Mohon tunggu...
Muhamad Jalil
Muhamad Jalil Mohon Tunggu... Dosen - Orang pinggiran

Write what you do

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Penyelam Kecerdasan Anak

12 Februari 2019   07:27 Diperbarui: 12 Februari 2019   08:03 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Kita harus percaya bahwa ada harta karun dalam diri anak kita" Sebuah paragraf yang saya pungut dari salah satu trilogi Munif Chatib yang berjudul "orang tuanya manusia". Kebetulan tulisan ini dibuat setelah memaksakan membaca buku karya direktur SMA SOH Cibubur. Pribadi yang fakir ini menyadari betul bahwa agak terlambat memiliki buku bersampul biru itu, karena buku ini diterbitkan pada Tahun 2012. 

Bagiku lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Tulisan ini tidak bermaksud untuk mereview isi buku karya Munif Chatib. Sebab saya pribadi bukan termasuk ahli atau pakar terkait parenting, psikologi, apalagi dunia anak-anak. Hanya karena saat ini sedang dititipi dua anak, mau tidak mau harus ikut belajar bagaimana mendidik anak yang benar.

Ide yang menurutku menarik adalah bagaimana ia menyarankan agar kita sebagai orang tua tidak perlu buru-buru menilai kemampuan anak. Justru kita harus percaya bahwa anak-anak kita memiliki sejuta potensi yang dibawa sejak lahir. 

Manusia terlahir membawa gen pemenang. Dalam agenda training motivasi tak bosannya seorang motivator berpekik "Saudara-saudara berbanggalah karena kalian terlahir dalam kondisi pemenah" sayapun sebagai orang biologi mengamini dan membenarkan paparan sang motivator. 

Hal ini disebabkan dalam kacamata biologi reproduksi, manusia lahir ke bumi setelah melalui proses pembuahan jutaan sperma yang berebut untuk dapat membuahi satu ovum saja. Dan endingnya hanya satu sel sperma sebagai seorang pemenang. Hal ini menunjukkan bahwa manusia terlahir dalam kondisi yang sangat sempurna.

Orang tua hendaknya terus menggali letak bakat dan kemampuan anak. Proses penggalian ini yang kemudian didesain dengan dengan pendekatan yang berbeda, sehingga benar-benar menjadi orang tuanya manusia. Orang tua punya kewajiban memberikan perhatian dan kasih sayangnya kepada anak. Tidak melulu tentang materi tetapi lebih ke arah perhatian terhadap tumbuh kembang anak baik dari aspek fisik maupun mental anak (Jalil, 2016). 

Orang tua tidak cukup menitipkan masalah masa depan anak pada guru di sekolah. Sebagaimana yang disampaikan Chatib dalam bukunya, terwujudnya simbiosis mutualisme antara orang tua dengan guru akan meningkatkan mutu pendidikan. Komunikasi yang baik akan dapat mengontrol kegiatan anak di sekolah serta dapat mengevaluasi kemajuan anak. Jika komunikasi antara guru dan orang-tua murid hanya berlangsung pasif, itu akan memperlambat proses pendidikan anak karena tidak terjadi kontrol dari dua arah (Hutasuhut, 2017).

Chatib menilai banyak orang tua terjebak dengan pola pengasuhan orang tua model robot. Term robot dijabarkan sebagai sebuah alat mekanik yang dapat melakukan tugas fisik, baik menggunakan pengawasan dan kontrol manusia, ataupun menggunakan program yang telah didefinisikan terlebih dulu (kecerdasan buatan) (Khatami, 2018). 

Manusia tidak bisa dikontrol sepenuhnya layaknya seperti robot. Orang tua tidak bisa memaksakan anak harus jadi ini dan itu. Dan tak bisa pula memaksakan anak harus jadi duplikat orang tuanya. Anak dibebani harus ikut les ini dan itu, sehingga tidak ada waktu untuk melenturkan oto-otot saraf atau repair DNA. 

Kondisi ini jika terulang-ulang, maka anak akan mengalami tekanan kognitif yang berakibat pada downshifting (penyusutan) yaitu kapasitas saraf untuk berpikir rasional mengecil dan berujung cognitive shutdown. Dampak downshifting sangat ngeri. Yaitu menghentikan proses belajar anak, menghambat kemampuan berpikir anak, dan menurunkan afektif atau respons anak (Chatib, 2018, pp. 74--80).

Orang tua harus lebih mengerti kalau faktor intelektual tidak selamanya menjadikan orang berhasil pada saat yang akan datang. Anda pasti kenal Fisikawan dunia yaitu Albert Einstein bukan? Dia baru bisa berbicara pada umur 4 tahun, membaca saat berusia 7 tahun, dan pernah dikira cacat mental (Hardian, 2017). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun