Oh, ya, meminta maaf nggak harus yang muda saja, yang tua pun nggak salah andai meminta maaf. Namanya manusia pasti pernah melakukan kesalahan. Allah Yang Maha Pengampun nggak akan menghapusnya kalau tidak dimintakan dulu kepada orang yang telah disalahi.
Makanya masing-masing dari kami bertujuh memiliki kalimatnya sendiri-sendiri. Untuk para cucu, umumnya bapak dan ibu saya biasa menuntun mereka yang belum bisa merangkai kalimat itu.
Daripada diam saja, orang tua saya meminta para cucu mengulangi kata demi kata. Gampang, kan. Nggak usah takut, apalagi lari karena takut disetrap eyang kakung atau eyang putri.
Momen kedua, sungkeman juga kami lakukan pada hari pernikahan, yakni pada acara siraman dan pada resepsi pernikahan.
Itu sebagai lambang mohon doa restu, berterima kasih, darma bakti, penghormatan kepada orang tua yang telah membesarkan dan mendidik dalam satu rumah kemudian membangun mahligai perkawinan.
"Bapak/ibu nyuwun pangestu anggenipun kula badhe mangun bebrayan. Nyuwun pangapunten manawi kula gadah kalepatan." Tak seperti pernikahan di Eropa, khususnya Jerman, restu orang tua di tanah air itu wajib dan penting didapatkan pasangan mempelai yang akan membangun rumah tangga.
Untuk itu meminta doa restu orang tua dan mohon maaf jika ada kesalahan selama ini, perlu dilakukan. Siapa lagi yang akan melestarikan budaya suatu bangsa kalau bukan bangsa itu sendiri.
Karena ini sekaligus sebagai perpisahan antara anak dan orang tua, nggak jarang pengantin entah laki-laki atau perempuan akan menangis. Begitu pula orang tua. Kehidupan akan berubah karena tak lagi hidup bersama dan sudah membangun keluarga sendiri.
Posisi sungkeman yang harus diperhatikan
Sungkeman adalah tradisi tanda bakti dari yang muda kepada yang tua. Untuk itu posisi yang tua ada di atas misalnya kursi, yang muda bersimpuh atau boleh jongkok di lantai. Bapak di sebelah kanan dan ibu di sebelah kiri duduk berdampingan di atas sofa di ruang tamu kami yang kecil. Mejanya sengaja disingkirkan supaya halamannya lebih luas untuk adat sungkeman.
Bapak selalu mengingatkan kami bahwa kedua tangan kami harus disatukan (bisa ditumpuk satu sama lain atau mengatup) dan bertumpu pada salah satu jengku atau lutut bapak/ibu. Untuk bapak, saya harus bertumpu di lutut kanan. Untuk ibu, lutut kiri. Jangan tertukar, ya.