Aku terus menggali dan berpacu mengejar waktu. Suara burung malam menaikkan bulu kudukku. Suara nafasku semakin berat, sementara keringat terus menetes dari kening dan mulai membasahi bajuku.
Sesekali aku membersihkan ujung cangkul, dari tanah basah kuburan yang lengket dan menempel, tenagaku sudah mulai berkurang, tapi demi sebuah tujuan yang harus diselesaikan malam ini juga, semangatku kembali bangkit dan mempercepat pekerjaanku. Aku terus menggali, sampai...
"DUK...!"Mata cangkulku menumbuk benda keras.
Aku menyeka keringat dan langsung mengais tanah dengan kedua tanganku. Denyut jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya. Dingin malam seperti tak sanggup mengalahkan gelegak darahku yang mulai menghangat, tatkala mataku membentur deretan papan yang tersusun tumpang tindih.
Setelah melemparkan cangkul, aku menggeser dua keping papan yang berada di ujung liang kuburan, sampai terlihat seraut wajah terbungkus kain putih, yang membuat aku terkesiap.
"Jelita..." Bisikku menyebut nama orang, yang kuburannya baru saja aku bongkar.
Perawan desa ini masih terlihat cantik, di bawah bias cahaya bulan yang memantul menyinari wajahnya, meski telah menjadi mayat.
Dengan sigap ku jejakkan kedua kaki ke dalam lubang, sambil mengedarkan pandangan ke sekitar perkuburan, berjaga-jaga jika ada yang melihat perbuatanku. Tidak lama kemudian, mayat perempuan itu telah ku letakkan di bawah pohon kamboja, yang berjarak kira-kira tiga meter dari perawan tadi dikubur.
Aku beralih ke tempat semula, lalu menimbun kembali kuburan yang baru saja aku bongkar seperti asalnya. Setelah dirasa cukup, aku lalu memanggul mayat perawan tersebut dan bergegas meninggalkan areal pemakaman yang semakin gelap saat gulungan awan menutupi cahaya purnama. Sementara seekor gagak yang terbang di atas kepalaku, mengeluarkan suara yang menggidikkan.
Koak...koak...koak...!
*****