Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Bank di Indonesia: yang Utang Anaknya, Mengapa Orangtua yang Harus Bayar?

16 Januari 2022   14:54 Diperbarui: 16 Januari 2022   16:21 8596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam pelajaran agama, saya pernah mendengar cerita guru bahwa jika ada orang tua meninggal, anak tidak harus membayar utang orang tuanya. Kecuali, jika si anak ikhlas membayarnya atas dasar ingin berbakti dan memiliki harta berlebih sehingga mampu untuk membayarnya. Itu juga dikatakan menghapuskan dosa orang tua.

Saya setuju dengan prinsip berbakti tersebut bahwa setiap anak sebaiknya memakmurkan orang tuanya jika mampu dan ikhlas, bukan sebaliknya. Kata orang Jawa; mikul duwur, mendem jero. Harumkan nama orang tua, tutupi kekurangannya atau kelemahannya.

Seorang teman dekat saya di sebuah kota bercerita bahwa ibunya meninggal di desa tempat ia dilahirkan. Karena beliau tinggal seorang diri,  rumah akan kosong seumur hidup. Teman saya segera mencari tahu di mana sertifikat rumah yang ditinggali sang ibu. Setelah ditelusuri, sertifikat ada di bank. Mengapa?

Ceritanya, suatu hari si ibu didatangi tetangga yang menangis. Tetangga butuh uang dan untuk itu ia memohon apakah ibu teman saya itu mau meminjami sertifikat rumah untuk dijadikan agunan di bank.

Namanya juga orang Indonesia, yang rata-rata terlalu baik hati, terlalu percaya dan tidak memiliki catatan hitam di atas putih, si ibu merelakan sertifikatnya pindah tangan. Karena marah dan bingung, teman saya itu datang ke bank yang bersangkutan. Untuk mendapatkan sertifikat kembali ke keluarganya, teman saya itu harus menebus. 

Mengapa bukan yang berhutang si tetangga tadi yang melunasi hutang bank dan sertifikat dikembalikan? Ruwet, orang kalau sudah hutang lupa bayar. Sudah tradisi. Hidup lebih besar pasak daripada tiang.

Anak hutang, orang tua peyang

Bagaimana jika anaknya yang bangkrut dan hutang? Apakah orang tuanya wajib membayar?

Jawaban dalam realita kehidupan di negeri tercinta Indonesia adalah IYA.

Ini terjadi dalam keluarga kami baru-baru ini. Ketika pulang kampung tiga minggu lalu, saya mendapati bahwa rumah ibu saya disita sebuah bank BPR. Untuk mendapatkan kembali rumah tersebut, ibu harus membayar hutang pokok salah satu saudara saya yang hilang entah ke mana.

Lho, lho, yang hutang anaknya kok, yang bayar ibunya? Saya bingung. Ini negara mana, sih?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun