[caption caption="Empat kali pindah lokasi dan tiga kali terbakar. Luar biasa sekali hikayat Istano Basa Pagaruyung ini. (Foto: Gapey Sandy)"][/caption]Api melahap Istano Basa Pagaruyung. Lidah api membumbung tinggi. Maklum, istana megah yang berlokasi di Tanjung Emas, Batusangkar, Tanah Datar, Sumatera Barat ini terbuat dari kayu dengan atap ijuk hitam yang tentu saja semakin memanjakan jilatan api. Belum lagi, di dalam istana banyak terdapat material yang juga mudah terbakar. Kain, tikar rotan, dinding kayu, lantai kayu dan sebagainya.
Saya sendiri hanya bisa menyaksikan kebakaran yang hebat itu melalui kanal Youtube, di sini dan di sini.
Kebakaran pada 27 Februari 2007 silam itu benar-benar memilukan. Mendirikan bulu roma. Bagaimana enggak? Banyak orang sibuk menggotong lemari kaca berisi replika pusaka. Semua panik. Sebagian histeris, sejumlah perempuan berkerudung saling berpelukan, menangis. Banyak juga yang cuma nonton. Sementara petugas pemadam kebakaran? Masya Alloh, sepertinya kewalahan. Air yang disemprotkan tak mampu menahan amukan api yang terus membakar sedikit demi sedikit atap ijuk istana, lalu kemudian jadi menyeluruh.
Alhasil, sambaran petir di malam hari yang mengarah tepat ke ujung atap istana menjadi petaka. Istano Basa Pagaruyung pun ludes dilalap api, untuk yang ketiga kalinya.
[caption caption="Istano Basa Pagaruyung ketika habis terbakar pada 27 Februari 2007 malam hari. (Sumber: Youtube akun: payakumbuh)"]
[caption caption="Istano Basa Pagaruyung ketika habis terbakar pada 27 Februari 2007 silam. (Sumber: Youtube akun: payakumbuh)"]
Ya, pertama, ketika tahun 1804. Kerusuhan berdarah di atas bukit Batu Patah --yang merupakan lokasi asli Istano Basa-- membuat amuk massa justru ikut membakar istana. Tak rela warisan tradisional sekaligus landmark Batusangkar ini hangus terbakar, masyarakat membangun kembali Istano Basa.
Tapi, apa hendak dikata. Kebakaran kedua terjadi pada 1966.
Renovasi Istano Basa Pagaruyung kemudian dilakukan lagi. ‘Tunggak tuo’ (tiang utama) diletakkan tidak di lokasi asli istana, melainkan ke lokasi baru di sebelah selatannya. Dalam catatan sejarah, istana ini empat kali berpindah tempat. Lokasi pertama istana berada di Ateh Bukik, Batu Patah, Jorong Gudam. Lantas, dipindahkan ke Sungai Bunggo, Jorong Gudam, dan dipindah lagi tak jauh dari Sungai Bunggo.
Pada sekitar 1973, Gubernur Sumatera Barat Harun Zain menggelorakan pembangunan kembali Istano Basa Pagaruyung. Pada 1974–1975, Pemprov Sumbar membentuk tim yang didukung tiga tenaga konsultan ahli. Pada 1976, didirikanlah‘tunggak tuo’ istana. Kemudian, tepat 27 Desember 1976, berdirilah rangka-rangka istana. Sekitar 1986, pembangunan tahap pertama selesai dilakukan.
Lalu, pada 27 Februari 2007, musibah kebakaran ketiga terjadi. Istano Basa Pagaruyung tersambar petir. Terperciklah api. Semakin besar dan melalap seluruh dinding dan ruangan, kecuali tonggak-tonggak kayu utama yang membentuk rangka kubus dan persegi panjang kosong melompong.
Tiga tingkat istana hangus beserta dokumen dan kain-kain hiasan. Ada yang memperkirakan, hanya 15 persen saja barang-barang berharga yang berhasil diselamatkan. Kini, semuanya disimpan di Balai Benda Purbakala Kabupaten Tanah Datar. Tetapi, ada juga yang menyebutkan bahwa harta pusaka Kerajaan Pagaruyung saat ini tersimpan rapi di Istano Silinduang Bulan, lokasinya sekitar dua kilometer dari Istano Basa Pagaruyung.
[caption caption="Sore di Istano Basa Pagaruyung. Jendela tertutup berarti waktu kunjungan sudah habis. (Foto: Gapey Sandy)"]
Sesaat tiba di istana. Bus besar yang membawa rombongan kami harus parkir di seberangnya. Di lokasi parkir ini ada warung kopi, mie instan, warung nasi, dan kios maupun lapak pedagang kakilima yang menjajakan souvenir khas lokal. Ada juga fasilitas toilet dan kamar mandi.
Rombongan kemudian menyeberang jalan. Sebelum naik tangga batu. Di sebelah kiri gapura bertuliskan “Istano Basa Pagaruyung” dengan dua tiang besar yang ujungnya terdapat maket rumah gadang, ada loket pembelian karcis untuk pengunjung. Pungutan retribusi ini berdasarkan Perda Kabupaten Tanah Datar No.13 Tahun 2011.
Berapa harga tiketnya? Wisatawan domestik per orang dewasa Rp 7.000, dan anak-anak Rp 5.000. Sedangkan wisatawan mancanegara per orang dewasa Rp 12.000, dan anak-anak Rp 10.000.
Begitu melangkah memasuki gapura, di sisi kiri langsung terlihat mobil wisata yang bisa ditumpangi pengunjung untuk berkeliling di seputaran istana. Sedangkan di sisi kanan, ada tiga kotak amal berjajar. Yang paling besar, bertuliskan ‘Kotak Amal Masjid Baiturrahman Pagaruyung’.
[caption caption="Loket pembelian karcis sebelum pengunjung masuk ke Istano Basa Pagaruyung. (Foto: Gapey Sandy)"]
Ada tiga tangga batu yang harus diundaki pengunjung menuju jalan ke arah teras dan pintu masuk istana. Undakan batu pertama ketika masuk gapura, lalu enam undakan batu setelah kotak amal tadi, dan berikutnya tangga batu lagi. Barulah kemudian jalan melandai menuju tangga kayu yang menjadi pintu masuk istana. Ada juga umbul-umbul tiga warna yang sama seperti warna bendera Jerman: hitam – merah – kuning. Di kanan dan kiri istana adalah lapangan rumput. Pemandangan di sebelah kanan cukup unik. Karena, ada bangunan rumah gadang kecil. Fungsinya, kalau disebutkan tentu sebagai tempat untuk menyimpan padi dan bahan makanan. Di dekatnya ada patung seekor kerbau gemuk abu-abu kehitaman dengan tanduk panjang melengkung, kokoh nan runcing.
Okelah, sekarang kita masuk ke Istano Basa Pagaruyung, yuk …
Semakin mendekat ke istana, kekaguman dan rasa takjub melihat begitu megah serta besarnya istana semakin menjadi-jadi. Enggak sabar rasanya, kepingin buru-buru lihat bagaimana isi di dalamnya.
Ketika mencapai tangga kayu untuk masuk ke istana, pengunjung diwajibkan membuka sandal maupun sepatu. Silakan dititipkan kepada dua petugas yang berjaga di sisi bawah tangga, karena mereka selalu menyediakan tas plastik sebagai tempat menyimpan sandal dan sepatu pengunjung. Bolehlah pakai kaos kaki. Tapi saran saya, kalau kaos kakinya bolong-bolong atau sudah “bau tujuh rupa” lebih baik ya dilepas … Hahahaaaaa. Eh, selain itu, kalau kita menggunakan kaos kaki, maka akan terasa licin ketika menapaki tangga kayu untuk naik (dan turun) ke lantai dua dan tiga. Nah, daripada licin dan membahayakan diri sendiri, lebih baik buka sajalah kaos kakinya.
[caption caption="Di tangga kayu sebelum masuk ke istana, sepatu dan sandal bisa dimasukkan ke plastik yang sudah disiapkan dan disimpan oleh petugas dengan imbalan sukarela. (Foto: Gapey Sandy)"]
Ketika mulai memasuki istana, di lantai satu ini kita akan langsung diminta untuk mengisi buku tamu. Ada dua petugas yang menjaga. Mereka ramah, meski kurang atraktif untuk memberi penjelasan tentang ini dan itu seputar “jeroannya” istana. Ya maklumlah, mereka bukan guide wisata toh? Tapi mustinya, kerja staf penerima tamu, harus “bawel” plus informatif.
Yo wes lah, saya dan teman-teman serombongan pun akhirnya “berkeliaran” sendiri-sendiri. Mengeksplorasi sudut demi sudut istana dengan semangat ‘kepo’ 45. Di lantai satu ini, ruangan dalamnya begitu luas, lapang dan memanjang, serta begitu tinggi atap atasnya. Warna-warni cerah begitu mendominasi kain-kain hiasan, begitu juga dengan pernak-pernik keemasan. Yah, namanya juga (replika) istana.
Berdasarkan banner besar yang berisi informasi ruangan, di lantai satu sisi paling kiri dinamakan "anjuang perak". Fungsinya sebagai tempat Bundo Kanduang (Ibu Suri) mengadakan rapat yang bersifat kewanitaan pada langgam (tingkat) pertama, lalu sebagai tempat beristirahat pada langgam kedua, dan sebagai tempat tidur Ibu Suri pada langgam terakhir atau ketiga.
[caption caption="Suasana di dalam istana yang ada di lantai satu. (Foto: Gapey Sandy)"]
[caption caption="Di dalam istana, di lantai satu. (Foto: Gapey Sandy)"]
Menariknya, singgasana ini dilingkari dengan tirai yang terjuntai di sisi kiri, kanan, dan depan. Di sini biasanya Bundo Kanduang duduk sambil melihat-lihat siapa yang datang, atau yang belum datang apabila ada rapat dan mengatur segala sesuatu di atas rumah.
Bagaimana dengan sisi kanan di lantai satu ini?
Bahagian ruang ini dinamakan “Anjuang Rajo Babandiang”. Berada di bagian kanan atau pangkal rumah (istana), dan punya tiga langgam atau tingkat. Fungsi anjuang ini adalah sebagai tempat sidang (langgam pertama), tempat beristirahat (langgam kedua), dan tempat tidur raja serta permaisuri pada langgam ketiga.
Di space Anjuang Rajo Babandiang ini ada dua boneka seukuran manusia yang dipakaikan busana adat Minangkabau berwarna hitam-hitam dengan pernak-pernik keemasan. Di dada kiri boneka lelaki ada tulisan penjelasan bahwa inilah contoh pakaian adat untuk ‘Datuak’ atau ‘Penghulu’ yang tugasnya menjadi niniak mamak dalam nagari.
[caption caption="Seorang pengunjung berfoto di bahagian ruang berfungsi sebagai singgasana. (Foto: Gapey Sandy)"]
[caption caption="Bahagian ruang Anjuang Rajo Babandiang di sisi sebelah kanan istana di lantai satu. (Foto: Gapey Sandy)"]
Ada kenong atau gong kecil berwarna keemasan yang dinamakan“Canang Pamanggia”, fungsinya untuk memanggil masyarakat guna bekerja gotong-royong.
Keris asli “Sampono Ganjo Erah” dan “Ponding Parisai Pusek” juga ada. Inilai pusaka Istana Pagaruyung Raja Adat Buo Pangian. Keris ini diyakini sudah ada sejak awal abad XVIII.
Selain itu, ada juga replika“Keris Tunggal Kilau Malam”. Ini juga benda pusaka Istana Pagaruyung bekal Raja Lenggang Dirajakan ke Rembau Seri Menanti pada tahun 1808.
Sejumlah replika masih ada lagi, seperti misalnya“Saluak Deta Dandan Tak Sudah”. Ini adalah mahkota tutup kepala Raja Alam Melayu Minangkabau di Pagaruyung selepas tahun 1550 abad XVI dibawa ke Rembau Seri Menanti Negeri Sembilan oleh Si Alang Bujang Mahmud Tuanku Raja Malewar tahun 1773 abad XVIII.
Juga ada replika kopiah yang diperkaya dengan ukir sulaman benang emas dari Sungayang “Tikam Tindik” Sarang Olang abad XVIII.
[caption caption="Replika Keris Tunggal Kilau Malam. (Foto: Gapey Sandy)"]
[caption caption="Replika Mahkota Tutup Kepala Raja Alam Melayu Minangkabau. (Foto: Gapey Sandy)"]
Selasar menuju dapur ini cukup lebar. Kalau lurus kita akan keluar pintu belakang, dan turun menggunakan tangga kayu. Sedangkan dapur ada di kanan selasar. Dapurnya luas sekali. Dari replika peralatan memasak yang ada, semuanya terbuat dari tanah liat. Diletakkan di atas semacam ‘dipan’ yang sengaja ditumpahkan pasir halus. Nah, di atas ‘dipan’ dengan pasir halus inilah, pekerja istana mengolah masakan. Menggunakan kayu bakar, tetapi karena ada alas pasir halus, maka pembakaran ini pun ‘aman’. Mungkin begitulah kira-kira.
Di atas dipan pembakaran itu, digantung tas-tas anyaman daun pandan. Ada juga digantung sejumlah tempat cairan atau minyak, yang bentuknya seperti wadah arak pada film-film laga Mandarin.
Di sudut dapur, ada sejumlah perlengkapan untuk mengolah bahan makanan mentah. Syukurlah, ada di tempel tulisan informasi. Terbaca misalnya, “katidiang” yang menjadi alat untuk meletakkan padi atau beras. Ada “ayak bareh” sebagai wadah pemisah beras dan padi waktu menumbuk padi. Terlihat juga alat dari bambu berbentuk seperti kerucut untuk menangkap ikan di sungai.
[caption caption="Selasar menuju dapur. (Foto: Gapey Sandy)"]
[caption caption="Dapur, ruang memasak. (Foto: Gapey Sandy)"]
Dari penjelasan yang ada, “dapua” atau dapur memang terletak di bagian belakang rumah gadang. Dapur ini punya dua ruangan. Sisi sebelah kanan, seperti yang sudah ditulis, ada tempat memasak yang dilengkapi perkakas dapur serba tradisional. Sedangkan pada sisi sebelah kiri, berfungsi sebagai tempat para dayang yang berjumlah 12 orang. Dapur Istano Basa Pagaruyung dibuat terpisah dengan bangunan utama dan dihubungkan dengan selasar.
Sayang seribu sayang... ruangan tempat 12 dayang-dayang itu tertutup dan terkunci rapat. Aduh mak! Padahal saya kepingin lihat dayang-dayangnya, eh ... maksudnya lihat ruangannya deng … heheheheee, gaswaaattttt!
Naik ke Lantai Dua
Tangga kayu menuju ke lantai dua ada di tengah lantai satu, atau dekat jalan menuju selasar. Enggak begitu tinggi, tapi karena beberapa anak tangga kayu berderit ketika diinjak maka rasanya jadi memang seperti harus ekstra hati-hati.
Di lantai dua, suasananya lumayan lapang dan memanjang, mirip seperti di lantai satu tapi lebih kecil ukuran luasnya. Tapi, tidak begitu banyak piranti yang ada. Karena memang, lantai dua ini dinamakan “anjungan paranginan” dan dimaksudkan sebagai tempat bercengkerama para puteri raja yang belum menikah (berkeluarga atau gadis pingitan). Di sisi kiri ada kamar peristirahatan puteri raja dengan tirai yang memanjang dari atap hingga lantai, menjadi semacam kelambu. Lagi-lagi, hiasan kainnya didominasi warna kuning keemasan. Bergantungan pula beberapa lampu antik.
[caption caption="Anjungan Paranginan untuk puteri raja yang belum menikah. (Foto: Gapey Sandy)"]
[caption caption="Tangga kayu untuk naik dari lantai dua ke lantai tiga. Suasana di lantai dua. (Foto: Gapey Sandy)"]
Udara sejuk terasa di lantai dua ini. Maklum, lantai ini cukup tinggi. Dan lagi, jendela-jendela istana yang dibuka benar-benar menyajikan pemandangan luar biasa indah, selain kesejukan sirkulasi udara.
Memantau di Lantai Tiga
Karena lebih punya aura untuk puteri raja, maka lantai dua saya tinggalkan, bergerak lagi naik ke tangga kayu menuju lantai paling atas, yakni lantai tiga. Di sini, nama yang disematkan adalah sebagai ruangan “mahligai”. Difungsikan sebagai tempat penyimpanan alat-alat kebesaran Raja, seperti mahkota kerajaan yang dahulunya disimpan dalam sebuah peti khusus bernama “aluang bunian”.
Kalau lantai satu dan dua langsung beralaskan lantai kayu, maka di lantai tiga, dilapisi dengan tikar rotan.
Di lantai tiga ---yang tidak terlalu luas--- ada tiga kursi kayu antik dengan satu meja bundar. Ada lampu gantung antik. Pada dinding-dinding kayunya dipajang sejumlah alat perang. Mulai dari pedang, tombak, pistol antik atau ‘pistol Balando’ dan lainnya. Ada juga ‘gobok’ atau 'bodia sitengga' yang mirip senapan angin tapi punya fungsi sebagai pemberi kabar pengumuman tentang hal-hal suka maupun duka. Tombak yang dipajang misalnya, “tombak bamato tigo” yang biasa dipakai untuk berburu, maupun pertahanan diri.
[caption caption="Ruang mahligai di lantai tiga. (Foto: Gapey Sandy)"]
[caption caption="Inilah pistol Balando yang dipajang di dinding kayu, di lantai tiga. (Foto: Gapey Sandy)"]
Selain itu, saya juga dapat melihat dengan jelas kedua ujung lancip atap rumah gadang. Natural dan gagah banget!
Taati Aturan Berwisata di Istano Basa Pagaruyung
Mengingat istana ini sudah merupakan replika dengan sejarah berpindah lokasi hingga empat kali, dan terbakar habis sebanyak tiga kali, maka pengunjung Istano Basa Pagaruyung amat diimbau untuk menaati sejumlah aturan. Di antaranya:
Pertama, menjaga dan mengawasi pengunjung anak-anak kecil untuk jangan berlari-larian di dalam area istana. Ya, karena lantai kayu agak licin, berundak-undak dan banyak replika pusaka istana yang berharga.
Kedua, pengunjung dilarang duduk di jendela. Godaan untuk duduk di jendela memang besar. Karena, pemandangan dari jendela sangat ciamik, angin juga mengempas sejuk, dan penampang jendela yang cukup lebar. Tapi, sekali lagi, tetaplah jangan duduk di jendela.
Ketiga, pengunjung dilarang melewati tali pembatas yang telah dipasang. Utamanya di lantai dua, pada bagian tempat peristirahatan puteri raja.
[caption caption="Jagalah selalu kebersihan di lokasi wisata Istano Basa Pagaruyung. Dilarang keras merokok. (Foto: Gapey Sandy)"]
[caption caption="Tunggulah menjelang maghrib untuk menyaksikan sunset dari Istano Basa Pagaruyung. (Foto: Gapey Sandy)"]
Kelima, pengunjung dilarang merokok, karena semua yang ada di istana adalah bahan-bahan yang mudah terbakar.
Oh ya, untuk lebih memanjakan mata, ada baiknya berkunjung ke Istano Basa Pagaruyung ketika sore hari. Sedari Ashar hingga jelang Maghrib, pemandangan yang nampak adalah mentari yang mulai kembali pulang ke peraduan di balik pegunungan. Perburuan memandang sunset dari Istano Basa Pagaruyung bisa menjadi momentum tersendiri. Salah satu tips yang bisa dilakukan adalah menunggu sunset dari sisi kiri maupun kanan belakang istana, atau dari mushola yang ada di sebelah kanan istana.
Okelah... sepakat, mari kita lestarikan Istano Basa Pagaruyung nan elok dan megah ini. Pengunjung juga bisa makin meresapi tradisi Minangkabau ini dengan menyewa busana tradisional. Biaya sewanya sekitar Rp 25.000 – Rp 30.000. Berfoto makin kece tentunya bila menggunakan busana adat Minangkabau. Ceklik!
Akhirnya, sambil melangkah meninggalkan istana menuju bus rombongan, saya lirih menyanyikan lagu “Ayam den lapeh” ciptaan A. Hamid.
Pagaruyuang Batusangka
Tampek bajalan urang Baso
Duduak tamanuang
Tiok sabanta
Oi takana juo
Ai … ai …
Ayam den lapeh