Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Bagaimana Menjaga Hubungan Baik dengan Guru?

20 Januari 2021   02:13 Diperbarui: 20 Januari 2021   02:16 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Hi, Dy.

Hari ini terasa panjang sekali. Sejak jam 07.30 ada kelas virtual, lalu masak, terus bersih-bersih sampai sore. Jam 5 sore ada rapat di TK. Yah, ekstra nyetir ke kota sebelah, deh.

Sekarang sudah di rumah, sih. Aku mau curhat soal sekolah online hari ini. Mata pelajaran pertama aku paling suka. Coba tebak? Betulllll ... Bahasa Inggris. Karena dulu pernah 7 tahun kuliah ini di Semarang. Kamu tahu itu di mana? Betuuull Jawa Tengah, ibukotanya, Dy. Panas banget di sana tapi ngangeni.

Pelajaran bahasa internasional, pelajaran ini nggak susah kayak pelajaran lain yang pakai Bahasa Jerman. Namanya juga sudah pernah belajar lama, jadi tinggal mengulang. Aku jadi merasa istimewa sendiri karena aku paham betul isi pelajarannya. Kalau mata kuliah lainnya aku kan cuma parasit, ndomblong begitu, deh, nggak ngerti. Oon! Ya, kalau dapat  nilai bagus, ajaib itu!

Barangkali saja guru bahasa Inggris ini selalu mengamati raut mukaku. Sampai beliau bilang "Kamu selalu semangat kalau pelajaran bahasa Inggris." Lah, iya lah, Dy. Ini satu-satunya kelas yang menjadikan aku orang. Memang selama ini aku jadi patung di kelas lain kali, ya. Hahaha.

Sayangnya, Bahasa Inggris hanya sekali dalam dua minggu, Dy. Dan semester ini nggak ada nilai karena sudah lock down. Coba kalau setiap hari, kan asyik  bisa cas cis cus dan mengharap dapat nilai bagus. Ah, gaya banget aku ini. Jangan lempar tomat, ya, Dy.

Eh, gurunya juga baik, sih dan sabar kalau aku rada ngeyel. Tadi aku bertanya mengapa antara jawabanku dan kunci si ibu, beda. Ceritanya, tadi kami diberi 4 lembar tugas. Setelah dikerjakan sendiri-sendiri, semua disuruh mencocokkan dengan kunci. Aku awalnya mau tanya enggak enak, nanti dikira sok pintar, gayalah, gitu. Tapi supaya aku juga tahu bener enggaknya, aku akhirnya tanya juga pada menit terakhir.

Jadi Dy, bu guru menuliskan begini;

Tiffany: I ... (be) from London. My great-grandmother ... (be) from Germany. Harusnya ditulis Tiffany: I am from London. My great-grandmother is from Germany. Tetapi bu guru memberi jawaban, Tiffany: I come from London. My great-grandmother comes from Germany.

Secara tata Bahasa betul, namun setelah aku periksa lagi, bukankah yang digunakan adalah "be" bukan "come", sehingga tinggal mengikuti petunjuk. Karena bukan "come" melainkan "be", yang dalam simple present tense adalah is, am, are, tinggal di sesuaikan. I am atau My great-grandmother is atau she is.

Dengan legawa, bu guru minta maaf, Dy. Nggak marah, kok, dikoreksi muridnya. Dan ini kedua kalinya. Dulu pernah aku koreksi juga karena bu guru lupa. Atau bu guru sengaja, ya, Dy karena in ikan sederhana sekali? Ih, jebakan Batmaaaaaan .... Bisa saja supaya murid pada tanya tapi nggak ada yang tanya, sampai aku mulai di menit terakhir sebelum bubar.

Ya, sutralah, Dy.

Aku mau cerita juga nih, guru mata pelajaran terakhir hari ini, "Berufliches Handeln Fundieren", ini mempelajari bagaimana seorang guru memanfaatkan kelas, membuat program dan mengerahkan anak-anak untuk memaksimalkannya. Gurunya laki-laki. Kebetulan wali kelas. Tahu enggak, wajahnya mirip David Craig pemeran James Bond, cuma ini bentuk mininya. Walah, untung aku nggak naksir karena aku nggak suka cowok kecil. Xixixi. Ya, ampun, Dy, matanya biru, lho, kayak kolam renang begitu, deh.  Kamu bisa renang sesukamu, tapi jangan kelelep, ya.

Dy, di dalam pelajaran, kami diajari cara dan teknik memberikan sebuah program bagi anak oleh beliau. Suatu hari nanti, kami akan diuji cara mempraktekkannya. Aduh, sudah takut duluan. Padahal Belanda masih jauh. Corona gini, semua jadwal tertunda dengan sempurna.

Dalam diskusi, nih, ya, ada satu kalimat yang nyantol di kepala dan segera aku tanyakan pada beliau. Jika beliau menekankan bahwa kita harus membina hubungan yang erat dan baik dengan guru kelas di TK, demi menunjang keberhasilan ujian praktek dan pemberian nilai bagus, juga ini akan membuat proses pengajaran program pada anak-anak lancar. Lah bagaimana kalau baru saja kenal? Ini sama saja mengulang perkenalan dengan guru kelas di TK seperti September tahun lalu atau sama dengan butuh waktu 4-5 bulan.

Tahu kan, aku baru pindah dari kelas Lonceng ke kelas Kurcaci sejak minggu lalu? Rasanya kurang waktu untuk menjadi dekat, meskipun aku sudah menerawang, guru kelas di TK baik, auranya putih. Bagaimana, dong?

Lantas, Dy, pak guru menjawab, "Masih ada waktu." Dijamin aku bisa dekat dengan guru kelas di TK itu di masa mendatang. Aku mengangguk, lalu menambahkan bahwa semoga hubunganku dengan guru praktek alias beliau, juga bagus.

Eh, beliau menjawab bahwa selama ini lancar jaya, nggak ada masalah. Ihhhh, lancar apanya, Dy. Kami berlima yang diasuh beliau tidak pernah ada kumpul-kumpul seperti grup lain dengan guru pembimbingnya, sejak September! Kok, kami seperti diumbar bebas begitu. Tidak ada pembinaan, tidak ada koordinasi. Katanya, silakan japri saja kalau ada masalah. Andai tidak ada masalah, nggak usah. Lho, kann kami juga butuh curhat, butuh motivasi, butuh bantuan dan diskusi dengan grup. Ini cuek bebek banget, ah. Bagaimana, sih?

Iya -- iya, paham, sih, Dy, karena beliau adalah ketua program pendidikan sosial, orang penting. Pasti pekerjaan dan tanggung jawabnya buanyak. Ya, udah deh, lagi-lagi ngelus dada. Kali ini pinjam dadamu, ya, Dy...

Terus ingat kann, Dy, waktu aku dapat nilai 4, bukannya memotivasi malah kecewa berat dan terkesan kurang respek. Pandangan matanya tidak ke arahku waktu berbicara tapi sibuk dengan kertas-kertas beliau. Aneh. Kayak nggak narik magnetnya, Dy.

Bagaimana aku bisa menjaga hubungan dengan beliau kalau beliau nggak konek? Yah, ternyata ini juga curhatan teman-teman segrup lewat whatsapp. "Kita bagaimana? Kita harusnya begini atau begitu?", kata teman-teman. Dan teman-teman hanya ragu dan menggerutu. Leganya, tadi aku sempat menyampaikan harapanku bahwa hubungan kami semoga baik.

Ya, gitu, Dy, satu catatan penting untuk selalu menjaga hubungan baik dengan guru. Masalahnya, kalau kami mau membangun hubungan baik dengan guru tapi gurunya sibuk dan nggak ada waktu, repot juga, kan? Sudahlah, Dy, sampai di sini ... kamu nggak usah ikut pusing. Diam saja di kolom ini, menampung kalimat demi kalimat dari waktu ke waktu. (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun