Mohon tunggu...
kusnun daroini
kusnun daroini Mohon Tunggu... Petani - Pemerhati sosial politik dan kebudayaan dan sosial wolker

Pemerhati / penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru Budi, Dilan, dan Kartu Kuning Jokowi, Potret Generasi yang Terlahir "Aborsif"

20 Februari 2018   06:59 Diperbarui: 21 Februari 2018   13:58 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: businessinsider.sg

Pasca peristiwa terbunuhnya Ahmad Budi Cahyono (kemudian lebih dikenal sebutan Guru Budi) dunia  pendidikan nampak terkejut dan sedikit shock. Orang baru sadar bahwa mimpi buruk itu menjadi kenyataan. Wajah Pendidikan diIndonesia mendadak bopeng-bopeng dan lebam. Semua habitus mulai penggiat pelaku dan tak terkecuali pengamat pendidikan dibuat terperanga. Mereka secara serentak ramai-ramai mengecam dan mengutuk sang pelaku pembunuhan yang tidak lain adalah anak didiknya sendiri.

Kalayak mendadak secara kompak  memakai dua jenis kacamata pandang yang berwarna hitam dan putih. Yaitu terkelompokkan dalam sudut pandang menghakimi pelaku sebagai sang durjana, dan sebaliknya memposisikan korban sebagai pahlawan yang harus dijunjung tinggi nama dan jasa-jasanya.

Namun sayangnya musibah  dalam kasus tersebut tidak menyisakan sebuah ruang "refleksi serius" bagi dunia pendidikan yang sedang sekarat. Tersebab dari sang pengampu kebijakan pendidikan sendiri yaitu para menteri terkait dan jajarannya tidak menganggap kematian Guru Budi adalah "malapetaka" tetapi dianggap sebuah bentuk kekhilafan saja.

Sehingga setelah tragedi tersebut kita tidak menemukan satu tekad yang dapat dijadikan antitesa  dari rapuhnya mentalitas dan moralitas pendidikan kita yang sudah begitu mengkuatirkan. Padahal harapannya tragedi itu akan menjadi prasasti penting bagi bangsa ini untuk berbenah kearah revolusi  sosial kebudayaan yang dicita-citakan oleh foundhing fathers kita. Bukan hanya berhenti dalam jargon sepereti sekarang ini..

Lantas benarkah penilaian yang sudah dianggap umum dan lumrah adanya tersebut menjadi sebuah silabi yang tidak perlu ditinjau ulang. Inilah masalahnya. Padahal kalau direfleksikan secara serius kasus terbunuhnya Guru Budi ditangan muridnya sendiri adalah adalah sebuah tragedi serius mengenai "jungkir balikya" sistem nilai dalam dunia pendidikan.

Karena keduannya baik itu si pelaku ataupun korban dari peristiwa tersebut sama-sama jadi "korban sistem" Pendidikan di Indonesia yang "kedodoran"dan tidak tuntas memahami potret sosial masyarakat kekinian yang pelik komplek dan mengglobal. Lembaga pendidikan semakin eksklusif dengan dengan realitas kebudayaan yang mengepung dan melingkupinya. Seolah ada fakta yang terpisah antara dunia pendidikan dengan dunia nyata ada diluarnya. Dan memang dirasakan ada kesengajaan yang terselebung antara tuntutan dan pencitraan dalam dunia pendidikan hingga sekarang.

Memang benar adanya bahwa  cara pandang sekaligus model berfikir masyarakat  adalah sebuah hasil dari produk sistem pendidikan yang sempat melahirkannya. Paradigma dan sudut pandang manusia terhadap dirinya,lingkungan dan sesamannya  tidak bisa terlepas dari induknya kebudayaan yang pernah mengandungnya.

Logika orang mengandung dipastikan adalah hasil dari sebuah perkawinan dua sejoli manusia pada altar suci pernikahan. Lantas pada saatnya sang janin membesar dalam buaian kasih sayang sang ibu kemudian pada hari yang telah ditentukan  sang bayipun terlahir kedunia. Perlu diingat bahwa pada proses kelahiran si jabang bayipun juga tidak bisa dilepaskan oleh peran penting dari sang bidan. Sehingga pada akhirnya sang bayipun lahir dengan selamat.

Demikian juga proses lahirnya sebuah generasi sekarang atau yang akrab disebut dengan Generasi Millenial  juga dikandung dan dilahirkan oleh sistem tertentu yang mana pendidikan adalah salah satu yang pernah menjadi "rahimnya". Kita boleh bertanya dengan alur berfikir seperti diatas.

Harus segera kita telisik secara jeli dan cerdas tentang sosok seperti apakah sistem kebudayaan yang sempat mengandung dan melahirkan sang generasi baru tersebut. Siapa juga sosok yang sempat menjadi bapak dari anak-anak kebudayaan tersebut. Apakah proses kelahiran sijabang bayi tersebut adalah buah dari hubungan yang didasari saling cinta atau berdasarkan keterpaksaan.  Atau bisa juga hasil dari perselingkuhan ataupun hubungan sepihak yang tidak diinginkan oleh sang ibu. Inilah pertanyaan-pertanyaan yang luput dari kesadaran banyak orang yang sempat hidup di zaman kekinian.

Sudah hampir dua dasawarsa terhitung pasca rezim orde baru,  bangsa ini sudah lupa dan melupakan jati dirinya. Gerak dan laju pemerintah hanya dipacu ,oleh logika kerja dan angka. Sebuah cara pandang yang dibangun diatas pondasi pragmatis.  Cara pandang demikian kemudian meletakkan  manusia dan derita akan beban  hidup tidak pernah dihayati dengan kepekaan hati nurani yang selalu berdenyut disaat menyepakati sebuah kebijakan. Faktanya jutaan derita manusia hanya disimpulkan dalam rumus ekonomi makro dengan sederet angka statistik yang rumit dan kering akan keberpihakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun