Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Main Ski Tanpa Batas di Chamonix, Mont Blanc, Prancis

15 Januari 2020   13:47 Diperbarui: 18 Januari 2020   15:11 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Main Ski Tanpa Batas di Chamonix, Mont Blanc, Perancis (dok.Gana)

Sejak tiba di Jerman pada bulan Mei belasan tahun yang lalu, saya sudah 100% kaget dihantam hawa dingin.

Brrr... manusia tropis, paling nggak suka dengan temperatur rendah yang membuat malas keluar rumah, menarik selimut, kulit kering bersisik dan rambut kulit berdiri. Sudah pakai berlapis-lapis, eeeh.. tetap saja kedinginan.

Ah, alah bisa karena biasa. Setelah beberapa tahun berlalu, saya mengiyakan peribahasa orang Jerman bahwa "Es gibt kein schlechtes Wetter, es gibt nur aber falsche Kleidung" atau "tidak ada istilah cuaca buruk, yang terjadi adalah orang salah pakai kostum."

Jika memakai bahan pakaian yang baik dan benar, dalam cuaca apapun, di mana saja dan kapan saja, badan tetap nyaman terlindungi. 

Penampakan (dok.Gana)
Penampakan (dok.Gana)
Dari wawasan itulah, saya jadi mau dan berani belajar main ski di atas salju yang dingin dan licin. Meski nggak begitu suka, kok, rasanya ketagihan.

Kegiatan yang hanya bisa dilakukan pada musim dingin setahun sekali itu memang menyenangkan. Jangan sampai dilewatkan begitu saja. Nggak percaya? Silakan coba.

Yup. Main ski di Jerman (Freiburg dan Tuttlingen) sudah, Swiss (Engelberg/Titlis dan St.Moritz) sudah, kini saatnya kami menjajah Prancis.

Chamonix! Nama natural resort  yang kondang dan punya gunung segagah Mont Blanc, bak gunung bertabur tepung putih. Terima kasih kepada kompasianer Eberle yang mengajak kami ke sana. Berangkat, nggak pakai lama!.

Le Brevent, Chamonix (dok.Gana)
Le Brevent, Chamonix (dok.Gana)
Antri di Le Grands Montets, Chamonix (dok.Gana)
Antri di Le Grands Montets, Chamonix (dok.Gana)
Mau ski kayak mau perang
Sehari sebelum berangkat, kami sudah mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk main ski dan dimasukkan ke dalam mobil. Yaoloh.

Satu orang satu tas gede. Isinya helm, sepatu ski yang mirip robot, kaos tangan, syal, kacamata UV, jaket dan celana salju. Berarti ada 4 tas besar yang kami packing. 

Semua ditaruh di atas atap mobil yang dipasang box khusus untuk  perangkat ski. Semua tongkat ski dan papan ski masuk juga. Koper-koper baju dan bahan makanan masuk bagasi mobil. Lengkap, sudah. Duh, ribet sekali seperti orang mau pindahan.

Relax (dok.Gana)
Relax (dok.Gana)
Pagi harinya setelah makan pagi kami berangkat. Perjalanan memakan waktu 5 jam tanpa macet. Ditambah macet jadi 6 jam. Supaya nggak boring selama perjalanan dan pantat linu, kami rehat sejenak di Rastplatz. Ada toilet dan tempat duduk-duduk meregang otot sebentar.

Yah. Setiba di Chamonix sudah gelap, nggak bisa main ski. Kami berencana main ski pada pagi harinya saja. Malam kami lewatkan dengan jalan-jalan di sekitar penginapan.

Ramenya... jalan, toko, restoran, caf, bar, semua dipenuhi orang-orang dari berbagai belahan dunia. Bahasa yang dipakai macam-macam. Sungguh suasana menarik, multikulti.

Le Brevent, Chamonix, Fr (dok.Gana)
Le Brevent, Chamonix, Fr (dok.Gana)
Le Grand Montet, Chamonix (dok.Gana)
Le Grand Montet, Chamonix (dok.Gana)
Tak terasa, pagi merekah dan kami sudah usai makan pagi. Berbondong-bondong kami menuju "Keller" atau ruang bawah tanah tempat menyimpan perangkat ski. 

Ya ampun, baru pakai sepatunya saja sudah keringatan. Lha iya, karena sudah pakai baju berapa lapis, kan? Mulai dari pakaian dalam ski, sweater, celana ski dan jaket ski. Mana kaki nggak mau masuk-masuk. Jiah, seperti mau berangkat perang.

Untunglah, beberapa menit kemudian semua sudah siap. Kami berangkat menuju halte bis. Letaknya di sebelah kiri apartemen, kira-kira 5 menit jalan kaki. 

Untuk mencapai Le Brevent, tempat ski tujuan kami, harus pilih bus nomor 14 atau 17. Bus datang setiap 30 menit, telat  semenit alamat menunggu lama. Kaki harus cepat berjalan supaya tidak terlambat dan mata memang harus awas agar tidak tertinggal.

Uji nyali naik lift dan ketinggian (dok.Gana)
Uji nyali naik lift dan ketinggian (dok.Gana)
Yang tua, keladi
Selama menunggu di halte, dingin dihalau suasana nano-nano. Betapa Tuhan menciptakan manusia dengan beragam rupa dan asa.

"Bapak mau ke mana?" tanya seorang perempuan di halte bus itu.
"Mau main ski" Si kakek menunjukkan perangkat ski yang bersandar di papan jadwal bus.
"Hah, ski? Bapak umurnya berapa?" mata lawan bicaranya membesar, seakan tak percaya apa yang baru saja didengar.

"70" Si pria dengan mantab menjawab. Di Eropa orang belum merasa tua meski sudah pensiun. Baru nanti kalau sudah umuran 80-90 tahun, merasa jadi lansia. Beda, ya, dengan di tanah air Indonesia.

"Hah, 70? Nggak takut patah tulang, pak? Saya saja yang yang masih muda sudah takut dengkul saya copot kalau main ski, makanya saya pilih jalan-jalan." Si ibu lagi-lagi keheranan.

"Nggak, ini juga lagi belajar." Dengan tenang si bapak jujur.
"Hah, belajar? Bapak memang belum bisa main ski?" Si ibu makin heran.
"Belum, kan ini baru mau berangkat kursus ski."

Indah (dok.Gana)
Indah (dok.Gana)
Si ibu berkali-kali menggelengkan kepala. Hebat benar, ada orang semangat belajar main ski di usia senja. Contoh yang baik bagi siapa saja yang ingin belajar main ski. Tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang baik. Mau bisa ski? Ayo belajar, sekarang.

Dan memang selama bermain ski, banyak lansia yang wara-wiri di Chamonix. Entah sendiri atau bersama keluarga; pasangan, anak dan cucu, mereka tampak menikmati. Nggak takut jatuh, nggak takut hilang, nggak takut encok apalagi patah tulang. "Non, non, non."

Yang disadvantage, tetap bisa main ski
Dari dua hari yang saya inginkan, rupanya saya jadi juga 4 hari main ski. Idih, gaya banget. Selain capek pasti duitnya juga, dong. Selama 4 jam main ski harus bayar 48 euro atau sekitar Rp 700 ribuan. Yang sehari penuh, hanya 7 euro lebih mahal dari tarif separuh hari.

Bisa saja sih, saya santai, jalan-jalan dan belanja. Tapinya saya merasa sayang bisa tergoda membuang uang untuk shopping ini-itu, mending buat trip lain waktu, lebih seru.

Saya ingat pepatah yang mengatakan "don't collect things, collect moments", paling enak mengumpulkan momen ketimbang koleksi barang. 

Nunggu di halte bus (dok.Gana)
Nunggu di halte bus (dok.Gana)
Alasan lain mengapa saya kekeh main ski adalah, ketika sudah berada di puncak entah di Le Brevent yang 2525 meter, atau di puncak yang lain, pemandangannya indah memesona. 

Sadar banget keagungan Tuhan ada di sekeliling. Rugi kalau tidak naik dengan lift dan menuruninya dengan ski. Meluncurrrr!

Budaya antri lift, tertib (dok.Gana)
Budaya antri lift, tertib (dok.Gana)
Di Chamonix, banyak spot tempat main ski yang dipilih. Suatu kali kami memilih ketinggian 2075 meter. Lift mengantar kami ke sana. Di tempat start, saya melongo. Seorang pria dengan baju ski overall warna merah, mendorong kursi ski merah. 

Perempuan yang duduk di sana, seorang disadvantage atau difable.  Siapa bilang kalau kaki sakit atau kaki nggak bisa berdiri tegak nggak boleh main ski, nggak bisa main ski? Di Chamonix, apa saja bisa diatur. Come on, let's go. (G76)

Si coach dorong difable, main ski (dok.Gana)
Si coach dorong difable, main ski (dok.Gana)
Kalau mau, pasti bisa (dok.Gana)
Kalau mau, pasti bisa (dok.Gana)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun