Mohon tunggu...
Gandhi Ansyari
Gandhi Ansyari Mohon Tunggu...

ketidaktahuanku mengenai misteri yang terjadi dalam kehidupan ini membuat aku memasrahkan jejak langkah hidupku pada ritme gending semesta. Dari ritmis semesta itulah aku mulai menggerakkan pikiran juga otot tubuhku untuk kehidupan dan semesta...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menari Dalam Pangkuan Tuhan (Bagian 3)

11 Februari 2011   08:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:42 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Mawar Surga

(bagian 3)

Malam terus berlalu hingga beranjak dipuncak kegelapan. Semerbak wangi bunga melati menghembus di sekeliling tempat tidurku, hingga membuatku terlena oleh aromanya. Aku yang memang tak bisa memejamkan mata tergoda untuk mencari keberadaan wangi bunga itu berasal. Perlahan aku bangkit dari pembaringanku. Aku berjalan menuju dinding kaca yang membingkai kamarku. Tanganku tertarik untuk menyingkap tirai dan daun jendela yang membatasi aku dengan taman agar sedikit terbuka.

Aku lihat putih melati tampak mekar menghiasi taman di samping rumahku. Aku tersenyum mendapati wangi melati yang perlahan aku rasakan menusuk hidungku. Sejenak mataku terpejam menikmati aromanya.

Setelah dadaku lega menikmati wanginya, perlahan aku buka kedua mataku. Aku mendongak keatas memperhatikan langit yang mulai menghitam menyelimuti taman. Makin cepat sapuan awan pekat yang menyelimuti malam menyebar keseluruh langit, menandaihujan badai akan segera datang.

Tiba-tiba terdengar hembusan suara angin yang menderu kencang. Sapuan angin yang menghembus terasa dingin membekap wajahku. Aku tersenyum sambil memperhatikan gejolak alam yang sedikit aneh. Angin yang bercampur air hujan menyatu menghampiriku. Telapak tanganku dengan refleks mengusap wajahku. Deru angin membuncah, menikuk dan memaksa masuk merobek tirai yang menghalangi aku dengan mereka. “Subhanallah…,” begitu ucapku lirih sambil cepat-cepat menutup pintu jendela dan merapikan tirai itu kembali.

Bibirku mendesis lembut. “Aku tahu sobat, tak seharusnya tirai ini menghalangi kita untuk bercumbu menikmati kemesraan bersama malam yang kita lalui. Tapi, aku juga tak akan membiarkan cengkeramanmu meluluhlantahkan tirai yang selalu melindungiku, agar tak terbongkar kehinaanku di mata manusia,” desisku lirih sambil menatap langit yang terus mengguyur bumi bersama angin.

Dengan lemas aku menyandarkan tubuhku di dinding. Tidak tahu kenapa, mendadak tubuhku menggigil hebat. Rasa ketakutan menyeruak menghampiriku. Ketakutanku makin menderu bersamaan gemuruh hujan badai yang seolah hendak menenggelamkan bumi. Dadaku terasa sesak, ingatanku membawaku pada kejadian sebulan lalu, sebelum Ummi memutuskan pergi ke Makkah untuk melakukan Umrah. Aku ingat betul kenapa Ummi sampai akhirnya nekad berangkat Umrah sendirian. Hmm, waktu itu, aku baru bertengkar hebat dengan orang tuaku. Ummi marah besar karena aku tidak mau dijodohkan dengan Gus Faridz, salah seorang Putra Kyai Murtadlo, yang juga pengasuh Pondok Pesantren As-Salafiyah di Jawa Timur.

Awalnya Ummi dan Abah tidak mempermasalahkan kalaupun toh aku menolak lamaran Gus Faridz. Mereka memakluminya, selain karena aku memang belum begitu mengenalnya. Faktor usia yang memang terpaut lumayan jauh menjadi alasan pembenaran penolakanku. Ya, usiaku memang terpaut jauh dengan Gus Faridz, aku baru berusia 18 tahun, sedangkan Gus Faridz berusia 37 tahun. Meski begitu, Ummi terus berupaya membuat aku membuka hati untuk Gus Faridz. Menurut Ummi, perbedaan usia bukan alasan yang bisa diterima untuk menolak lamaran dari laki-laki sebaik Faridz. “Meskipun Faridz sudah beristri, tapi dia laki-laki yang sangat bertanggung jawab. Dia Doktor lulusan Al Azhar Kairo, Mesir. Selain itu, secara ekonomi dia mapan. Bahkantergolong lebih dari cukup,” jelas Ummi panjang lebar. Karena dia memang memiliki ratusan hektar kebun tebu. Belum lagi ditambah tiga pabrik gula, puluhan hektar tambak udang, juga ratusan ternak sapi. Yang menurutku, itu bukan alasan kenapa dia harus dicintai.

Aku hanya membisu, tak tertarik menanggapi ataupun menimpali penjelasan Ummi tentang Faridz. Melihatku terdiam, Ummi malah makin antusias membujukku. “Sayang kan Zhie, kalau orang sebaik Faridz yang berpendidikan tinggi dan juga memiliki ilmu lebih dari cukup, tidak memiliki anak sebagai pewaris keilmuan dan kekayaannya. Ummi berharap, kelak perkawinanmu dengan Gus Faridz akan makin membuat dzuriyah kita terjaga. Karena zaman sekarang susah mencari pendamping hidup yang sekufu dengan kita. Kecuali, ya Gus Faridz,” desak Ummi beralasan.

Aku hanya bisa mendengus, dadaku terasa sesak, serasa tertindih kontainer. Ummi seolah tanpa jeda membomdardir aku dengan serangan yang membuatku makin momok. Karena terus memoles Faridz biar terlihat keren di mataku, meskipun alasannya membuatku makin ilfil. “Dari dulu Kyai Murtadlo sangat menginginkan bisa menjadi besan Ummi. Kebetulan Ummi terlambat melahirkan kamu, sehingga usiamu agak terpaut jauh dengan Faridz. Coba kalau saja sebelum Gus Faridz menikah dengan Nazhilah kamu sudah cukup umur, pasti kamu yang akan dinikahinya,” begitu kilah Ummi beralasan. Yang intinya meminta, kalau tidak boleh dikatakan memaksa aku agar mau menerima lamaran Gus Faridz.

Karena eneg dan kesal tiap hari ditanya tentang lamaran Gus Faridz, akupun berniat akan memperkenalkan Andre, teman kampusku yang baru saja aku kenal beberapa minggu lalu.Selain karena aku memang tidak mencintai Gus Faridz, aku juga tidak mau urusan memilih pasangan hidup dipengaruhi dan diintervensi oleh siapapun.

Akhirnya aku mengenalkan Andre pada kedua orang tuaku sebagai pacar, sekaligus calon suamiku. Karena penasaran dengan pilihanku yang terkesan mendadak, seketika Abah dan Ummi langsung melakukan penelitian mendalam tentang siapa Andre dan bagaimana Andre.

Dari interogasi yang Abah lakukan, diketahui kalau Andre seorang Nasrani. Mengetahui hal itu, sontak Ummi shock dan jatuh pingsan. Seketika, Abah mengusir Andre dari rumahku. Karena alasan itulah Ummi akhirnya berangkat ke Makkah untuk melakukan Umrah. Aku tidak tahu alasan pastinya, kenapa keberangkatan Ummi ke Makkah terkesan mendadak tanpa rencana. Usut punya usut, aku mendengar selentingan dari para santriwati kalau keberangkatan Ummi ke Makkah untuk mendoa’kan aku agar segera menemukan jodoh dan bisa meninggalkan Andre secepatnya. Bagi Ummi dan Abah, kedekatanku dengan Andre sama artinya dengan mencoreng muka mereka dengan tahi babi.

Aku terdiam dalam kekalutanku mengingat kejadian itu. Bibirku makin menggigil kencang, walaupun aku terus menggigitnya erat. Mendadak aku tersentak ketika kilatan petir menggelegar menyambar kencang persis diatas genteng rumahku. Aku makin ketakutan dan tak sanggup lagi menahan tangis yang sedari tadi mau meledak mengingat kejadian tersebut. “Ya Allah, inikah perumpamaan nyata dari kemarahan Ummi yang sedang berdo’a di tanah suci. Begitu getir dan sakitkah hati Ummi dengan pilihan hatiku terhadap Andre. Ataukah ini justru perumpamaan atas ketidakrelaan alam melihat keteraniayaan yang aku alami. Aku yang teraniaya oleh keserakahan semu. Aku yang dijajah oleh feodalisme masa kini. Aku yang dikerangkeng dalam jeruji moralitas yang merendahkan tingginya nilai kemanusiaan yang melekat dalam diriku. Aku yang dimabukkan dalam kubangan nilai yang ditinggikan oleh sebagian orang,” gumamku lirih dalam kebimbangan. Aku mendengus, dadaku terasa sesak oleh beban yang kini menggelayuti batinku.

Aku belum bisa menyibak ada tidaknya keterkaitan kejadian alam ini dengan perselisihan yang terjadi antara aku dan Ummi. Biarkan semua terkuak pada waktunya. Aku yakin semesta punya cara dan memiliki waktu tersendiri untuk mengungkapkan apa yang disukai dan tidak dikehendakinya.

Malam makin beradu dengan segala keriuhan semesta. Aku biarkan mereka bercumbu dalam keheningan, disertai desahan petir menghiasi cumbu rayu mereka. Ritmis sapuan angin yang menghembus bersamaan dengan gemericik hujan menandai pergumulan yang sedang terjadi.

Aku termangu dalam kudapan gelisah. Batinku terus berkecamuk mencari pembenaran. “Apa aku salah jika melawan kehendak orang tuaku yang menjodohkan aku dengan orang yang tak pernah aku cintai. Apa benar cinta akan datang dengan sendirinya manakala ikatan pernikahan sudah diikrarkan. Kalau benar begitu, apa artinya pergumulan badani dijalankan, jika tanpa didasari rasa cinta dan kasih sayang. Apakah itu tidak sama artinya dengan pemerkosaan yang dilegalkan? Karena akan menjadi wajib hukumnya seorang istri melayani keinginan seorang suami untuk bercumbu. Apa halal hukumnya ketika aku membiarkan tubuhku yang tergolek tanpa busana dinikmatinya, sedangkan aku jijik dan tersiksa oleh setiap cumbuan yang dilakukan?!” debatku miris dalam batin

Batinku terus bergemuruh, banyak tanya menyertainya. “Inikah ajaran yang katanya kehadirannya untuk memuliakan manusia. Apa jadinya ketika percumbuan itu aku imbangi dengan hasrat yang menggebu, tapi bukan karena ketertarikan pada suami yang mencumbuiku, melainkan sosok laki-laki lain yang aku cintai yang menyemati dari dalam diriku? Dengan begitu, aku tidak menganggap suami di akta nikah yang mencumbuiku, tapi seseorang yang diharamkan secara hukum agama yang membangkitkan birahi, hingga tanpa sadar aku menikmati cumbu rayu palsu dari suamiku,” tanyaku dalam dada.

Aku terhenyak dari lamunanku, perlahan aku perhatikan malam yang kesepian karena ditinggalkan hujan yang baru saja mencumbuinya. Bibirku tersenyum tipis mengingat apa yang baru saja aku lamunkan. Kedua tanganku secara reflek mengembang dan mengusap rambut yang terurai menutupi wajahku. Aku pun menghela nafas lega. Karena apa yang baru saja aku risaukan ternyata hanya ilusi yang bercokol dalam lamunanku. Mudah-mudahan itu hanya ketakutan batin yang tak perlu aku takuti. Toh kenyataannya, kini aku masih sendiri dan belum menjadi istri siapapun.

Walau begitu, aku masih belum yakin kalau apa yang baru saja aku debatkan adalah lamunan. Karena ketakutan itu sangat kentara aku rasakan. Dengan penuh selidik aku raba seluruh tubuhku. Bahkan aku juga memastikan selangkanganku kalau mahkota wanitaku benar-benar masih terjaga kewangiannya. Setelah aku yakin tak ada noda laki-laki yang tertinggal disana, akupun tersenyum dan melangkahkan kaki kembali menuju tempat tidur. Aku rebahkan tubuhku yang lumayan sintal di atas ranjang. Aku mulai pejamkan mata agar bisa menikmati indahnya malam tanpa ketakutan yang menggelayuti. (bersambung...)

Note :

dzuriyah : garis keturunan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun