Itulah yang nanti bakal disebut biaya retribusi sedot lumpur tinja. Warga DKI Jakarta sepertinya bakal dibebankan bea ini. Berapa besarnya? Berapa kali dilakukan penyedotan dalam setahun? Apa imbal balik yang bakal diperoleh warga dengan membayar retribusi sedot lumpur tinja ini? Apakah hanya air untuk utilitas belaka? Bisakah buat diminum?
Waduh, masih ada banyak pertanyaan nih buat Bang Sandi.
Kelak kebijakan retribusi sedot lumpur tinja yang diusulkan Pemprov DKI akan memperlihatkan, apakah teknologi IPLT yang membuat Sandiaga terkagum ini justru menambah berat ekonomi warga Betawi, atau malah sebaliknya.Â
Semua pasti berharap, sedot lumpur tinja di rumah-rumah warga bisa dilakukan secara GRATIS oleh aparat Pemda DKI, atau oleh pihak swasta yang dilibatkan untuk menyedotnya.
Oh ya, sebagai gambaran perbandingan terhadap IPLT yang konvensional, buku Audit Teknologi IPLT juga membeberkan lho, biaya konstruksi IPLT Mojosari di Kabupaten Mojokerto dan dikelola Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (DCK-TR). Biaya konstruksinya adalah Rp 1,35 miliar. Kebutuhan biaya operasi dan pemeliharaan Rp 5 juta - Rp 6 juta per bulan, atau Rp 60 juta - Rp 72 juta per tahun.Â
Retribusi biaya pengolahan lumpur tinja ditetapkan Rp 20 ribu- Rp 25 ribu per truk yang masuk. Sedangkan biaya penyedotan memakai truk Pemda adalah Rp 200 ribu - Rp 300 ribu per truk, sedangkan kalau menggunakan truk swasta Rp 350 ribu - Rp 400 ribu per truk. Info tambahan, kapasitas terpasang IPLT Mojosari memang masih kecil, 30 meter kubik per hari.
Contoh lain, rincian biaya operasional. Misalnya, seperti yang berlangsung di IPLT Kota Tangerang. Disebutkan, biaya operasional IPLT Bawang Kota Tangerang sudah dianggarkan dalam APBD Kota Tangerang. Selain dari APBD, biaya operasional juga berasal dari retribusi dengan tarif sebagaimana diatur dalam Perwal No.16 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum. Adapun anggarannya, meliputi:
- Gaji pekerja pemeliharaan, supir dan kenek truk tinja.
- Pemeliharaan sarana, prasarana bangunan/peralatan rumah pompa, kolam oksidasi, IPLT, dan IPAL.
- Pengerukan lumpur pada IPAL dan IPLT.
- Pemeliharaan dan perbaikan pompa summersible kolam osidasi, IPLT, dan IPAL.
- Pengadaan alat bengkel (aerator).
- Pembangunan pagar kolam oksidasi dan rumah pompa.
Jumlah anggaran pengelolaan air limbah meningkat sebesar 10% per tahun dari tahun 2009 sebesar Rp 219.760.000 menjadi Rp 2,3 miliar pada 2013. Proporsi biaya pengelolaan air limbah terhadap APBD tahun 2013 (Rp 3,19 triliun) adalah 0,07%. Anggaran ini merupakan keseluruhan untuk pembiayaan dan pemeliharaan bidang air limbah, sementara untuk operasionalisasi dan pemeliharaan IPLT Bawang tidak tergambarkan secara jelas.
Contoh lain, di IPLT Kabupaten Buleleng, Bali. Disebutkan oleh buku ini, Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) menjadi pengelola IPLT. Sumber dana pengoperasian dan pemeliharaan masih berasal dari APBD. Retribusi penyedotan lumpur tinja menjadi sumber penerimaan daerah. Tarif yang dikenakan untuk rumah tangga yang memerlukan jasa penyedotan tinja dari DKP adalah Rp 300.000 per tangki atau sekitar Rp 100.000 per meter kubik.
Retribusi truk swasta yang membuang lumpur tinja ke IPLT Buleleng adalah Rp 50.000 per truk atau sekitar Rp 15.000 -- Rp 20.000 per meter kubik. Oleh karena itu, tarif penyedotan tinja oleh truk milik swasta lebih besar daripada truk milik DKP.