Ketika sedang praktikum di minggu terakhir di taman kanak-kanak kota sebelah, seorang anak umur 3 tahun setiap hari bercerita tentang keluarganya.
"Mama dan papa sering bertengkar. Ia kasar mengambil mainanku dan ia pergi. Makanya aku hanya punya satu mama dan ia selalu memainkan Loloku ..." Max polos bercerita. Saya yang baru tahu kalau Lolo itu artinya (maaf) penis jadi terkejut. Untung saya tidak langsung salto.
Max (nama samaran) memang masih berumur 3 tahun. Namun ia sudah mampu menyimpan memori yang dalam di dalam otaknya. Buktinya, setiap hari ia mengulang cerita itu. Lagi dan lagi.
Uniknya, dari tiga guru di kelas, ia hanya bercerita kepada saya, yang orang baru. Saya pikir, memang betul bahwa orang curhat tidak bisa kapan saja dan tidak dengan siapa saja. Butuh energi, waktu dan menemukan orang yang tepat demi melakukannya. Ada magnet di sana.
Ada lagi yang saya perhatikan selama enam minggu, Max adalah tipe anak yang suka melukai anak lain dan paling serem, dirinya sendiri. Untuk ukuran anak balita, bagi saya itu terlalu aneh, terlalu keras.
Coba, deh. Bagaimana ia memukul anak lain secara bertubi-tubi ketika bertengkar. Atau bagaimana ia berulang kali meminta saya untuk mengikat sepatunya, yang penutupnya bukan dengan tali tapi model tempel itu kuat-kuat. Sampai-sampai kakinya tampak sesak, lebih kecil dari ukuran sebenarnya. OMG.
"Lagi ..." Kata si anak. Ia merasa sepatunya kurang rapat.
"Sudah rapat sepatunya." Saya tidak tega.
"Kurang erat. Lagi." Bocah lelaki itu memaksa.
"Sudah lima kali dikencengin. Sudah, ya." Menurut saya, anak-anak memang harus belajar untuk mendengarkan apa kata orang dewasa. Kalau sudah cukup, ya cukup.
"Lagi." Pintanya memelas hampir menangis. Tapi hanya gelengan kepala saya saja yang terlihat. Ia menunduk, lalu pergi.