Cita-cita mulia tentang bangsa ini yang ada di dalam benak presiden dan para pembantunya sepertinya terjebak di dalam paradoks yang mereka ciptakan sendiri. Pemerintah sepertinya memiliki keinginan yang kuat guna mewujudkan Indonesia Emas pada tahun 2045, namun pada saat yang bersamaan pula pemerintah acuh tak acuh terhadap pendidikan di negeri ini dan kerap kali menerbitkan peraturan yang membabi buta tanpa pertimbangan matang-matang. Sehingga menimbulkan kebingungan yang mendalam bagi seluruh rakyat Indonesia.
Salah satu instrumen penting untuk mewujudkan negara yang maju adalah dengan Pendidikan. Ki Hajar Dewantara telah menetapkan fondasi dasar untuk Pendidikan Indonesia dengan menekankan Pendidikan itu berfokus kepada pemenuhan kebutuhan masing-masing individu untuk menciptakan manusia yang mandiri, bebas serta memiliki jiwa kemanusiaan sehingga memberikan dampak yang baik bagi diri sendiri, lingkungan dan masyarakat luas.
Untuk mencapai kebebasan dalam pembelajaran, maka guru dan murid harus saling berkolaborasi bukan hanya saat di dalam kelas namun juga saat berada di ruang kelas, sehingga Pendidikan itu juga bukan hanya sekedar transfer ilmu namun juga guru mampu mentransfer pola pikir dan gaya hidup yang baik kepada murid-muridnya.
Kenyataan yang kita terima saat ini adalah Indonesia tertinggal dari negara tetangga. Â Pendidikan Indonesia sempat menjadi contoh bagi negara luar seperti Malaysia. Mereka dahulu mengimpor tenaga Pendidikan dari Indonesia untuk memperbaiki kualitas pengajaran di negara mereka, namun kini bangsa ini ditinggalkan dan harus tertatih-tatih dalam melangkah. Bahkan tingkat Intelligence quotient (IQ) nasional berada dalam angka 78,49 dan berada di peringkat 129 dari 197 negara yang diuji, sedangkan di Asia Tenggara, Indonesia berada di peringkat 10 dari 11 negara, sungguh sebuah kenyataan yang sangat miris sekali.
Pendidikan sepertinya hanya dijadikan lahan mainan dan lahan basah untuk mengeruk pundi-pundi kekayaan para pejabat.
Korupsi dana BOS, infrastruktur Pendidikan yang tidak memadai, kualitas Pendidikan yang timpang antara di kota besar dengan di pedesaan, kesejahteraan guru dan pendidik yang jauh dari kata layak, tingginya uang sekolah dan uang kuliah, pungutan-pungutan liar kepada para siswa, beban administrasi yang sangat menumpuk dan permasalahan lainnya membuat Pendidikan di negeri ini tidak berkembang malah mengalami kemerosotan.
Bahkan di dalam beberapa kesempatan, pemangku kepentingan di negeri ini seperti tidak tahu harus berbuat apa sehingga muncul pernyataan demi pernyataan yang di luar nalar.
Sementara cita-cita emas itu selalu muncul di setiap seminar-seminar dan menjadi tagline besar dari pemerintahan di setiap kegiatan. Lalu darimana nantinya kita memiliki sumber daya manusia yang kompeten di segala bidang jika pendidikannya tidak diurus dengan baik dan bijak ?
Berbicara bonus demografi itu juga harus dibarengi dengan kualitas Pendidikan, percuma kita memiliki bonus demografi yang sangat melimpah sementara tidak memiliki kualitas sama sekali. Dan pada akhirnya akan menjadi beban negara. Sudah seharusnya Pendidikan menjadi yang utama dan terutama diperhatikan untuk menyongsong cita-cita emas tersebut.
Politisasi Pendidikan itu harus dijauhkan, sebab jika berbicara politik tujuan akhirnya itu sudah sangat berbeda. Kita tidak bisa memberikan cek kosong kepada para politisi yang berbicara mengenai Pendidikan, Pendidikan harus diasuh orang-orang yang murni cita-citanya dan murni hatinya.
Hal lain yang perlu disoroti juga ialah, ketika negara lain telah menetapkan pakem mujarab untuk pendidikannya, Indonesia masih terus mencari dan bertanya pada rumput yang bergoyang. Pimpinan berganti, berganti pulalah metode dan kurikulum pendidikan untuk menyesuaikan dengan pesanan. Hal ini menjadikan anak bangsa tidak memiliki pendirian yang tetap tentang cita-cita dan arah bangsa ini hendak kemana, padahal Ki Hajar Dewantara telah meletakkan dasar Pendidikan dengan begitu cantik dan penuh cinta dengan semboyan Ing Ngarso Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.