Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Pulang ke Indonesia "Wani Pira?"

19 Desember 2021   09:58 Diperbarui: 21 Desember 2021   00:23 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Sejak ikut program pendidikan keguruan di Jerman tahun 2020, liburan nggak sebebas dulu. Padahal mengunjungi keluarga di tanah air setahun sekali menjadi rutinitas yang saya sukai. Itu mengembalikan saya pada masa betapa kesederhanaan dan kekeluargaan itu hal yang utama, nggak bisa dibeli dalam hidup.  Negara lain nggak ada yang punya!
Sayang, program baru usai tahun 2023. Belum lagi ada pandemi. Sing sabar. Pulang ke tanah air nggak semudah membalikkan telapak tangan.
Hmm. Tuhan memang Maha Baik. Kebetulan akhir tahun ini, saya diizinkan bos untuk mengambil sisa libur yang jumlahnya 5 hari (dari total 30 hari pertahun) untuk dijadikan satu dengan libur sekolah saat natal dan tahun baru. Yaiy, libur tiga minggu! Indonesia, aku datang!


Tahulah program di rumah saja ada di mana-mana di seluruh dunia. Kalau nggak perlu nggak usah pergi-pergi.
Banyak orang yang  menganjurkan saya untuk mengurungkan niat:
Kamu gila, nanti kalau ketularan corona, delta dan omikron gimana?

Kamu aneh-aneh aja, pandemi ngegas. Apa kemaren ke Oslo nggak cukup?
Kamu liburan ke Indonesia habis di hotel saja, rugi. Mending ke EU aja: murah, meriah dan nggak ribet.
Kamu harus bayar mahal untuk karantina. Ngapain buang uang?
Dan masih banyak lagi.
Yah, Gana di lawan. Kalau sudah pengen, sampai titik darah penghabisan, nih..
Tiket sudah terbeli. Informasi aturan di tiga negara (Indonesia, Swiss, Jerman) terbaca. Janji tes PCR sudah dibuat. Apa lagi?


Membeli tiket
Kami biasa membeli tiket minimal 6 bulan sebelum keberangkatan. Namun waktu itu, sedang bingung. Pandemi. Jadi berkunjung sekeluarga atau sendiri? Lantaran nggak yakin, nggak beli tiket. Padahal murah banget PP hanya 400-450 euro atau lima jutaan rupiah. Akhirnya beli tiket dadakan secara online, yang harganya 50% lebih mahal. Belum lagi masalah mastercard yang diblokir. 

Ngurus dulu. Walhasil pakai sistem pembayaran yang lain supaya bisa membelinya. Takutnya saya nggak dapat tiket. Dan setelah ditimbang bersama, hanya saya yang berangkat. Maklum dengan aturan baru dan kondisi yang berbeda dengan Jerman, membuat kami memutuskan begitu. Kalau nggak urgen, di rumah saja. Dan kepentingan bertemu ibu yang ditinggal bapak serta mengunjungi makam bapak adalah pertimbangan utamanya. Jalan-jalan sebagai bonus.


Tes PCR
Dua minggu sebelum berangkat saya sudah divaksin yang ketiga. Untuk itu nggak kudu antri karena sebagai guru TK selalu didahulukan, sama seperti para lansia. Maklum, banyak bakteri dan virus nyebar di taman kanak-kanak. Jadi harus diproteksi, ditambah saya cerita ke dokter kampung kalau saya hendak ke Indonesia. Supaya aman, itu harus dilakukan.

Sedangkan jadwal PCR yang saya minta dari dokter kampung belum juga dijadwalkan, saya resah. Untung saja ingat banget bahwa ada tetangga yang kerja di sebuah apotek yang besar di kota sebelah. Nggak ada salahnya minta tolong dia supaya bisa tes PCR di tempat ia bekerja. Sayang waktu saya telpon, ia sedang tidak di rumah. Segera saya tinggalkan pesan suara. Keesokan harinya waktu saya kerja, ia mampir ke rumah dan mengatakan pada suami bahwa akan ada petugas PCR yang akan menghubungi berkenaan dengan tes. Luar biasa. That's what neighbors are for.

Betul juga. Dua hari setelah itu, petugas menelpon. Pertanyaan pertama tentang berapa hari sebelum terbang hasil tes berlaku di Indonesia. Kan ada tuh, 48 jam atau 72 jam sebelum terbang, tiap negara aturannya beda. Saya minta yang 48 jam. Karena itu tertera dari ketentuan email yang dikirim maskapai negara tetangga yang saya pilih.

Tepat pada hari H, saya nggak lupa bawa paspor, kartu ATM untuk membayar bea 79 euro atau Rp 1.264.000,00, puasa satu jam sebelum tes, tidak boleh pakai lipstik (jadi saya harus membersihkannya terlebih dahulu) dan pakai masker. Hasil PCR yang dilakukan pada sore hari itu dikirim malam hari kesebuah laboratorium di Konstanz, Jerman. Hasil akan dikirim lewat email dan sebuah aplikasi Warn-corona app yang ada di HP.

Sebagai tambahan informasi, praktek dokter setempat, PCR harganya lebih dari 100 euro. Pernah lihat di bandara Amsterdam dan Oslo, juga lebih dari seratus euro. Jika seratus euro saja sudah Rp.1.600.000,00 bagaimana kalau lebih, coba?


Student card
Karena ada omikron, ada ketentuan karantina di wisma atau hotel selama 10 hari dari ketentuan sebelumnya 3 hari, jika mengunjungi Indonesia dari luar negeri. Sebab gratis, untuk wisma ada ketentuan khusus yakni seperti hanya diperuntukkan bagi pelajar dan mahasiswa, BMI yang bekerja di luar negeri dan petugas negara. Sedangkan hotel-hotel yang ditunjuk pemerintah untuk menyelenggarakan hotel patriasi bisa dipilih jika mampu membayarnya. Contohnya WNA dan WNI yang tinggal di luar negeri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun