Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Pakai Pewarna Alami, Tenun Ikat Makin Memikat

11 Juli 2018   06:28 Diperbarui: 11 Juli 2018   19:09 3188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anggota Kelompok Penenun Tenun Ikat AKASIA di Dusun Botang, Desa Munerana, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka, NTT, yang menggunakan pewarna berbahan alami. (Foto: Gapey Sandy)

Menurut tradisi adat dan budaya di Sikka - Nusa Tenggara Timur (NTT), kaum perempuan punya dua pekerjaan pokok. Pertama, morumana yang artinya menenun dan menganyam. Dan kedua, prangpladang atau memasak. Demikian disampaikan Lutgardis Bungaeldis (46), Ketua Kelompok Tenun Ikat "Akasia" yang beralamat di Dusun Botang, Desa Munerana, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka, NTT.

Sesuai dengan dua pekerjaan pokok kaum perempuan itu, maka pada 2009, dibentuklah kelompok ibu-ibu yang diberi nama "Akasia". Kegiatan utamanya adalah memproduksi tenun ikat, dan juga mengolah makanan lokal untuk menambah pendapatan ekonomi rumahtangga.

"Saat pembentukan, jumlah anggotanya cuma 14 orang. Semuanya ibu-ibu. Dari tahun ke tahun, jumlah anggota terus bertambah. Pada tahun ketiga, jumlah anggota menjadi 23 orang," ujar Lutgardis yang biasa disapa Mama Gardis.

KIRI, Lurgardis Bungaeldis sebagai Ketua Kelompok Penenun Tenun Ikat bernama Akasia. KANAN, Daniel David dari lembaga Na'ni House Flores. (Foto: Gapey Sandy)
KIRI, Lurgardis Bungaeldis sebagai Ketua Kelompok Penenun Tenun Ikat bernama Akasia. KANAN, Daniel David dari lembaga Na'ni House Flores. (Foto: Gapey Sandy)
Waktu "Akasia" mulai dibentuk, kelompok ini masih senang menggunakan pewarna berbahan kimia.

"Akhirnya, pada 2017, kami bertemu dengan lembaga Na'ni House Flores, dan sejak itu kami mulai mengikuti saran dan masukan dari lembaga ini untuk meninggalkan pewarna berbahan kimia. Kami beralih memanfaatkan pewarna dari bahan alami," tutur Mama Gardis lagi.

Selain diberi masukan sekaligus diajarkan penggunaan pewarna bahan alam, kelompok penenun "Akasia" juga ikut serta dalam workshop desain yang diselenggarakan Na'ni House Flores.

"Kemudian pada Maret 2018, beberapa perwakilan dari kelompok "Akasia" juga diikutsertakan untuk mengikuti workshop tentang tenun ikat di Ubud, Bali," ujar Mama Gardis.

Motif tradisional tenun ikat Sikka dengan di tengah-tengah ada motif tekek atau tokek. (Foto: Gapey Sandy)
Motif tradisional tenun ikat Sikka dengan di tengah-tengah ada motif tekek atau tokek. (Foto: Gapey Sandy)
Menurut istri dari Hermanus Hermanto (49) ini, kendala utama yang masih pelik untuk dihadapi oleh kelompok penenun "Akasia" ini adalah pemasaran.

"Kalau bisa bantulah kami untuk memasarkan produk-produk tenun ikat yang kami produksi. Seberapa pun besar kecilnya bantuan dan juga transaksi pembelian tenun ikat produksi kelompok kami, maka akan sangat membantu sekali," ujar ibu dari empat anak ini.

Proses pembuatan tenun ikat bahkan dimulai dengan memetik kapas dari pohon yang banyak tumbuh di lingkungan sekitar. (Foto: Gapey Sandy)
Proses pembuatan tenun ikat bahkan dimulai dengan memetik kapas dari pohon yang banyak tumbuh di lingkungan sekitar. (Foto: Gapey Sandy)
Mengapa pilih untuk menggunakan pewarna bahan alami?

"Karena mudah didapat, tidak beli. Sedangkan kalau kita pakai pewarna bahan kimia, kita harus membeli bahan-bahan pewarnanya dulu, padahal itu juga bisa merusak lingkungan. Efeknya juga tidak baik untuk kesehatan kita para penenun, mulai dari tangan kita menjadi agak gatal-gatal, juga sampai sakit batuk," kata Mama Gardis kepada penulis, Jumat (29/6).

Pemisahan kapas dengan bijinya. (Foto: Gapey Sandy)
Pemisahan kapas dengan bijinya. (Foto: Gapey Sandy)
Ia menambahkan, saat ini kelompok penenun Tenun Ikat "Akasia" sudah meninggalkan pewarna yang menggunakan bahan-bahan kimia.

"Jadi kalau ada penenun yang masih menggunakan bahan kimia, saya berharap untuk bisa berusaha mempengaruhi mereka supaya bahan kimia tidak usaha dipakai lagi. Karena kalau memakai pewarna bahan alam terbukti lebih menguntungkan, dan juga lebih sehat bagi diri kita para penenun," seru Mama Gardis.

Lestarikan Tradisi Leluhur, Jangan Sampai Kendur

Sementara itu, Daniel David mengatakan, tenun ikat sudah menjadi bahagian terpenting dalam adat istiadat masyarakat (Kabupaten) Sikka. Sama seperti musik dan tari.

"Ketiga hal ini menjadi elemen terpenting. Bahkan, ada juga musik dan tari yang dikhususkan untuk mengantar jenazah ke liang lahat. Tariannya dinamakan Jojuk Ole. Masyarakat adat Sikka percaya, ritual pengantaran jenazah dimaksudkan agar arwah pergi atau pindah ke dunia lain. Mereka percaya, kematian bukan akhir dari segala-galanya tapi hanya perjalanan pindah ke dunia lain," jelas pria yang berasal dari Maumere ini.

"Lantas, mengapa tenun ikat menjadi bagian hidup? Karena digunakan ketika melakukan ritual adat mulai dari kelahiran, pernikahan, kematian, syukuran, membangun rumah adat dan masih banyak lagi," sambung David.

Proses pemipihan dan penghalusan kapas. (Foto: Gapey Sandy)
Proses pemipihan dan penghalusan kapas. (Foto: Gapey Sandy)
Mirisnya, lanjut Daniel, sejak tahun '70-an lalu, Pemerintah memperkenalkan penggunaan warna berbahan kimia untuk digunakan dalam proses pembuatan tenun ikat.

Ketika itu, pemakaian pewarna bahan kimia digencarkan dengan iming-iming bahwa bahan pewarna kimia ini sangat cepat daya kerjanya, hanya dalam tempo lima menit maka penenun sudah akan bisa memperoleh warna yang diinginkan.

"Selain itu, disebut-sebut juga bahwa kalau menggunakan pewarna bahan alam akan menghasilkan warna kain tenun ikat yang jreng, cerah, sehingga banyak orang di seluruh dunia pasti akan suka. Karena proses pewarnaannya cepat, proses kerjanya cepat, dan hasil karya tenun ikatnya juga jreng, maka harga jual tenun ikatnya juga bisa relatif lebih murah," keluh Daniel.

Kapas yang sudah dipipih lalu dibuat gulungan demi gulungan. (Foto: Gapey Sandy)
Kapas yang sudah dipipih lalu dibuat gulungan demi gulungan. (Foto: Gapey Sandy)
Akibat dari gencarnya "promosi" agar supaya para penenun tenun ikat menggunakan pewarna berbahan kimia, maka dampak pencemaran lingkungan yang ditimbulkan pun juga luar biasa.

"Dampaknya sangat luar biasa sekali karena seluruh Sikka hampir melupakan kearifan untuk menggunakan pewarnaan bahan alam. Bayangkan saja, kalau untuk penggunaan satu kain tenun ikat menghabiskan air yang sudah dicampurkan pewarna bahan kimia sebanyak 20 liter, lalu dalam satu hari ada seribu ibu-ibu yang menenun, maka sudah terjadi pencemaran lingkungan akibat sebanyak 20.000 liter air berbahan kimia," ucapnya.

"Itu baru pencemaran dalam satu hari. Lalu bagaimana kalau air tercemar pewarna bahan kimia itu dibuang dalam rentang waktu seminggu, sebulan, setahun, lima tahun, sepuluh tahun?" ujar Daniel dengan nada kesal.

Proses pemintalan kapas menjadi benang untuk kain tenun ikat. (Foto: Gapey Sandy)
Proses pemintalan kapas menjadi benang untuk kain tenun ikat. (Foto: Gapey Sandy)
Daniel menambahkan, kalau sekarang ini sering terdengar banyak orang di sini mengeluhkan kualitas panen buah kakao yang tidak bagus, maka sebenarnya hal demikian bukan menjadi hal yang aneh lagi.

"Saya tidak heran, karena semenjak tahun '70-an, di sini sudah berlangsung 'gerakan' pencemaran alam dan lingkungan," prihatinnya.

Proses menenun tenun ikat dengan membuat pengaturan motif dan desain. (Foto: Gapey Sandy)
Proses menenun tenun ikat dengan membuat pengaturan motif dan desain. (Foto: Gapey Sandy)
Tenun ikat biasa dipakai dalam upacara adat. Untuk acara yang terkait dengan kematian seseorang misalnya, maka anggota keluarga yang lain harus membawa satu kain tenun ikat milik mereka masing-masing. Kain-kain tenun ikat ini kemudian diserahkan untuk keluarga yang tengah dirundung kedukacitaan.

"Syaratnya, kain tenun ikat yang akan diserahkan tersebut tidak boleh yang sudah dijahit, atau ada jahitannya. Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah, kalau untuk upacara adat, kain tenun ikat yang akan digunakan harus memiliki rumbai-rumbai benang pada masing-masing ujung kainnya. Rumbainya pun harus diperhatikan lagi, tidak boleh ada bekas pemotongan rumbai pada setiap bagian paling ujung dari rumbai. Artinya, rumbai harus utuh," ujar Daniel.

Daniel David memperlihatkan posisi simbol mama yang selalu berada di tengah dan lebih besar porsi motif desainnya. (Foto: Gapey Sandy)
Daniel David memperlihatkan posisi simbol mama yang selalu berada di tengah dan lebih besar porsi motif desainnya. (Foto: Gapey Sandy)
Lutgardis Bungaeldis memperlihatkan sarung tenun ikat yang khusus dipergunakan kaum pria saja. (Foto: Gapey Sandy)
Lutgardis Bungaeldis memperlihatkan sarung tenun ikat yang khusus dipergunakan kaum pria saja. (Foto: Gapey Sandy)
Jadi, kalau ada yang hendak membeli kain tenun ikat dengan rumbai-rumbai benang pada kedua ujung sisinya, harus diperhatikan jangan sampai ada bekas potongan pada ujung rumbai. Kalau ada bekas potongan maka menandakan bahwa kain tersebut pernah digunakan untuk upacara adat kematian.

"Sebenarnya pula, kain tenun ikat yang pernah digunakan untuk upacara adat tidak boleh diperjualbelikan. Kain itu harusnya dijahit atau dipakai sendiri saja. Tetapi mungkin karena tekanan dan kebutuhan ekonomi, maka kain tersebut terpaksa dijual ke pasar," kata Daniel lagi.

Oh ya, bagaimana juga tuh dengan kain tenun ikat yang khusus dipakai pria?

"Tenun ikat yang biasa digunakan kaum perempuan tidak boleh dikenakan oleh kaum pria. Begitupun sebaliknya. Ya, kecuali kalau digunakan untuk selimut tidur, misalnya. Tenun ikat untuk pria lebih rumit pengerjaannya, karena motif dan desain disusun satu per satu dari sisi dalam. Dengan kata lain, ketika proses penenunan, barulah motifnya disusun. Beda dengan kain atau sarung untuk kaum perempuan yang langsung ditenun sekaligus dengan motifnya," terang Daniel.  

Motif Tenun Ikat dan Makna Simboliknya

Beberapa contoh motif dan makna filosofis tenun ikat juga dituturkan Daniel. Antara lain, pada setiap kain tenun ikat yang biasa dipakai untuk upacara adat, di bagian tengahnya selalu terdapat motif garis tengah yang lebih lebar dibandingkan dengan sisi kiri maupun kanannya. "Kata 'tengah' dalam bahasa di sini disebut hina. Selain itu, kata hina juga berarti Mama. Kenapa simbol Mama ada di bagian tengah? Jadi sebenarnya, orang zaman dulu sudah melukiskan melalui motif tenun ikat, bahwa simbol Mama ada di bagian tengah karena Mama adalah pusat atau sumber dari kehidupan. Artinya juga, Mama harus selalu dilindungi dan dijaga," urai Daniel.

Pewarna bahan alami (Eco Color). Warna kuning diperoleh dari kunyit dan kulit pohon nangka. (Foto: Gapey Sandy)
Pewarna bahan alami (Eco Color). Warna kuning diperoleh dari kunyit dan kulit pohon nangka. (Foto: Gapey Sandy)
Pewarnaan benang tenun ikat. Warna biru indigo diperoleh dari tanaman indigofera. (Foto: Gapey Sandy)
Pewarnaan benang tenun ikat. Warna biru indigo diperoleh dari tanaman indigofera. (Foto: Gapey Sandy)
Simbol Mama - dengan garis yang paling besar - dan biasa ada di bagian tengah kain tenun ikat diapit oleh mowak atau dua garis yang sama motif di sisi kiri maupun kanan.

"Mengapa dua mowak yang mengapit simbol Mama bentuknya sama? Karena, itu menjadi simbol dari suami, dan juga simbol dari anak sulung laki-laki. Kedua mowak ini mengapit kiri-kanan, menjaga dan mengawal simbol Mama. Ketika bapak atau suami pergi jauh maupun meninggal dunia, maka anak sulung laki-lakilah yang akan menggantikan posisi ayah untuk menjaga Mama, sekaligus menjadi kepala rumahtangga yang menggantikan bapak," jelas Daniel lagi.

Ada juga motif tenun ikat yang bentuknya berupa titik-titik. Inilah yang dinamakan buweng atau teman, sahabat, yang sudah seperti bahagian dari keluarga sendiri.

"Ada acara apapun, apalagi upacara adat, buweng pasti diundang untuk hadir, meskipun tidak memiliki hubungan darah kekeluargaan," jelas Daniel yang pernah sempat dianggap menabrak aturan leluhur para penenun karena mengembangkan motif dan desain tenun ikat bercorak kontemporer. "Yang motif kontemporer kami maksudkan untuk memenuhi selera pasar secara umum, bukan digunakan untuk upacara adat."

Dalam satu helai kain tenun ikat terdapat sekaligus simbol Mama (hina), bapak dan anak sulung laki-laki (mowak), serta simbol teman atau sahabat (buweng). Artinya, yang demikian mengandung arti persatuan dan kesatuan yang makin menguatkan keutuhan keluarga juga suku.

Daniel menyebutkan, tenun ikat Kabupaten Sikka dari segi motif adalah menjadi yang paling kaya rupa. "Ada sekitar seratus lebih motif tenun ikat Sikka, dan baru 52 motif yang dilindungi oleh Kementerian Hukum dan HAM," terangnya.

Warna-warni benang yang diperoleh dari pewarnaan menggunakan bahan-bahan alami (eco color). Menjadikan industri tenun ikat sebagai pekerjaan ramah lingkungan karena tidak menggunakan pewarna bahan kimia. (Foto: Gapey Sandy)
Warna-warni benang yang diperoleh dari pewarnaan menggunakan bahan-bahan alami (eco color). Menjadikan industri tenun ikat sebagai pekerjaan ramah lingkungan karena tidak menggunakan pewarna bahan kimia. (Foto: Gapey Sandy)

Diantaranya adalah motif Jen Tiujen. Jen itu sendiri, menurut banyak orang diartikan sebagai pengaruh kuat kepercayaan lokal yaitu animisme dan dinamisme. Motifnya berupa lekung siku atau pertemuan antara titik, garis, garis lengkung dan siku yang kemudian memberi makna atau membentuk sebuah simbol.

Lantas berapa lama waktu untuk membuat satu kain tenun ikat?

"Untuk satu kain tenun ikat dengan motif-motif tertentu, pengerjaan desain motifnya saja bisa menghabiskan waktu sampai sepuluh hari. Sedangkan untuk proses menenunnya bisa memakan waktu sampai sepuluh hari. Jadi, kira-kira butuh waktu 20 hari, untuk menyelesaikan satu kain tenun ikat. Tapi, kalau penenunnya disiplin dalam proses pengerjaannya, yaitu mulai dari jam 09.00 pagi sampai 16.00 sore, maka proses penenunannya bisa saja selesai dalam empat hari," ungkap Daniel seraya menambahkan bahwa proses pengerjaan bisa lebih lama lagi hingga 1 - 1,5 bulan apabila harus menambah dan membuat lagi pewarna bahan alaminya.

Adapun bahan untuk pewarnaan alamnya menggunakan beraneka ragam tetumbuhan yang ada di sekitar lingkungan. Misalnya, warna biru dihasilkan dari tanaman nila, indigofera (Bahasa Sundanya adalah daun tarum; Bahasa Jawanya adalah tom), warna merah dari akar mengkudu, warna kuning dari kunyit atau beberapa kulit pohon seperti nangka juga mangga, warna coklat pun dihasilkan dari olahan daun kakao, warna hijau yang soft dibuat dari olahan daun mete, dan masih banyak lagi.

"Bagi kami, segala jenis tanaman bisa menjadi penghasil warna atau sumber warna alami. Saat ini, kami juga sedang mengembangkan tanaman nila India yang kami datangkan dari Bali, dan sepertinya lebih cocok untuk ditanam di pegunungan seperti di Sikka," ujar Daniel senang.

Sisa bakaran berwarna biru akan menempel di permukaan sendok besi apabila benang tenun ikat dibakar. Pertanda memang benar menggunakan pewarna bahan alami berupa tanaman indigofera. (Foto: Gapey Sandy)
Sisa bakaran berwarna biru akan menempel di permukaan sendok besi apabila benang tenun ikat dibakar. Pertanda memang benar menggunakan pewarna bahan alami berupa tanaman indigofera. (Foto: Gapey Sandy)
Menenun secara tradisional. Menggunakan warna benang biru indigo yang dihasilkan dari tanaman indigofera. (Foto: Gapey Sandy)
Menenun secara tradisional. Menggunakan warna benang biru indigo yang dihasilkan dari tanaman indigofera. (Foto: Gapey Sandy)
Meskipun semua tanaman bisa menjadi sumber warna, tapi masalah yang cukup rumit adalah bagaimana meramu pewarnaan bahan alami ini sehingga warnanya bisa 'terkunci' alias tidak boleh luntur. Jadi, teknik meramu warnanya harus tepat dan sempurna.

Membedakan Tenun Ikat Pewarna Alami dengan Kimia

Pertanyaannya sekarang, bagaimana cara membedakan antara tenun ikat yang pewarnanya menggunakan bahan alami dengan kimia?

"Kalau kain tenun ikat yang menggunakan bahan kimia, dari sisi warna memang terlihat lebih terang," jelas Mama Gardis.  

Sementara itu, Daniel David menambahkan, untuk membedakan tenun ikat yang menggunakan pewarna alam dengan bahan kimia, bisa dilihat dengan bantuan sinar matahari. "Kalau untuk yang menggunakan pewarna alam, kain tenun ikatnya tidak akan memantulkan warna. Ia akan tetap soft. Beda dengan yang menggunakan pewarna kimia, kalau diletakkan di bawah sinar matahari maka akan terlihat menjadi silau," imbuhnya.

Salah satu motif tenun ikat yang bercorak kontemporer. (Foto: Eet Etih Suryatin)
Salah satu motif tenun ikat yang bercorak kontemporer. (Foto: Eet Etih Suryatin)
Kelompok Penenun Tenun Ikat Akasia di Dusun Botang, Desa Munerana, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka, NTT, yang berkomitmen untuk tidak mau menggunakan pewarna berbahan kimia. (Foto: Gapey Sandy)
Kelompok Penenun Tenun Ikat Akasia di Dusun Botang, Desa Munerana, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka, NTT, yang berkomitmen untuk tidak mau menggunakan pewarna berbahan kimia. (Foto: Gapey Sandy)
Ada trik lain untuk membedakan pewarna alam dengan bahan kimia. Khususnya untuk kain tenun ikat yang warnanya biru indigo.

"Kalau menggunakan pewarna biru alami dari daun indigofera akan bisa dengan mudah diketahui kebenarannya. Caranya? Potong sedikit saja benang yang berwarna biru indigo dari salah satu ujung kain tenun ikat. Lalu letakkan di atas sendok besi dan bakar secara cepat saja," terangnya.

"Kalau kain tenun ikat ini menggunakan pewarna biru alami dengan tanaman indigofera, maka warna biru bekas bakaran benang biru tadi akan tersisa atau menempel di permukaan sendok. Tapi, kalau kain tenun ikat ini memakai pewarna bahan kimia, maka tidak akan menempel bekas bakaran berwarna biru indigo di permukaan sendok, kecuali hanya menyisakan abu hitam dari bekas bakaran benang," imbuh Daniel.

Yang pasti, pemakaian pewarna bahan alami harus terus digalakkan, karena yakinlah, memang "Tenun Ikat Sikka, Memikat dan Disuka".

Dusun Botang sendiri kalau dari Bandar Udara Frans Seda di Maumere, jaraknya sekitar 21 km, atau butuh waktu sekitar satu jam dengan bermobil.  

o o oOo o o

Baca juga reportase lainnya:

Hangatnya Adat Sambut dan Lepas Tamu di Kabupaten Sikka

Tonton VLOG-nya di sini.

Tuhan Titipkan Sorgum lewat Tangan Maria Loretha

Saksikan VLOG-nya di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun