Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Beauty Pilihan

Harry Darsono: "Batik Tangsel Warnanya Miskin dan Motifnya Naif"

2 Oktober 2018   20:14 Diperbarui: 2 Oktober 2018   20:43 1181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desainer Harry Darsono ketika menjadi pembicara tunggal talkshow di acara Festival Batik Tangsel 2018. (Foto: Gapey Sandy)

Pahit? Bisa jadi. Pas di Hari Batik Nasional, 2 Oktober 2018, Batik (Etnik) Tangsel justru "dikecam" Harry Darsono, sang desainer terkemuka. Katanya, warna Batik Tangsel itu miskin.  Motifnya pun, naf.

Apa dan bagaimana si empunya nama asli Mercelino Dominicus Savio Harry Daroeharto Darsono ini sampai mengemukakan hal seperti itu? Berikut wawancara awak media termasuk Kompasianer Gapey Sandy dengan pria kelahiran Mojokerto, Jawa Timur, 15 Maret 1952 ini:

o o )( o o

Anda sudah menyampaikan siap bekerja untuk mengembangkan Batik Tangsel, bahkan sudah menyerahkan motif batiknya juga. Bagaimana ceritanya?

Atas pesanan beliau -- Kepala Dinas Pariwisata Tangsel, Judianto (red) -- saya sudah membuat konsep desain, semuanya sudah saya siapkan. Dan untuk ditunjukkan atau dipamerkan, biasanya satu desain itu dalam gulungan kertas ukuran 2,5 meter dikalikan lebar kain. Tapi biasanya, harga itu Rp 15 juta. Tapi saya pikir, bagaimana ya caranya supaya ngirit? Oke, saya buat di atas kain sutra, 2,5 meter menjadi genap, motifnya banyak dan siap untuk dicontek. Dan harganya cuma harga selendang, cuma Rp 8,5 juta. Itu motif sudah banyak, dah ambil itu. Jadi, motif sudah saya siapkan semuanya.

Mengapa Anda menamainya dengan Motif Batik "Neo Tangsel"?

Neo itu artinya baru. Jadi Neo itu baru yang Anda nanti lihat harus ada kebaruan. Kebaruan sama pembaruan itu beda. Kebaruan itu sesuatu yang baru. Nanti kita akan mintakan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Tapi punya HAKI pun kalau enggak laku, bisa lho. Enggak punya HAKI, tapi laku, maka enggak punya martabat kalau nyontek-nyontek.

Itu yang dipajang itu 'kan Pekalongan semua itu. Jadi, KW gitu. Saya sempat minta untuk dicopot, karena kita belum membuat daya cipta, tapi belum apa-apa sudah dipasang. Mengapa sudah dipasang? Belum apa-apa sudah "menepuk diri". Ini enggak boleh. Harus nol, and nol, and nadir, and no one, nothing, nihil. Supaya kita bisa start. Jadi sudah saya siapkan. Eh, sebetulnya ada 10 lembar. Tapi satu lembarnya itu berisi berbagai macam motif, ada belasan. Lebih irit 'kan, daripada satu motif di atas kertas, Rp 15 juta. Ini satu selendang isinya berbagai macam jadi tinggal dicontek.

(Usai menjadi pembicara talkshow bertajuk "Kearifan Lokal sebagai Motif dan Desain : Batik Tangsel?" di acara Festival Batik Tangsel 2018 yang diselenggarakan Dinas Pariwisata Tangsel di aula lantai IV Kantor Pemkot Tangsel, Kecamatan Pamulang, Tangsel, Selasa (2/10), Harry Darsono menyerahkan dokumen tertutup. Tumpukan sejumlah map putih yang diikat dengan pita emas ini diserahkan langsung ke Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany, disaksikan Wakil Walikota Tangsel Benyamin Davnie, dan Kepala Dinas Pariwisata Judianto, di hadapan seluruh hadirin.)

Tari Rampak Batik membuka acara Festival Batik Tangsel 2018, pada Hari Batik Nasional 2 Oktober 2018. (Foto: Gapey Sandy)
Tari Rampak Batik membuka acara Festival Batik Tangsel 2018, pada Hari Batik Nasional 2 Oktober 2018. (Foto: Gapey Sandy)
Bagaimana bocoran isi motif maupun warna Batik "Neo Tangsel" itu?      

Oh, warnanya mengambil dari empat musim, spring, summer, autumn dan winter. Jadi empat musim. Alam memberi empat musim, semua saya tuangkan. Dan ini laku, tapi digilir nanti. Tapi belum detil.

Bagaimana penjabaran motif yang Anda serahkan ke Walikota Airin tadi dengan Batik (Etnik) Tangselnya?   

Saya tidak melihat Batik Tangsel. Belum. Itu masih motif tekstil biasa.

Artinya belum mendekatkan pada kearifan lokal Batik Tangselnya? 

Belum. Itu masih terlalu naf. Masak, 'kan ciri khasnya anggrek, ambil anggrek terus diletakkan di motif, itu 'kan anak-anak "Taman Kanak-kanak". Kalau sudah "Sekolah Dasar" 'kan harus ada daya abstraksi. Saya tidak mengizinkan otak orang ini, begitu enggak dipakai. Enggak ada berhentinya lho otak itu, sungguh.  

Jadi kalau ingin memasukkan kearifan lokal Tangselnya dan dikaitkan dengan motif "Neo Tangsel", bagaimana?

Itu ada yang namanya mengenal makna-makna simbolik, mengangkat dan memperbarui. Karena nilai-nilai ini berkembang terus. Saya masih mencium ada nilai-nilai feodalistik. Tidak apa-apa. Itu bisa kita jual. Keraton-keraton itu, raja-ratu, sultan-sultan, itu kita bisa dijual. Itu bagus. Bisa dijual. Tapi yang saya maksud, aparatnya. Masih seperti mental, menghamba enggak apa-apa, tapi kalau jadi budak, enggak boleh. Menghamba boleh, kita memang menghamba terhadap sesama. Pasar pun adalah raja, jadi kita membangun.

Saya menangani ini sudah 47 tahun, jadi waktu Batik Keris itu lagi apa 'gitu, minta ratusan motif, dikembangkan. Tapi itu gaya Pesisir semua. Kalau Solo itu, Batik Kanjengan itu pedalaman, coklat.

Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany melakukan simbolisasi membatik didampingi Harry Darsono. (Foto: Gapey Sandy)
Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany melakukan simbolisasi membatik didampingi Harry Darsono. (Foto: Gapey Sandy)
Kalau Tangsel cocoknya batik apa?         

Cocoknya, harusnya, eh, batik ke arah kebaruan yang tidak selalu harus dipermiskin hanya Pesisir dan Pedalaman. Kita aja, lihat Suku Madura ada macam-macam. Sunda aja macam-macam, Sunda Ciamis sama Cirebon beda-beda. Bagaimana dengan kita (Tangsel - red), 70 persen (warganya -- red) pendatang baru. Wah ini harus bagus. Misalkan ada Pecinannya, jangan mirip Cirebon. (Tapi di Kantor Pemkot Tangsel) justru dipasang (motif) Megamendung, itu 'kan punya Cirebon. Ini 'kan (menandakan) karena enggak ngerti, enggak belajar sejarah.

Jadi kalau selama ini Batik (Etnik) Tangsel mengambil motif Ondel-ondel, apa juga salah?          

Enggak. Kalau ondel-ondel itu bagian dari tarian itu. Karena, Tangsel ini bagian dari perbatasan antara daerah Pasundan sama Betawi. Dan Betawi yang di Jakarta itu sudah enggak ada, tinggal sedikit sekali. Mereka pindahnya paling banyak ke Bekasi, Bogor sama Tangerang. Bagus ondel-ondel itu. Tapi ondel-ondel itu harus bernuansa Sunda. Nanti, setelah ini bukan hanya motif, tari-tarian itu semua harus dijual, Destinasi bukan hanya kuliner. Kulinernya sama semua, KFC ada, ini ada. Kuliner yang mana, harus pikir kebaruan, bukan pembaruan.

Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany menerima cindera mata kain Batik Tangsel dari pembatik Tangsel. (Foto: Gapey Sandy)
Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany menerima cindera mata kain Batik Tangsel dari pembatik Tangsel. (Foto: Gapey Sandy)
Jadi kalau Tangsel, batiknya warna apa yang cocok?

Itu tadi, semua warna. Spring, summer, autumn, winter ...

Jadi selama ini salah dong kalau Batik Tangsel lebih cenderung kepada warna hijau tosca?   

Bukan salah. Miskin. Mereka mempermiskin, padahal Tangsel itu tempat orang pendatang, berarti membawa budaya, a

dat, macam-macam, ada orang Malang, Batak, ada orang asingnya, orang Jerman, saya mengajar juga di Swiss German University. Jadi harus kaya sekali. Enggak kelihatan kekayaannya. Enggak ada Eropanya. Jadi mereka ikut memiliki nanti. Wah ada juga motif Jerman, karena kita (warga Jerman -- red) di sini, itu mengundang investor untuk jualan. Batik ini harus menjadi "penangkap serangga".

Jadi bisa dibilang, Batik "Neo Tangsel" ini harus beda dengan yang selama ini sudah ada?

Beda. Oh, harus beda. Karena kalau enggak beda, di Departemen Kehakiman untuk intellectual property right, hak kekayaan intelektual, enggak masuk.

Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany dengan salah satu karya Batik Tangsel. (Foto: Gapey Sandy)
Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany dengan salah satu karya Batik Tangsel. (Foto: Gapey Sandy)
Jadi Batik "Neo Tangsel" harus kaya motif?

Oh, harus! Coba aja lihat Swedia, negara yang cuma kecil, bisa membuat keajaiban mesin. Swedia, negara kecil tapi kaya. Batik "Neo Tangsel" harus jadi miniatur Indonesia, seperti Yogyakarta yang jadi miniaturnya Indonesia. Kalau Bandung jadi miniaturnya Indonesia, tapi 'kan di sana Pasundannya masih kuat. Ya itu yang harus kita pertahankan. Di sini (Tangsel -- red) juga, Betawi sama Sunda. Betawinya, Betawi apa. Sundanya, Sunda apa. 'Kan unik, coba. Kenapa musti ke arah Cirebon, ke arah Pekalongan. Kok jadi kayak 'gitu? Jadi ini mesin fotocopy dong, saya bilang 'gitu.

Jadinya enggak jelas ya?         

Karena masih belum ada konsepsi. Belum ada pendekatan secara intelektual. Ibu-ibu (pembatik - red) ini masih naf. Zaman nenek saya, beliau bilang, ini kembang melati ya, taruh di sini (jadi motif batik -- red). Padahal bentuk melati itu bisa macam-macam. Nanti lihat deh, saya menerjemahkan anggrek seperti apa. Ini anggrek, tapi bentuknya naf.

Dalam pandangan Anda, pembatik Tangsel itu harus yang membatik di sini, atau bisa pesan dari luar Tangsel?

Di mana saja. Batik Keris itu 'kan di Solo, yang membatik orang Pekalongan, yang membatik Orang Madura. Enggak apa-apa. Dia 'kan jualan.

Salah satu motif Batik Tangsel yang diciptakan pembatik Nelty Fariza Kusmilianti. (Foto: Gapey Sandy)
Salah satu motif Batik Tangsel yang diciptakan pembatik Nelty Fariza Kusmilianti. (Foto: Gapey Sandy)
Bagaimana kalau seperti yang tadi dikatakan Walikota Airin, beli batiknya di Pasar Tanah Abang tapi diaku-aku sebagai Batik Tangsel?

Tapi, motifnya harus motif Tangsel. Kalau yang membuatnya, ya siapa saja. Bisa juga nanti di Cina, di Korea bikin motif (batik - red) Tangsel. Namanya, Tangsel. Kita enggak usah protes. Itu adalah semacam kayak menyebarnya karisma dari Tangsel sampai ke sana. Sekarang bagaimana masalah dapat duit? Nah, tangan kiri kita harus bekerjasama dengan tenaga hukum. Semakin banyak yang nyontek, semakin banyak uang masuk untuk Tangsel. Hukum itu maksudnya dari hak kekayaan intelektual yang dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman. Itu nanti yang bisa dijadikan jerat. Jerat pasalnya.

Tapi perlu juga ya mengembangkan kampung atau kecamatan di Tangsel ini yang khusus menjadi sentra batik?  

Oh, harus! (Suara Harry Darsono meninggi). Itu wajib. 'Kan tadi ada salah satu unsur yaitu mengenal makna-makna simbolik, mengangkat dan memperbaruinya. Dari desa, yang sudah lupa. Kayak kita orang Jakarta, apa itu "Cinbeng", Cina Benteng. Orang melihatnya masih setengah mata, padahal orang Malaysia sama Singapura berkeliling di situ mencari "Cinbeng", disekolahkan di sana dan pintar, dikasih jadi warganegara mereka. Kecolongan kita. Padahal itu sudah ada bibit unggul. Itu sudah kecolongan. Ini jangan sampai kecolongan.

Untuk mengembangkan Batik "Neo Tangsel" butuh berapa lama?

Didalam penataan, paling cepat 9 sampai 10 tahun. Paling cepat. Dan itu terus berkembang, tidak akan berhenti. Selama Anda bernafas, jangan pernah berhenti, hidup sama dengan  perubahan. Perubahannya harus ke arah maju, tapi ya jatuh bangun, tapi itu bagus, itu hidup namanya.

Anda mungkin masih abstrak 'kan,kayak apa Batik "Neo Tangsel" itu. Saya sendiri masih mikir. Yang saya tuangkan baru sekian belas (motif - red), itu bisa berkembang lagi, enggak ada habisnya sampai saya kehabisan kata-kata. Tapi, batik akan menjawab sendiri. Naratif. (*)

Kiri ke kanan: Kepala Dinas Pariwisata Tangsel Judianto, Wakil Walikota Tangsel Benyamin Davnie, Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany, dan Harry Darsono. (Foto: Gapey Sandy)
Kiri ke kanan: Kepala Dinas Pariwisata Tangsel Judianto, Wakil Walikota Tangsel Benyamin Davnie, Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany, dan Harry Darsono. (Foto: Gapey Sandy)
o o )( o o

Sementara itu, menanggapi pernyataan Harry Darsono yang menganggap bahwa, warna Batik Tangsel yang ada selama ini miskin, dan motifnya pun naf, Nelty Fariza Kusmilianti, pembatik Tangsel mengatakan, "Orang bisa memandangnya dengan istilah the right man on the right job. Pak Harry itu tukang batik atau bukan? Kalau desainer atau ilmuwan, ya mungkin. Kalau menurut saya, motif batik itu menjadi benar-benar cantik, atas dasar ekspresi dari jiwa pembatiknya. Dalam membatik, roh pembatik harus masuk dalam perwujudan karya-karya batiknya."    

Nelty tidak setuju bila Batik "Neo Tangsel" yang akan dikembangkan Harry Darsono tidak mempertimbangkan kearifan lokal setempat. Selain itu, Nelty menegaskan, sebaiknya Harry Darsono melakukan diskusi dengan pembatik Tangsel yang sudah ada.

"Kalau Pak Harry betul-betul bersinergi, mau memberi inspirasi dan membuka peluang untuk supaya pembatik Tangsel bisa lebih baik lagi, saya senang sekali. Saya ingin betul-betul Pak Harry diskusi dengan kami. Bukan kami tidak mau tersingkirkan, tapi saya mengangkat Batik Tangsel ini seperti berlari shafa-marwa," ujar Nelty yang tidak ingin Batik "Neo Tangsel" yang akan dikembangkan Harry Darsono sekadar menjadi batik kontemporer yang hanya digemari dalam kurun sementara waktu saja.

Sebagai pembatik yang selalu mengangkat kearifan lokal, Nelty mengaku, motif-motif Batik Tangsel seperti Kacang Sangrai, Situ Gintung, Golok Jawara, Tugu Lengkong, Buah Aren dan lainnya, digali dari upaya untuk semakin melestarikan kebudayaan Tangsel. "Semua motif yang saya sebutkan, bisa simultan dengan studi dan edukasi masyarakat," katanya.

Nantinya, kalau pengembangan Batik "Neo Tangsel" tidak mempertimbangkan kearifan lokal dan memasukkannya sebagai motif, maka Nelty bersiap untuk menganggap kehadiran Batik "Neo Tangsel" sebagai pesaing.

Pembatik lokal Nelty Fariza Kusmilianti memperlihatkan motif Buah Aren sebagai bentuk kearifan lokal yang mengangkat adanya Kecamatan Pondok Aren di Tangsel. (Foto: Gapey Sandy)
Pembatik lokal Nelty Fariza Kusmilianti memperlihatkan motif Buah Aren sebagai bentuk kearifan lokal yang mengangkat adanya Kecamatan Pondok Aren di Tangsel. (Foto: Gapey Sandy)
Jalan untuk kemajuan Batik Tangsel malah jadi semakin panjang. Butuh kearifan Pemkot Tangsel untuk melindungi pembatik lokal yang sudah lebih dulu ada. Jangan sampai mereka terpinggirkan oleh gagasan pengembangan Batik "Neo Tangsel" ala Harry Darsono. Bijak rasanya, bila Pemkot segera menggelar pertemuan dengan seluruh elemen terkait. Ini penting, supaya Batik Tangsel jangan malah layu sebelum berkembang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun