsi. Karena angkanya 3,66 maka capaiannya termasuk diantara 2,51 hingga 3,75 yang artinya: Anti Korupsi.

Memang ada penurunan sedikit, bila dibandingkan IPAK 2017 yang mencapai 3,71. Tapi tetap, masih dalam rentang kategori "Anti Korupsi". Bandingkan dengan IPAK 2012 yang nilainya 3,55.

Terkait IPAK 2018, indikator yang bisa diambil misalnya:

Persepsi terhadap kebiasaan/perilaku antikorupsi di masyarakat dikelompokkan dalam tiga lingkup (keluarga, komunitas, dan publik).

Kita comot dua indikator saja dalam lingkup keluarga, yaitu:

  • Persentase masyarakat yang menganggap tidak wajar sikap istri menerima uang tambahan dari suami di luar penghasilan tanpa mempertanyakan asal-usul uang tersebut meningkat dari 77,37 persen (2017) menjadi 77,48 (2018).
  • Persentase masyarakat yang menganggap tidak wajar sikap pegawai negeri menggunakan kendaraan dinas untuk keperluan keluarga dari 75,58 persen (2017) menjadi 79,26 persen (2018).

Di lingkup komunitas, juga senyum kita bisa melebar membaca dua indikator IPAK 2018, karena:

  • Persentase masyarakat yang menganggap tidak wajar sikap memberi uang atau barang kepada Ketua RT, RW, Kades, Lurah ketika suatu keluarga melaksanakan suatu hajatan, dari 56,30 persen (2017) menjadi 58,64 persen (2018),
  • Persentase masyarakat yang menganggap tidak wajar sikap memberi uang atau barang kepada tokoh masyarakat lainnya ketika suatu keluarga melaksanakan suatu hajatan 50,86 persen (2017) menjadi 53,52 persen (2018).

Dalam lingkup publik pun demikian:

  • Meningkatnya persentase masyarakat yang menganggap tidak wajar beberapa sikap yang dirasakan sebagai tindakan korupsi. Dibandingkan pada 2017, peningkatan terbesar pada variabel memberi uang kepada petugas untuk mempercepat urusan administrasi, seperti KTP atau KK.  

Tuh 'kan ... semakin nampak nyata, bila pemimpinnya "bersih", maka ke bawahnya pun juga semakin mudah untuk meneladani sikap "bersih". Ibarat ingin membersihkan rumah, maka yang harus bersih terlebih dahulu ya justru sapunya. Lha, kalau sapunya saja sudah kotor, bagaimana mungkin akan dijadikan sebagai alat untuk membersihkan.

Untungnya, #JokowiBersih dan akan terus #LanjutkanBersihBersih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun