"Mentalmu kayak tempe..." Aku pernah dengar orang Indonesia mengolok-olok orang Indonesia dengan kalimat itu. Karena aku suka tempe, aku kaget, lah, ya. Tempenya nggak salah, kok direndahkan. Orang tempe itu enak, kok. Ada orang yang merendahkan orang lain dengen mengambil kata "tempe." Di lain sisi, ada yang merasa direndahkan kerana disamakan dengan tempe. Nggak ada yang salah sebenarnya dengan tempe. Tempe punya derajat.
Kalian tahu? Tempe jadi makanan sehari-hari bagi banyak orang di negeri kita. Makanan berprotein tinggi dari negeri kita yang murah - meriah - mudah. Di Jerman, itu sebuah kemewahan dan kesusahan yang tiada tara. Betapa tidak. Di Jerman, satu batang, dihargai 2,5 euro atau Rp 40 ribu. Itu impor dari Belanda, pabriknya ada di sana. Harus menunggu 2-3 hari baru sampai rumah. Kalau mau yang cepat, aku bisa beli dengan harga 4 euro atau Rp 64.000,00. Mahal banget, kan. Rasanya juga beda dengan yang aku biasa beli di warung dekat rumah ibu di Semarang.
Untuk membuatnya? Repotttt. Dulu aku pernah bikin. Kira-kira 3-5 hari baru jadi. Harus sabar, nggak boleh ngamuk kalau lagi bikin. Tempatnya harus bersih. Kalau enggak, tempenya jadi bongkrek alias busuk. Sebel banget, kan?
Aku ingat banget celoteh teman-teman SD tahun 1980 an "Jangan mau makan tempe, aku lihat kemarin, tetanggaku yang bikin tempe menginjaknya pakai kaki. Kita nggak tahu kakinya kudisan apa korengan. Bersih atau enggak." atau "Jangan beli tahu, tetanggaku kemaren meres ampasnya pakai celana." Ah, norak. Mosok si tetangga harus telanjang dalam proses pembuatan tahu atau tempe?
Nah, supaya makin banyak teman-teman di Indonesia untuk menghargai tempe dan melestarikan kuliner tradisional ini, aku punya ide mengangkat tema pembuatan tempe di luar negeri oleh diaspora dalam Kotekatalk. Kalian tahu ini acara mingguan Komunitas Traveler Kompasiana yang aku jalankan bersama teman-teman admin Koteka dan Kompasianer setia seperti pak Sutiono di Jakarta, pak Suharyadi di Bandung, Eka dan Bahrudin di Banjarmasin, mbak Siti dan kawan-kawan di Jerman dan Farissa di Aceh.
Ketemulah aku sama instagram influencer di Swiss. Karena aku tinggal di Jerman Selatan, aku dekat dengan negeri tetangga itu. Satu jaman sudah sampai, kayak ke luar kota, ya.
Namanya Mivi. Perempuan berjilbab dari Aceh yang menikah dengan orang Swiss. Pernikahan mereka dikarunia satu putri. Suatu hari, Mivi coba-coba bikin tempe. Dibantu suaminya, mereka membuat tempe dengan mencontek resep dari Youtube, bukan dari mbah google.
Ingin membuat? Simak catatannya sebagai berikut:
Bahan:
- Kacang kedelai 1/2 kg
- Tepung tapioka atau tepung beras 1sdm
- Ragi tempe 1 sdm
Cara membuat: