Mohon tunggu...
Galang Ksatria Bella
Galang Ksatria Bella Mohon Tunggu... Auditor - penulis lepas

Penulis pernah berkuliah di Hubungan Internasional Universitas Airlangga. Kini, penulis adalah pengurus Majelis Kalam Ikaran Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Surabaya, Aktivis HIPMI Surabaya, dan Pegiat HMI Cabang Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar Membaca dari Nenek Moyang Bangsa

2 Desember 2017   22:13 Diperbarui: 3 Desember 2017   05:09 1334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada sebuah kabar bahwa minat membaca orang Indonesia, ketiga terendah dibanding negara lain. Tentu kita prihatin, sambil dalam hati sepakat bahwa kita tidak sedang baik-baik saja. Kenyataannya adalah budaya instan sedang menjerat bangsa kita. Praktek plagiarisme, maraknya kabar singkat yang bersifat hoax, hingga sepinya perpustakaan dibandingkan kedai kopi pinggir jalan, tentu membutuhkan perhatian khusus.

Membaca adalah jendela mengenail dunia, begitu kata pepatah kuno. Membaca adalah bagian dari menangkap informasi, lalu merekamnya dalam ingatan. Ada beberapa hal yang membuat kita harus membaca. Salah satu adalah membaca sejarah bangsa. Suatu bangsa yang mengerti sejarahnya, maka sama saja dengan mengenal dirinya. Tapi jika suatu bangsa harus bertanya pada bangsa lain tentang sejarahnya, maka sama saja bangsa tersebut kehilangan cermin peradabannya.

Begitu pentingnya membaca, lalu terlalu sempit jika kemudian membaca hanya dimaknai sebagai membaca buku. Deretan kalimat, dan lembaran buku itu memang penting untuk dibaca. Dan terkadang kita terlalu malas untuk melakukan kegiatan itu. Padahal, nenek moyang bangsa Indonesia itu begitu gemar membaca.

Jika boleh ditingkatkan, kegiatan membaca paling rendah adalah membaca buku. Jika dinaikkan satu level, adalah usaha mengaitkan dengan kondisi atau pengalaman subyektif pembacanya. Pada titik ini, pembaca akan melakukan interpretasi dari apa yang dibacanya dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Misalnya, seorang yang membaca dongeng "Kancil Mencuri Timun", ia akan menafsirkan bahwa kancil adalah hewan licik, petani adalah orang yang sering rugi, dan lain-lain. Narasi kalimat per kalimat ia memang lupa, namun imajinasinya kemudian menancap menjadi sebuah ingatan.

Proses ketika menghidupkan rentetan kalimat yang mati, dengan proses imajinasi, hingga jadi sebuah kesimpulan adalah level membaca berikutnya. Banyak pembaca yang gugur sebelum sampai pada level ini. Padahal, kegiatan membaca akan melahirkan pengetahuan sebagaimana tesis antitesis melahirkan sebuah sintesa.

Malasnya budaya membaca buku disebabkan beberapa hal. Pertama, gagalnya kita mencapai level pemahaman terhadap buku yang kita baca. Dampaknya,kita akan malas untuk meneruskan membaca. Kedua, budaya instan tidak hanya berlaku pada makanan. 

Budaya instan dalam kegiatan literasi seperti membaca juga menjangkit kita. Dampaknya, sebagaimana mie instan, merusak akal dan nalar kita. Berikutnya, kebiasaan membatasi diri terhadap wawasan dan pengetahuan juga masih sering terjadi. Maksudnya, jika seorang itu calon sarjana kedokteran misalnya, wawasan dan pengetahuan akan sejarah bangsa kemudian menjadi hal yang tidak penting lagi. 

Lantas dapat kita katakan bahwa budaya membaca semakin sempit. Pertama, membaca hanya sekedar dimaknai sebagai sebuah kewajiban yang linear dengan studi dan profesi kita. Kedua, ada proses logika melompat dalam kegiatan membaca. Sederhananya seperti mengabaikan proses imajinasi teks dengan konteks, dan langsung melompat pada proses mengingat teks. Hal inilah  yang membuat kegiatan membaca menjadi menjemukan.

Untuk beberapa hal seperti itu, sebaiknya kita belajar dari nenek moyang kita. Dan bersyukurlah kita, sebagai bangsa yang begitu dekat dengan alam. Maksudnya, coba perhatikan dengan seksama para nenek moyang kita. Daun yang jatuh saja bisa menjadi pengetahuan. Bulan di atas awan kemudian menjadi petunjuk untuk melaut. Atau, sekedar angin berhembus kemudian menjadi sebuah peringatan dalam ingatan. Lebih dari itu semua, ilmu dan pengetahuan kemudian menjadi sebuah petunjuk.  

Esensi membaca adalah menghasilkan pengetahuan. Kemajuan zaman kemudian melahirkan peradaban membaca dan menulis secara tekstual. Jika dirangkai, manusia Indonesia tempo dulu lebih baik kualitas menghasilkan ilmunya daripada orang sekarang. Hal ini baik dalam kualitas membaca maupun kualitas produk pengetahuannya. Padahal mereka tidak sepenuhnya telah mengenal budaya tekstual. 

Kualitas membaca orang dulu tidak sekedar sawang sinawang, atau yang dilihat dan yang melihat. Misalnya, nasehat suku jawa yang masih kita temukan hingga sekarang. Hampir semuanya adalah produk pengetahuan yang dihasilakan dari proses membaca fenomena, hingga hubungan kausal, yang secara periodik berulang. Proses membaca tanda, fenomena, atau sekedar perilaku alam ini kemudian melahirkan pengetahuan yang lantas melebur menjadi ingatan. Jika awalnya bacaan itu rumit, namun nenek moyang kita menyederhanakan. Hingga lahirlah petuah-petuah yang dengan mudah kita dapati di setiap suku bangsa di Nusantara ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun