Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Membeli Meja untuk Menulis

28 Februari 2021   04:50 Diperbarui: 28 Februari 2021   23:23 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Ah, sudah lama tidak menulis. Banyak tugas dari sekolah, banyak pekerjaan di rumah dan rasanya capek tiada tara. Tetapi rasa kangen mendera dan ingin menulis tentang ini.

Teman-teman, menulis sebenarnya bukan cita-cita saya waktu kecil. Sebagai orang yang punya power of pecicilan, saya ini tidak bisa diam. Mana bisa duduk manis dan menulis di sebuah meja? Hil yang mustahal. Ah, Ganaaa...seperti bola bekel, kata suami saya. Sekali jatuh, mentalnya berkali-kali ke sana-ke mari dan ... hilang!

Gerakan yang saya lakukan kebanyakan di alam terbuka, jangan kaget kalau saya bisa memanjat pohon, membuat dekorasi ruangan, memasak atau membuat kue, bekerja dengan banyak orang online atau offline, menari, main ski, membetulkan genting, membuat pagar rumah, menata taman, atau sesuatu yang membuat saya mengerahkan segala tenaga (kata orang dengkul) dan tentu sedikit pikiran.

Ya. Bukankah menulis butuh pikiran, diam, konsentrasi dan tenaga dalam? Maksudnya, selain jari-jemari, pikiran kita yang lebih banyak dibutuhkan dibandingkan raga. Kekuatan dari dalam ini ada yang dipunyai manusia, ada yang tidak. Artinya, ada orang yang bisa ngomong tapi nggak bisa menulis. Ada lagi orang yang lahir pandai menulis tapi susah berbicara di depan publik. Saya mungkin beruntung karena almarhum bapak adalah orang yang suka membaca, berbicara, memimpin dan bertemu dengan banyak orang. Melihat beliau, tak ubahnya belajar gratis tanpa sengaja. Jadi meskipun saya orangnya cerewet, saya bisa lah menulis. Cieee...

Nah, talenta menulis ini pertama kali ditemukan guru Bahasa Indonesia SMP. Kata almarhumah ibu Sri, ujian-ujian mengarang saya selalu bagus. Ya, tukang ngayal, dong? Kata si ibu berambut ombak itu, saya punya bakat dan harus diasah. Sayang, sekali lagi, saya adalah anak yang dilahirkan seperti topeng monyet, jungkir balik. Semua hanya berupa uneg-uneg buku harian, singkat. Biasa, cinta-cintaan begitu, deh curhatnya.

Dasar anak yang tidak bisa diam, jarang menulis betulan. Sampai kemudian hari dari traveling ke luar negeri sebagai perwakilan dari SMA, saya menulis untuk pertama kalinya di media massa. Dari sana, saya ketagihan, enak juga ya, menulis itu. Ini bertambah setelah saya bergabung dengan LSM dan mengikuti kegiatan internasional. Semua tumpah di halaman-halaman koran lokal. Selain bangga ada yang baca, honornya lumayan.

Kemudian, baru tahun 2001 saya berani menulis buku. Waktu itu nggaya banget dengan bahasa Inggris karena lulusan pendidikan bahasa Inggris. Sampai suatu ketika harus pindah ke Jerman, merasakan titik nol yang membuat saya hopeless, saya bisa apa? Menjadi bule di negara Jerman tidak semanis menjadi bule di Indonesia. Kasihan deh, gue.

Sekali lagi, semua itu ada hikmahnya. Iya, internet yang joss dari Jerman. Hingga membuat saya rajin nulis di blog. Pindah-pindah begitu, dari tahun 2006 di Kompas.com ke Yaho0360, lalu multiply dan mendarat di Kompasiana tahun 2011. Menulis itu memang ada prosesnya dan cocok-cocokan. Kalau nggak percaya, sudah berapa tahun Anda menulis di sini? Kalau nggak cocok pasti sudah cabut. Xixixi.

Dan keajaiban memang ada di dunia ini. Nggak percaya juga kalau tahun 2016, Gramedia menerima naskah saya. Disusul Elexmedia dan seterusnya sampai 2019. Untuk tiga tahun ini sepertinya agak sulit karena saya sedang dalam pendidikan. Lebih parah lagi karena ada sponsornya, jadi nggak bisa sembarangan. Artinya ada kewajiban untuk menyeimbangkan diri atas apa yang saya dapat dari lembaga. Urusan sekolah dan kerja harus beres.

Yang jelas, jika saya berhasil lulus nanti, sudah ada naskah buku tentang menjadi guru pendidik usia dini di Jerman. Semoga berhasil, kalau nggak, ya, memang saya kurang beruntung. Sudah, begitu saja.

Lantas, saya berfikir lagi, selama ini saya menulis di mana saja. Mulai dari di meja setrika, di meja ruang tamu, di meja dekat sofa, di taman, di ruang tunggu, di dalam mobil saat menunggu anak-anak, di kamar tidur dan entah di mana lagi. Lho, lho, saya nggak punya meja ??? Bukankah meja belajar itu penting untuk seorang siswa dan atau penulis? Saya siswa, saya penulis, ealah ngenes nggak punya meja khusus. Menyamar, dong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun