Mohon tunggu...
Muhamad Jalil
Muhamad Jalil Mohon Tunggu... Dosen - Orang pinggiran

Write what you do

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ketulusan Melati

31 Oktober 2017   15:38 Diperbarui: 7 November 2017   11:56 2133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: bunganusantara.com

Bunga Melati (Jasminum sambac) menjadi puspa bangsa sejak Tahun 1993 silam. Hal itu dituangkan pada Kepres No 4 Tahun 1993. Kepres itu juga mentahbiskan Anggrek bulan dan Raflesia masing-masing sebagai puspa pesona dan puspa langka.

Lahirnya kepres itu sekaligus sebagai hari peringatan cinta puspa dan satwa nasional (HCPSN). Tujuan memperingati HCPSN adalah mewujudkan kepedulian dan rasa cinta terhadap bunga pada umumnya, serta bunga nasional pada khususnya, dikalangan segenap lapisan masyarakat.

Langkah pemerintah untuk mengorbitkan Melati sebagai puspa bangsa tidak berhenti pada aksi ceremonial, tetapi aneka jalan ditempuh. Pemerintah membuat uang kuningan senilai 500 rupiah pada tahun 1991 dan 1992 bermotif bunga Melati.

Disusul pecahan yang sama tetapi berbahan alumunium dengan Tahun emisi 2003. Langkah ini cukup efektif, karena uang merupakan alat pembayaran jual-beli yang berlaku di masyarakat kita. Dalam hal ini memungkinkan masyarakat dapat melihat, menyentuh, sampai meraba uang logam bergambar Melati secara langsung. Lebih-lebih uang logam (baca: recehan) merupakan alat tukar yang lazim dipakai dalam usaha ekonomi marginal, seperti kelontong, pasar tradisional, kaki lima, pedagang keliling, dan segudang lagi. Artefak Melati pada uang recehan menandakan kampanye pemerintah waktu itu begitu merakyat, sehingga tidak hanya menyentuh pada kaum atas, tetapi menjangkau entitas bawah.

Kebijakan-kebijakan di atas tidak lantas masyarakat peduli dan cinta terhadap identitas dan simbol bangsa. Justru perayaan HCPSN yang diharapkan dapat mempopulerkan puspa dan satwa bangsa, tahun ini (baca: Tahun 2017) kurang ada greget akibat isu politik jelang pilkada dan pilpres.

Barangkali kita patut iri pada masyarakat Jepang akan kebanggaan terhadap kembang sakura. Juga meneladani warga kincir angin dalam membumikan bunga tulip. Mereka sangat bangga identitas nasionalnya diakui negara lain. Pohon Sakura seringkali dijadikan tema background yang artistik pada sebuah sekuel drama romantis. Tulip disebut berulang-ulang oleh guru Biologi kepada siswanya saat menjelaskan gerak termonasti pada tumbuhan. Dan sebagainya.

Perlu diketahui bahwa Melati sebagai puspa bangsa mengandung makna historis-filosofis, dan budaya yang dalam. Secara historis-filosofis kemerdekaan yang kita rengkuh tidak lepas dari perjuangan suci para pahlawan bak bunga Melati putih sederhana di pagi hari. Perjuangan mereka tidak pakai embel-embel atau tendensi apapun seperti jabatan, harta, kemewahan, bahkan popularitas. Namun suci, karena mereka cinta bangsa dan tanah air ini.

Wajar jika penyair legendaris Indonesia menggambarkan Melati sebagai pahlawan yang gugur di medan perjuangan, yang harumnya senantiasa hadir sebagai kusuma yang menghiasi Ibu Pertiwi. Terlihat pada lagu patriotik "Melati di Tapal Batas" (1947) sentuhan Ismail Marzuki dan "Melati Suci" (1974) garapan Guruh Soekarnoputra.

Dalam konteks budaya, bunga Melati menjadi bagian tak terpisahkan saat menjalankan prosesi adat dari banyak suku di kepulauan nusantara. Kuncup bunga Melati yang belum sepenuhnya mekar biasanya dipetik, dikumpulkan, dan dirangkai menjadi roncean Melati. Pengantin adat Jawa atau Sunda dihiasi roncean Melati yang membentuk jaring pembungkus konde, dan sebagian lainnya membentuk rantai rumit roncean Melati yang menggantung dari kepala pengantin wanita (Toto Sutater & Kusumah Effendie, 2011).

Makna luhur pada Melati sudah selayaknya disikapi dalam bentuk perbuatan nyata. Penulis mencatat ada salah satu hari istimewa pada bulan November ini untuk merealisasikan. Adalah hari HCPSN yang jatu pada tanggal 5 November 2017.

Manifesto perbuatan nyata pada hari HCPSN dapat diterjemahkan menjadi tindakan konservasi ilmu, budaya, dan alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun