Mohon tunggu...
Galeh Pramudianto
Galeh Pramudianto Mohon Tunggu... Guru - https://linktr.ee/galehpramudianto

Pengamat langit-langit kamar.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ekranisasi: Alihwahana yang Membahana

16 Desember 2013   18:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:51 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” kutipan dari Pram itu menjadi bukti sahih mengapa banyak karya sastra yang abadi, kemudian kian dikukuhkan keberadaannya pada medium audio-visual.

Pada penghujung tahun 2013, novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka di ekranisasi oleh para produser film, setelah sebelumnya ada banyak karya sastra yang telah berubah menjadi film.

Ekranisasi merupakan istilah yang akhir-akhir ini semakin familiar dalam kajian sastra di Indonesia. istilah ini berasal dari bahasa Perancis, écran ‘layar’. Pamusuk Eneste mendefinisikannya sebagai pelayarputihan, pemindahan/ pengangkatan sebuah novel (karya sastra) ke dalam film. Sementara itu, Sapardi Djoko Damono mendefinisikan ekranisasi sebagai alih wahana, yaitu pengalihan karya seni dari satu wahana ke wahana lain. Ekranisasi, dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan sebagai pengadaptasian karya sastra (wahana tulis) ke dalam film (wahana audio-visual).

Sebuah karya memang tidak terlepas dari hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis) seperti perdebatan antara Aristoteles dan Plato yang menerangkan kepentingan keberadaan seniman dan sastrawan dizamannya. Plato menyatakan mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dari ‘kebenaran’. Sementara Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan kebaruan. Kini pertentangan dan argumentasi mereka menjadi nyata dalam bentuk karya sastra dan kemudian mengalami ‘peniruan’ lagi dalam bentuk alihwahana.

Kini ungkapan Aristoteles berbalik dengan pernyataan Plato. Karya sastra yang ada sekarang bukan hanya peniruan dari gambaran kenyataan, kini karya sastra: serius maupun populer, menjadi ‘pedoman’ bagi para pekerja film dalam menelurkan sebuah film yang memburu ide dari sebuah prosa-prosa yang laris terjual.

Berawal dari Kata

Ketika karya dibuat, hadir sebuah pemikiran dari seorang pengarang. Pengarang dengan segenap pikirannya mengeluarkan gagasan yang melibatkan ekspresi dari dirinya. Karya sastra memang tidak terlepas dari teori abrams yaitu pragmatis, ekspresif, obyektif dan mimesis. Dari keseluruhan itu tercipta dengan berkesinambungan dan koheren. Kemudian, ide, plot, latar, dan elemen yang dibutuhkan dalam novel itu dipadukan dengan apik. Dari berbagai pergulatan tadi, novel kini telah berada di toko buku. Kemudian para produser dan praktisi film mencari ide cerita, yang ekspektasinya film itu akan box office. Mereka pun mencari dari tumpukan rak buku berlabel best seller, kemudian terjadi negosiasi dan diskusi hingga masuk ke ruang produksi.

Mengutip dari baitpuisi Subagyo Sastrawardoyo berjudul “Kata” tentang kata yang koheren dan bermakna komprehensif.

Asal mula adalah kata

Jagat tersusun dari kata

Di balik itu hanya

ruang kosong dan angin pagi

Ketika sebuah film membicarakan berbagai macam teknis dalam proses pembuatannya, seperti bedah skenario, pra produksi, produksi, pasca produksi dan distribusi. Sungguhpun bisa lebih dalam lagi, mulai dari shoot, scene, sequence dan perpaduan dari semua itu. Maka, ide dan kata begitu berbahaya, karenanya film dapat diproduksi karena proses brainstorming tersebut yang melibatkan gagasan yang ditulis melalui kata sebagai fondasi awalnya, seperti yang dikemukakan di puisi Subagyo.

Seperti kata Pram, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Menulis—yang semuanya berawal dari kata—menjadi pedoman bagi semua bidang, tak terkecuali hanya ekranisasi saja. Kemudian, produser dan para praktisi film mengeruk celah tulisan menjadi media audio-visual yang dimensinya lebih komplet, dan penulis menuangkan idenya dalam bentuk novel. Dalam hal ini terjadi simbiosis mutualisme, antara keduanya. Ada satu gagasan dengan dua media berbeda yang dapat dinikmati: Novel dan film. Alihwahana khususnya ekranisasi akan terus ada selama manusia masih menuliskan karya-karya bermutunya, kemudian industri film berangkat dari karya yang terpampang di etalase best seller. Berangkat dari itu, maka dinantikanlah karya sastra lainnya yang bermutu dari pengarang kita—yang mendobrak dengan intelektual, moral dan estetik—bukan semata hanya ingin dilirik di gedung bioskop nantinya.(galeh)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun