Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Segar Artikel Utama

Kangen Sungkeman, Tradisi Bermaaf-maafan ala Jawa Saat Lebaran

22 Mei 2020   03:40 Diperbarui: 22 Mei 2020   14:51 1403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memori sungkeman dengan orang tua (dok.To2k)

Kepala saya menunduk sebagai tanda pasrah, hormat, mengalahkan ego manusia karena mendongak konotasinya sombong atau berani/melawan dan sebagai bentuk etika yang muda kepada yang tua itu harus begitu. Sungkeman pertama kali kepada bapak, baru ibu saya.

Urutan sungkeman dari yang tua baru yang muda. Kami bertujuh biasanya bergantian dari kakak nomor satu terlebih dahulu, sampai adik bungsu nomor tujuh. 

Begitu sudah pada menikah, biasanya per keluarga. Giliran kami biasanya setelah kakak nomor empat berikut istri dan anak-anaknya selesai sungkem, baru kami sekeluarga. Karena kadang hanya saya dan anak-anak, giliran kami sekeluarga dimulai bukan dari suami saya, yang tujuh tahun lebih tua dari saya tetapi dimulai dari saya kemudian anak-anak. 

Maklum, tinggal di luar negeri, nggak selalu bisa pulang pas lebaran. Kebanyakan kami menggunakan waktu liburan musim panas yang panjang untuk pulang kampung. Sedangkan mudik atau pulang ke rumah orang tua saat lebaran, tidak selalu jatuh pada liburan musim panas.

Setelah semua selesai. Kami bersalam-salaman dengan kakak, adik dan keponakan-keponakan yang ikut acara sungkeman. "Kosong-kosong, ya." Baru makanan yang telah siap disajikan, diserbu bareng-bareng. Oh, indahnya lebaran, berbagi dan tentu bermaaf-maafan. 

***

Demikianlah pengalaman saya saat sungkeman di tanah air bersama orang tua dan saudara-saudara. Sungkeman menurut saya adab manusia yang baik dan nggak dilarang oleh agama. Bahkan NU sendiri sudah menyatakan hal tersebut dalam lamannya.

Sayang, kali ini sungkeman nggak bisa kami jalani karena jarak dan waktu yang memisahkan kami. Apalagi, sekarang lagi musim pandemi. We stay at home. Kami sungkeman sekeluarga sendiri saja. Mulai dari saya ke suami, baru anak-anak kepada suami sebagai papanya dan baru anak-anak sungkem saya sebagai mamanya. 

Biasanya anak-anak ketawa-ketiwi karena dibilang sungkeman itu tradisi yang lucu dan nggak trend di Jerman. Nah, kalau nggak dikenalkan darimana mereka tahu? Iya, kan. Ayo, sungkem.

Sebagai tambahan, bagi saya, lebaran nggak harus pakai baju baru. Asal bersih dan sudah mandi, itu akan menjaga kenyamanan dan keharmonisan selama acara sungkeman dan ujung-ujung (berkunjung di rumah keluarga, saudara, kerabat).

Bagaimana dengan pengalaman dan opini Kompasianer tentang sungkeman? (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Segar Selengkapnya
Lihat Segar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun