Mohon tunggu...
Gagas Mabrur
Gagas Mabrur Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Hidup

Penilik aksara, Penikmat kopi pahit. "manusia terbatas, aku bebas" https://kangmabrur.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyangkal Isu-isu Agama

4 Desember 2019   02:53 Diperbarui: 4 Desember 2019   03:40 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semakin hari, agama menjadi suatu hal yang sangat menakutkan. Betapa tidak, salah sedikit saja bicara soal agama akan berujung dalam ruang persidangan yang kemudian menyandang status tahanan. Agama seolah menjadi hal yang paling sensitif di negara ini. Di negara kita sendiri, mulai  dari Bulan Mei 2017, kasus yang menimpa mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur Jakarta, menyampaikan pidato kontroversial saat sedang menjelaskan proyek pemerintah di Kepulauan Seribu. Ia mengutip sebuah ayat Quran yang berujung tahanan.  Selanjutnya pada Agustus 2018, Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan vonis penjara satu tahun enam bulan kepada Meiliana  karena mengeluhkan volume suara azan yang berkumandang di dekat rumahnya. Disusul dengan 2019 bulan kemarin Adik Megawati Sukarno Putri, Sukmawati Sukarno Putri dengan perbandingan Nabi dengan mantan presiden dan  baru saja kemarin siang oleh salah satu kyai, Gus Muwafiq saat ceramah tantang masa kecil Nabi Muhammad. Kasus-kasus yang terjadi itu mempunyai persamaan permasalahan, yaitu "penistaan agama". 

Penistaan agama di Indonesia  dalam KUHP-nya. Pasal 156 (a) menyasar setiap orang yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia atau dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun. Pelanggaran Pasal 156 (a) dipidana penjara selama-lamanya lima tahun 

Ketidakmampuan Memahami

Penistaan agama dalam konteks masyarakat Indonesia masih mempunyai makna yang sangat tabu. Nyatanya, dalam kehidupan sehari-hari masih terdapat beberapa kesalahan pemaknaan yang dalam hal ini sebagai bentuk kurangnya pemahaman mendalam mengenai agama. Terlepas dari kepentingan-kepentingan politis yang bertujuan mencari keuntungan salah satu golongan, jika melihat dalam praktiknya, isu-isu agama yang bermunculan sebenarnya mempunyai dasar permasalahan yang sama yaitu "kesalahpahaman". Artinya, mereka (masyarakat Indonesia) belum mampu mencerna lebih dalam pengungkapan-pengungkapan isu-isu yang ada. Minimnya pemahaman dalam pengetahuan menjadi faktor kunci gagal pahamnya dalam memaknai suatu kasus. 

Jika saja semua orang mempunyai dasar yang kuat, yang dalam hal ini adalah pengetahuan umum ataupun agama, kasus-kasus yang dianggap sebagai penistaan agama itu tidak akan berangsur-angsur silih berganti. Pengetahuan yang minim berpengaruh dengan penentuan sikap seseorang dalam menyikapi suatu kasus. Karena berdasarkan KUHP Pasal 156 (a) tersebut yang menjelaskan jika melakukan perbuatan yang dapat bersifat sebagai pemicu permusuhan, maka pelaku mendapat hukuman. Nah, jika saja mereka yang mendengar  tidak mengaggap pernyataan ataupun perbuatan yang dilakukan pelaku itu sebagai penistaan agama tentunya tidak akan menjadi persoalan yang rumit.

Kita kaitkan dalam salah satu kasus, misalkan pendengar ceramah Gus Muwafiq tidak menganggap pernyataan yang menceritakan masa kecil Nabi Muhammad Saw sebagai sebuah penistaan agama, maka persoalan ini tidak akan berlanjut pada proses pengadilan. Karena jika dicerna dalam isi ceramahnya, beliau mencoba menceritakan masa kecil seorang tokoh besar berdasarkan referensi-referensi yang dipunya, dan jika kita ingin menganggap itu sebagai penistaan agama maka seharusnya kita punya dasar atau data konkrit yang dapat menyangkal pernyataan itu. Toh, pada kenyataannya kita tidak hidup pada masa itu, dan ketika kita menggap itu sebagai hal yang salah kita harus punya data yang kuat untuk menyalahkan.

Sekali lagi, Kesalahpahaman dalam kasus-kasus seperti seharusnya tidak terjadi jika kita mempunyai dasar-dasar pengetahuan umum ataupun keagamaan yang mumpuni.

Minimnya Toleransi Sesama Manusia

Toleransi dalam berkehidupan sehari-hari menjadi hal yang sangat vital dalam mewujudkan masyarakat yang ideal. Karena toleransi sesama umat manusia dapat menjadi pencegah terjadinya kasus-kasus yang berkenaan dengan timbulnya kebencian antar golongan. Menilik dalam beberapa kasus penistaan yang terjadi di Indonesia, salah satu faktor utamanya adalah tidak adanya toleransi yang lebih dari masyarakat. Misalkan saja mereka menyadari satu sama lain jika seseorang tentu mempunyai suatu kekeliruan dalam penyampaian kata ataupun sikap, tentu kejadian-kejadian serupa ini dapat tercegah.

Toleransi disini dapat diartikan juga sebagai memaklumi kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan oleh seseorang. Toleransi antar sesama manusia juga menjadi sebuah pengobat timbulnya rasa fanatisme yang berlebihan terhadap sesuatu yang diyakini. Lihat saja kasus-kasus tentang penistaan agama yang terjadi karena fanatisme, dengan begitu cepatnya orang merasa tersinggung dan terpengaruh untuk menyikapi dengan ikut membenci pelaku tanpa mengkaji permasalahan dahulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun