Mohon tunggu...
Gandhi Ansyari
Gandhi Ansyari Mohon Tunggu...

ketidaktahuanku mengenai misteri yang terjadi dalam kehidupan ini membuat aku memasrahkan jejak langkah hidupku pada ritme gending semesta. Dari ritmis semesta itulah aku mulai menggerakkan pikiran juga otot tubuhku untuk kehidupan dan semesta...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menari dalam Pangkuan Tuhan (Bagian 4)

18 Februari 2011   04:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:30 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Mawar Surga

(Bagian  4)

Suaraadzan membangunkan aku dari tidur. Akupunsegera menyibak selimut yang menutupi tubuhku. Aku bergegas mengambil air wudlu agar tidak telat mengikuti sholat subuh berjam’ah. Seperti yang biasa terjadi di pesantren. Sehabis subuh para santri segera mengaji. Banyak yang antri untuk mengaji sorogan dengan Abah. Meskipun ada juga yang mengaji dengan santri senior yang sudah ditunjuk, karena memang dianggap layak oleh Abah.

Begitu juga dengan santriwati, meskipun Ummi tidak mengajar, santriwati senior yang sudah khatam dan dianggap layak seringkali yang menggantikan peran Ummi dalam mengajar membaca al –Qur’an.

Karena aku sudah dua kali khatam mengaji dengan Ummi sebelum usiaku genap sepuluh tahun dan dua kali khatam dengan Abah ketika usiaku menjelang dua belas tahun. Jadi, enggak ada ta’zir lagi buat aku jika aku absen mengaji. Karena aku sendiri belum diijinkan Abah untuk mengajar. So, aku bisa leluasa melakukan apapun, termasuk ketika hanya memperhatikan ratusan santri yang sibuk dengan aktifitas mereka masing-masing.

Aku yang masih mengenakan sarung juga mukena hanya terdiam di bawah pohon sukun yang sangat besar yang berada di tengah-tengah pelataran aula pesantren. Terdengar suara merdu para santri meramaikan lingkungan pesantren dengan bacaan Al-qur’an. Aku terngiang oleh sebuah ayat yang dibacakan oleh santriwati yang berada agak jauh dari tempat dudukku. “Laa qod kholaqnal insana fii akhsani taqwiim,” aku terhenyak mendegar ayat tersebut. Anganku tiba-tiba terbang jauh di atas semesta. Aku lihat hamparan jagat raya yang begitu indah. Aku terkesima memperhatikan lekukan alam yang tak terkirakan keindahannya. Gunung-gunung menjuntai sedimikian kokoh, hamparan padang gersang di lembah jazirah arab terasa begitu lapang. Seketika aku terbelalak menyaksikan hamparan bumi yang menghijau menyelimuti zamrud khatulistiwa. Belum hilang kekagumanku, aku terbawa melanglang buana menikmati luasnya lautan yang sedimikian jernih mengelilingi keranjang manusia. Jutaan manusia menyemut terlihat begitu kecil di bawah sana. Mereka berjubel di atas daratan. Mereka begitu kecil, seolah tak bernilai bila dibandingkan seonggok bukit yang melambai-lambai di tengah kepulauan.

“Hmm...” aku mendengus berupaya menselaraskan antara gejolak pikiran dengan batin yang terus bergemuruh. Aku coba tata berulang-ulang logikaku yang mempertanyakan keterkaitan kalimat suci yang baru saja aku dengar tadi dengan semesta. “Benarkah Tuhan menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya bentuk?” tanya otakku yang tergambar dalam kerutan dahi.

Kalau saja semua yang aku lihat dan aku jabarkan tadi adalah pembanding dari segala bentuk keindahan, yang kata Allah diklaim sebagai fii ahsani taqwim, lantas, “Dimanakah ‘taqwimnya’ manusia dibanding jagat raya yang diselimuti padang gersang juga liukan tumbuhan hijau yang menghampar nan menyejukkan itu?” tanyaku dalam hati. “Apa masih kalah indahnya deburan ombak dan berbagai onggokan berlian yang terkandung di dalamnya? Pun pula dengan gunung-gunung yang menjulang tinggi yang seolah tinggal sedepa lagi bisa meraih bintang di langit. Masih kalahkah semua kesempurnaan atas penciptaan semua itu, bila dibandingkan manusia?! Dimana letak keindahan dan keleluasaan manusia sehingga bisa dikatakan lebih sempurna dibanding ciptaan-ciptaan Allah lainnya?!” tanyaku dalam diri bertubi-tubi.

Otakku terus mencari kebenaran akan kebenaran mutlak yang dikatakan Allah SWT dalam ayat tersebut. Aku tidak mau membenarkan sebuah kebenaran yang aku sendiri belum temukan kebenaran yang hakiki menurutku. Tapi, aku yakin, aku akan terus mencari jawaban atas pernyataan Allah tersebut. Seulas senyum penuh ketakjuban akan Allah mengahiri renunganku kali ini.

Aku bergegas melangkahkan kaki menuju rumah. Aku rapikan tempat tidurku, sebelum akhirnya kembali melangkahkan kaki ke dapur untuk membantu mbak-mbak santriwati yang biasa mengabdi di rumahku yang sedang mempersiapkan sarapan.

Seperti layaknya perempuan lainnya, akupun harus bisamemasak. Walaupun sebenarnya tanpa keterlibatanku pun masakan akan tetap ada. Karena ada beberapa santri yang ‘mengabdikan’ diri mereka pada orang tuaku yang siap melakukan apapun layaknya pembantu dikebanyakan rumah para juragan. Setelah acara masak memasak selesai aku pun segera mandi dan bersiap berangkat ke kampus.

Pagi yang cerah untuk mengawali sebuah kegiatan. Aku lihat di sepanjang perjalanku terdapat banyak keriuhan aktifitas manusia yang memadati jalan menuju tempat mereka masing-masing. Sebenarnya aku mencoba diam dan tak melibatkan perasaan dalam mengamati apapun yang aku saksikan. Karena aku tak mau terperangkap, apalagi menduga apa saja yang mereka lakukan. Karena bagiku, semua orang pasti bergegas memulai kebaikan buat kehidupan mereka masing-masing. Setidaknya mereka telah memanfaatkan semua karunia yang mereka miliki untuk mencari apa saja yang mereka inginkan. Termasuk kenyataan ironi sekaligus ‘membanggakan’ yang baru saja aku perhatikan. Sebuah pemandangan menarik yang aku lihat dari pojok jembatan, beberapa anak berusia belasan tahun terlihat baru bangun dari tidur mereka dan beranjak dari rumah indahnya. Sebuah gerobak sampah yang dijadikan tempat peristirahatan, sekaligus tempat mencari rizki untuk melanjutkan hidup mereka. Subhanallah, sungguh luar biasa ketanggguhan dan daya tahan hidup generasi muda Indonesia. Mereka generasi yang kreatif. Karena bisa memadukan antara tempat kerja dengan tempat singgah. Mereka tak butuh space berhektar-hektar untuk dijadikan ladang penghidupan layaknya penghidupannya para developer yang butuh ratusan hektar untuk membuat komplek perumahan, mall dan lain sebagainya yang lazim terjadi di kota-kota besar di Indonesia.

Tanpa terasa angkutan kota yang aku tumpangi telah berhenti di depan kampus. Aku pun segera merogoh uang untuk membayar angkot, kemudian berlalu menuju kampus.

Perkulihan berlangsung seperti yang aku duga, booring dan membosankan. Layaknya perkuliahan yang biasa terjadi, kami hanya diceramahi, disuruh baca buku, kemudian ulangan. Enggak ada sesuatu yang membuatku terangsang untuk menggali sisi lain dari logikaku akan persoalan besar yang relevan dengan persoalan sosial kemasyarakatan. Aku yang mengambil Fakultas Psikologi seringkali momok mendengar dongengan yang menurutku membosankan.

Tanpa terasa sudah jam satu siang. Aku dan kedua temanku, Rina dan Tiara berjalan menuju kantin kampus mau makan siang. Baru saja aku mau memesan makanan, Andre menghampiriku. Akupun tertegun melihat kedatanganya. Semenjak kedatanganya ke rummahku beberapa minggu lalu dan berakhir dengan keributan besar antara aku, Abah dan Ummi, aku memang tak pernah lagi bertemu dengan Andre. Aku dan Andre sepakat untuk tidak ketemuan dulu. Walaupunsebenarnya kami pun tak jarang masih telpon. Aku makin terhenyak saat Andre dengan lembut membisikan sesuatu di telingaku sambil berjalan pelan di belakangku. “Sayang, kamu sudah nggak ada mata kuliah lagi, kan?” tanyanya seolah menyembunyikan sebuah rencana terhadapku. “Memangnya kenapa?!” tanyaku menimpalinya. “Aku mau mengajakmu makan siang di tempat favoritku,” rayu Andre Sesaat aku berfikir dan tidak langsung menjawab ajakannya. Belum sempat aku menjawab, Andre langsung menarik tanganku menuju mobilnya. “Ayolah, kamu pasti suka dengan tempatnya,” ajak Andre sedikit memaksa. Aku pun akhirnya menuruti ajakan Andre.

Mobil yang kami tumpangi pun meluncur meninggalkan area kampus menuju sebuah arah yang aku sendiri tidak tahu tujuannya.

Tiga puluh menit telah berlalu, mobil yang kami kendarai makin menanjak ke area pegunungan. Aku lihat tebing curam mengelilingi tanjakan jalan yang kami lewati. Setelah cukup lama mobil yang dikemudikan Andre mengular menyusuri jalanan terjal menanjak menuju puncak pegunungan. Kami akhirnya berhenti di kedai yang ada di tepian kebun teh. Terlihat hamparan pohon teh yang menghijau. Aku temukan keleluasaan di sana. Aku merasa berdiri di tempat yang paling tinggi dari daratan bumi yang pernah aku pijak selama ini.

Bibirku berdesis, betapa kecilnya aku di tengah pelukan gunung yang begitu kokoh. Aku terdiam sejenak menikmati keindahan alam yang ada di sekelilingku. Aku lihat ukiran alam yang begitu mempesona. Tebing yang curam terlihat sangat indah dengan gemericik air kali yang mengalir dari puncak gunung. Bongkahan batu besar terongggak di kanan kiri sungai. Sepertinya batu itu hasil muntahan dari dalam gunung beberapa ratus tahun yang lalu. Keindahan itu makin sempurna dengan beraneka tanaman dan sayuran yang menghampar di lereng gunung yang agak jauh dari tempatku berada. Aku biarkan pikiranku mengelana semaunya menikmati kemerdekaannya dalam melihat dan mensyukuri karunia-Nya.

Hembusan angin yang terasa sejuk membuatku makin betah berlama lama di bibir tebing. Tak jauh dari tempatku berdiri, terlihat Andre sedang memesan makanan pada pemilik kedai. Aku tergoda untuk segera melangkahkan kaki menuju kedai. Rasa lapar yang semula aku rasakan seolah sirna, begitu aku lihat panorama alam yang sedemikian indah. Aku lihat kabut putih agak kehitaman menggantung di atas gunung persis di sekelilingku dimana aku berada. Sesekali tanganku terayun ke kanan dan ke kiri, ingin sekali aku menyimpan kabut dingin itu untuk aku bawa pulang, sebagai oleh-oleh agar aku bisa usapkan di otakku saat penat memikirkan yang tak layak dipikirkan yang seringkali membuat otak mendidih.

Mataku perlahan terpejam, aku biarkan seluruh indera tubuhku merasakan semua yang bisa dia lukiskan dalam memori mereka masing-masing. Seolah aku biarkan mereka pudar dari tanggungjawabnya menyatu dalam tubuh ini. Mereka liar tanpa beban harus melaporkan apa pada otak yang mengomandani tubuhku. Kini aku sendiri dalam kehampaan. Benar-benar hampa! Tak merasakan apapun, selain sirna dari dalam diri. Aku menyusupi sisi kosong dalam diri ini yang selama ini seolah terisi. Aku masuk dalam ruang-ruang hampa tanpa kata. Hanya dinamika ragawi yang bergerak statis. Detak demi detak menggerakan darah mengalir mengisi setiap celah tubuhku. Tak ada pesan diantara mereka yang bisa dibawauntuk dilaporkan pada otak. Mereka membisu dan terus membisu. Hingga akhirnya denyutan kalbu yang mengabarkan jika sudah saatnya bagi mereka untuk rehat sesaat layaknya para indera yang meninggalkan mereka. Mendengar itu seketika aku larut dalam ketakutan, menghawatirkan jika kalbu benar-benar rehat menggerakan tubuh ini. Aku lari tunggang langgang mencari para indera tubuhku agar secepatnya kembali bekerja dan tidak menimbulkan iri diantara mereka.

Mendadak dadaku mendesir, seolah hendak lenyap dari kawalan nyawa yang melindungiku. “Zhie Zhie...?” bisik Andre mengagetkanku. Andre yang berdiri persis di belakangkumenyadarkan aku dari lamunan yang menakutkan. Sesaat aku perhatikan dengan teliti keberadaanku juga Andre untuk mengusir sisa ketakutanku yang masih terasa.

“Sayang, kamu menyukai tempat ini?” tanya Andre dengan mesra sambil mengalungkan syal di leherku agar tidak kedinginan.

Kedua mata kami saling beradu penuh makna. Sejenak aku menatap mata Andre yang terlihat sayu karena terkena kabut yang menyelimuti tubuh kami. Tanpa terduga Andre menarik kedua lenganku, kemudian mendekapnya erat. “Kenapa kamu pucat begitu?” tanya Andre menghawatirkan kesehatanku. “Ayo buruan makan, kamu pasti menahan lapar ya? tuh makanan yang aku pesan udah matang.” Ajak Andre sambil memapahku menuju kedai.

Tanpa banyak komentar aku segera mengisi perutku yang sedari tadi menahan lapar. Banyak menu makanan tradisonal tersedia, tak terkecuali sambal terasi, sambal tomat, sayuran rebus, juga ikan bakar dan menjangan guling hasil buruan. Setelah perut kami kenyang, kami segera beranjak meninggalkan kedai. Terlihat awan gelap mulai menggulung bersiap berganti hujan. Karena khawatir nanti dicari Abah, aku pun segera mengajak Andre pulang ke rumah. Aku segera bergegas mendekati mobil yang tampak diselimuti kabut. (bersambung)

Note ;

Sorogan : Belajar mengaji yang berhadapan langsung antara Kyai dan Santri dalam satu meja

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun