Mohon tunggu...
Galuh Pramesti Regita Andini
Galuh Pramesti Regita Andini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Nasional

Pengagum tokoh fiksi dan amatir yang tidak pernah berhenti.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Perubahan Iklim dari Sudut Pandang Umat Beragama, Hingga Sinyal Krisis Etika

1 Agustus 2022   23:46 Diperbarui: 2 Agustus 2022   10:49 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada dasarnya alam semesta memiliki kemampuan diri untuk menjaga keseimbangan ekosistemnya sendiri sebagaimana kodrat alamnya. Namun, tekanan hingga eksploitasi yang dilakukan manusia terhadap lingkungan terlalu besar untuk dipikul oleh alam kita. Kemudian apa yang terjadi? Keaadan bumi kita berada di ambang kritis. Bencana lingkungan pun tak terhindarkan setiap tahunnya, mulai dari banjir, pembakaran hutan, pemanasan global, hingga yang baru-baru ini meresahkan dunia yaitu perubahan iklim.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) melaporkan hasil studi terbaru mengenai kenaikkan suhu bahwa permukaan bumi diperkirakan akan naik hingga mencapai lebih dari 1,5 derajat Celcius dalam kurun waktu dua dekade ke depan, meleset dari target Perjanjian Paris (Paris Agreement) (greeneration.org, 2021).

Hal ini tentunya menyita perhatian dunia, tak terkecuali kelompok umat beragama. Tokoh-tokoh agama dunia turut merasakan keprihatinan yang sama tentang persoalan perubahan iklim. Salah satunya Imam Akbar Ahmed El Tayeb, Grand Syeikh Al Azhar Mesir, yang pada pertengahan tahun 2021 kembali memperingatkan bahwa berbagai bencana alam seperti banjir dan naiknya suhu bumi telah mengakibatkan ribuan korban.

Ketua Majelis Hukama Al-Muslimin (MHM) itu serius dalam menyerukan tindakannya untuk melawan krisis terhadap perubahan iklim, kekhawatirannya merupakan hal wajar karena krisis perubahan iklim sendiri merupakan problem yang kasat mata (kemenag.go.id, 2021). Misalnya di negara Irak, masyarakatnya harus bertahan hidup di tengah suhu panas yang mendekati 52 derajat Celcius, mirisnya gelombang panas tersebut merupakan suhu tertinggi yang pernah dialami (bbc.com, 2021).

Pada Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (COP26) sejumlah pemimpin agama dunia berkumpul untuk membahas seputar masalah perubahan iklim dalam pertemuan yang dinamai "Faith and Science: Towards COP26". Beberapa di antaranya termasuk Paus Fransiskus, Uskup Agung Canterbury Justin Welby, Patriark Ekumenis Ortodoks Bartholomew, serta perwakilan agama lainnya seperti Islam, Yudaisme, Hindu, Sikh, Buddha, Konfusianisme, Taoisme, Zoroastrianisme, dan Jainisme.

Para pemuka agama ini berkumpul dan membuat seruan untuk menawarkan solusi sebagai upaya nyata menyelamatkan Bumi dari krisis ekologi yang belum pernah terjadi. "COP26 merupakan panggilan mendesak untuk memberikan tanggapan efektif terhadap krisis ekologi yang belum pernah terjadi sebelumnya dan krisis nilai yang kita alami saat ini, dengan cara ini menawarkan harapan nyata kepada generasi mendatang," ujar Paus dalam pidato yang dia sampaikannya kepada para peserta pertemuan. Tak hanya itu, Rajwant Singh selaku pemuka agama Sikh dari Amerika Serikat turut juga membagikan tanggapannya terkait bahaya perubahan iklim. "Jika satu bangsa tenggelam, kita semua tenggelam," ujar Rajwant Singh (Reuters, 2021). Para pemuka agama dunia juga mendesak seluruh negara untuk mencegah terjadinya kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celcius dan segera mencapai emisi karbon net-zero (cnnindonesia.com, 2021). Seberapa parahkah dampak perubahan iklim hingga begitu dikhawatirkan para pemuka agama?

Bisa dibayangkan, dengan kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius saja, akan mengakibatkan naiknya ketinggian permukaan laut hingga 48 cm dan dapat menyebabkan banjir hebat yang bahkan dapat menenggelamkan kota di tepi pantai. Laut pun akan memanas 16 kali lipat dan hal tersebut mengancam kelangsungan hidup semua spesies laut. Tak cukup sampai situ, akan ada penambahan rata-rata 19 hari dengan gelombang panas ekstrim yang meninggikan potensi kebakaran hutan, dan akan ada 2 bulan dimana kekeringan yang terjadi dalam setahun sehingga meningkatkan potensi kemarau, gagal panen serta kelangkaan air (greeneration.org, 2021).

Seruan para pemuka agama ini menjadi pengingat penting bagi kita bahwa umat manusia harus berhenti bersikap abai terhadap isu lingkungan.  Krisis perubahan iklim bukan perkara main-main, fenomena ini akan menjadi masalah serius yang bisa bermuara pada degradasi lingkungan atau penurunan kualitas bumi sebagai tempat huni.

Bila dicermati, kita turut andil dalam seperti perubahan iklim tersebut, karena berbagai persoalan lingkungan datang dari manusia itu sendiri. Salah satu contohnya yakni persoalan sampah yang seolah tak pernah terselesaikan di Indonesia. Seperti yang diketahui bahwa pertumbuhan penduduk di Indonesia menjadi salah satu faktor bertambahnya tumpukan sampah yang sulit ditangani. Pada tahun 2020, dari 270 juta jiwa penduduk Indonesia menghasilkan sekitar 67,8 juta ton sampah. 

Bedasarkan data oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 37,3% aktivitas rumah tangga menjadi penyumbang terbesar sampah yang menimbun di Indonesia (databoks.katadata.co.id, 2021).  Akibatnya banjir menjadi bencana alam yang sering terjadi di Indonesia, sebagaimana laporan data oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) diketahui sepanjang tahun 2021 telah terjadi 3.058 peristiwa bencana alam di tanah air, dari keseluruhan jumlah tersebut 42,1% diantarannya didominasi oleh bencana banjir (databoks.katadata.co.id, 2021). Hal ini membuktikan bahwa bukan kerusakan alam terjadi pada kita, namun kitalah yang merusak alam tersebut.

Selama ini ketika bencana alam terjadi masyarakat kita hanya sibuk berdebat seputar pesoalan teknis. Seperti memperdebatkan ketidakmampuan waduk untuk menampung air dengan jumlah besar ketika banjir terjadi atau perdebatan tentang bahaya pembangunan infrastruktur yang secara teknis dianggap memicu dampak bencana. Padahal bencana dan kerusakan alam seperti perubahan iklim merupakan sinyal bagi manusia bahwa kita sedang menghadapi krisis etika lingkungan. Keraf dalam bukunya Etika Lingkungan Hidup (2010) menjelaskan bahwa masalah lingkungan hidup merupakan persoalan yang berkaitan dengan perilaku dan moral manusia. Sebagaimana pendapat oleh IPCC bahwa penyebab naiknya permukaan laut, mencairnya es di kutub dan gletser, hingga fenomena gelombang panas, banjir, kebakaran hutan, dan kekeringan, tidak lain adalah aktivitas manusia itu sendiri (greeneration.org, 2021).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun