Mohon tunggu...
Galang Ksatria Bella
Galang Ksatria Bella Mohon Tunggu... Auditor - penulis lepas

Penulis pernah berkuliah di Hubungan Internasional Universitas Airlangga. Kini, penulis adalah pengurus Majelis Kalam Ikaran Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Surabaya, Aktivis HIPMI Surabaya, dan Pegiat HMI Cabang Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Belajar dari Fenomena Jokowi dan Abdul Somad, Berpolitik Tidak Harus Sejak Muda

7 Agustus 2018   13:15 Diperbarui: 7 Agustus 2018   16:27 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rumus politik di era kontemporer sudah berbeda dari rumus politik di era Orde Baru. Hal ini ditandai dengan naiknya nama Abdul Somad sebagai Cawapres, dan turunnya Jusuf Kalla dari Wakil Presiden. Rumus politik peninggalan orde baru barangkali semakin tak laku. Ketika faktanya, banyak pembesar negeri ini menjadi figur politik nasional atas kompetensinya, bukan dari pengalaman kompetisinya.

Soekarno menghabiskan waktu mudanya untuk pergerakan, hingga akhirnya ia menjadi Presiden. Akbar Tanjung memegang banyak organisasi mahasiswa, organisasi politik, sampai Menteri Kabinet, hingga akhirnya menjadi Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Ketua DPR RI periode 1999-2004. Megawati, harus tampil di depan membela partainya sejak muda, sampai akhirnya ia bisa memegang jabatan Ketua Umum PDIP, dan pernah menjadi Presiden. Anas Urbaningrum, harus bergelut di HMI dari bawah, hingga akhirnya ia menjadi ketua PB HMI, dan kemudian menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Untuk yang terakhir ini naas, karirnya harus berakhir di penjara Sukamiskin karena kasus korupsi.

Coba bandingkan karir para tokoh di atas, dengan karir politik Presiden Joko Widodo. Semasa kuliah di UGM, ia hanya aktif di Pencinta Alam. Setelah lulus, ia bekerja di BUMN yang bergerak di bidang kayu dan kertas. Kemudian ia mendirikan usaha di bidang mebel, lalu menjadi Ketua Asosiasi Mebel di Solo. Sukses berbisnis, ia kemudian mencalonkan diri sebagai walikota pada tahun 2005. Ia kemudian terpilih, dan mencalonkan lagi di tahun 2010, dan terpilih kembali. Di tahun 2012, ia dicalonkan sebagai Gubernur DKI Jakarta, dan akhirnya terpilih. Kemudian di tahun 2014, ia mencalonkan diri sebagai Calon Presiden, dan lagi-lagi ia terpilih kembali.

Rumusan politik di era yang akan datang dapat dibaca dari dua fenomena ini. Pertama adalah mereka yang bersusah payah untuk menjadi seorang politisi yang berhasil meraih kekuasaan. Di saat bersamaan, juga ada mereka yang melenggang mulus naik ke pucuk kekuasana. Untuk yang pertama, diwakili oleh tokoh-tokoh politik lawas. Untuk yang kedua, diwakili oleh Presiden Joko Widodo dan Abdul Somad.

Bahwa mereka yang terlahir dalam iklim demokrasi Orde Baru, barangkali meyakini bahwa rumusan sukses berpolitik, adalah sebagaimana yang dilakukan Akbar Tanjung. Memang tokoh nasional tersebut dapat dijadikan role model kesuksesan karir seorang politisi. Tapi tokoh muda yang mencoba membawa rumusan yang sama, dalam iklim demokrasi paska reformasi, nyatanya banyak yang tidak selamat. Setidaknya mereka harus menghadapi tiga kenyataan.

Pertama, mereka susah untuk berpindah peran dari "pemain belakang layar menjadi pemain di depan layar". Kedua, mereka harus menghadapi kekuatan kapital sebagai bagian dari konsekuesni di era neoliberalisme. Ketiga, mereka tersandera kasus hukum masa lalu, sebagai aktualisasi dari keyakinan bahwa politik adalah M-P-MP-MM, atau money for power, more power for more money. Untuk yang terakhir ini, konsekuensinya karirnya bisa berhenti di penjara Sukamiskin. 

Fenomena Joko Widodo terpilih sebagai Presiden, seharusnya diamati sebagai gejala transisi rumusan karir politik. Ia merubah rumus lawas, bahwa seorang dicalonkan Presiden, jika ia menjadi Ketua Umum Partai. Artinya, hanya Ketua Umum Partai yang memiliki golden ticket untuk bisa menjadi pemimpin tertinggi di negeri ini. Rumusan lawas ini yang diyakini oleh para politisi nasional waktu itu. Tapi nyatanya, seorang Joko Widodo yang tidak menjabat fungsionaris inti di PDIP, dapat menjadi Presiden. Tak ayal, Pilpres 2019 juga berlaku hukum demikian.

Indikasi kesana sudah cukup kuat. Dari pihak oposisi, muncul nama Abdul Somad, yang notabenenya bukan aktivis pergerakan sejak muda, dan juga bukan pengurus partai. Di kubu pemerintahan, ada nama kuat Tuan Guru Bajang, yang sekarang tidak aktif di partai politik manapun. 

Meski kini tak berpartai, ia meniliki elektabilitas terkuat berdasarkan berbagai lembaga survey. Hal yang sama juga berlaku bagi Abdul Somad. Ia juga memiliki elektabilitas tertinggi di bandingkan nama-nama lain yang masuk bursa pendamping Prabowo. Jika tanggal 4-10 Agustus ini, ada nama-nama figur non Partai terpilih mendampingi Joko Widodo dan Prabowo Subianto, itu artinya rumus karir politik Orde Baru sudah berakhir. Mereka yang bersentuhan dengan politik sejak muda, harus puas dengan beberapa kemungkinan. Pertama, di beberapa partai politik seperti Demokrat, PDIP, PKB, Nasdem, jika tidak ada goncangan kuat, karir tertingginya ada di level di bawah Ketua Umum. Sedangkan untuk jabatan publik, mereka harus bertarung dengan kekuatan kapital sebagai bagian dari iklim demokrasi neoliberalisme. Pun jika harus menduduki kursi-kursi menteri, mereka harus bersaing keras dengan kawan-kawannya. Itupun kalau partainya berhasil mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih. Kedua, secara figur dan kompetensi, mereka harus tampil bukan sekedar pemain belakang layar, tapi juga di depan layar. Dengan segala kemampuan lobi dan jejaring saja tidak cukup. 

Buktinya Setya Novanto bisa tumbang di tengah puncak karirnya, meski ia memiliki kemampuan di atas rata-rata seputar mengelola jaringan dan kemampuan lobi. Artinya, ilmu tentang perpindahan dari seorang pemain belakang layar menjadi pemain di depan layar harus dikuasai. Lebih dari itu semua, bayang-bayang kasus korupsi menghantui siapa saja yang bersentuhan dengan politik. 

Sebagai generasi muda, sebaiknya kita fokus dalam tiga hal. Pertama, menjadi seorang akademisi. Kedua, menjadi seorang pengusaha. Atau ketiga, menjadi seorang profesional. Ketiganya adalah pilihan karir yang ideal. Perkara membangun bangsa dan negara melalui jalur politik, itu nanti. Buktinya banyak mereka yang fokus di antara tiga hal itu, kemudian melenggang mulus menjadi pembesar negeri melalui jalur politik. Alam demokrasi Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun