Orang-orang Jerman sedang bergunjing. Mereka ini membicarakan tentang wacana dari EU bahwa restoran harus menggratiskan air minum tanpa gas atau air minum dari kran yang diminum tamu.
Intinya, komisi Eropa ingin bahwa hak (HAM) mengkonsumsi air bersih di negara-negara EU harus ditegakkan. Semua orang berhak minum air bersih gratis. Menteri Lingkungan Hidup Jerman sendiri sudah sejak dua tahun yang lalu memberi lampu hijau terhadap usulan brilian ini.
Yup. Sebelum Jerman, sudah ada Perancis yang sudah sejak lama mewajibkan air minum putih gratis. Begitu pula di Austria, negara tetangga Jerman dan Perancis, sudah banyak restoran yang berbaik hati melayani air minum tanpa bea itu. Keren.
Selama keliling EU saya sering mengingat harga-harga dan membandingkannya dengan apa yang saya tahu di negara tumpangan, Jerman. Makanan di restoran Jerman termasuk murah dibanding negara-negara tetangga. Sebut saja Swiss atau Perancis.
Jika saya masih bisa nemu pizza di Jerman 5 euro satu piring normal bukan kecil, sangat sulit untuk mendapatkannya di luar negeri. Rata-rata masakan seperti Schnitzel, daging pipih yang dilumuri tepung, remah roti dan telur lalu digoreng dibandrol rata-rata 10 euro, di negara-negara tetangga Jerman lebih mahal. Satu contong es krim di Jerman masih ada yang 1 euro, di Swiss dan Portugal sudah 3-4 kali lipatnya.
Maka dari itu, pihak restoran sangat khawatir bahwa usahanya bakal bangkrut. Menurut mereka, biasanya, keuntungan akan mereka raup dari menjual minuman (bukan dari makanan). Lahhhh kalau air putih digratiskan, bisa bangkrut, kan. Profit yang didapat resto digunakan untuk membayar pekerja, belanja dan pengembangan resto sendiri.
Taruh saja 250 ml atau satu gelas Apel Schoerle (campuran jus apel dan air putih gas) dihargai 2,50 euro. Padahal kalau kita beli sendiri di toko swalayan dengan merek yang sama sudah, 1 liter jus apel rata-rata 1-2 euro. Air putih bergas satu liter 0,19 sen. Artinya, dengan segelas minuman di restoran itu kita bisa mandi jika beli sendiri!
Kebalikannya, itu jadi pundi-pundi pemilik resto. Sebabnya, air putih masih dihitung dalam bon. Ada sih, beberapa resto yang berbaik hati untuk memberikannya sebagai penawar gratis karena tamu pesan dessert; puding atau es krim semangkok.
Dukungan dari pihak yang pro penggratisan air, mereka beranggapan bahwa tidak semua orang Jerman minum air putih ketika makan di restoran. Jadi, nggak papa, tidak akan mempengaruhi bisnis restoran. Ada lho, tamu yang sengaja pesan air putih pas makan karena gratis.
Kalau saya pesan air putih karena saya orang kampung yang sampai hari ini nggak bisa mengikuti adat orang Jerman yang harus minum pakai gas. Coba, deh. Air putih pakai gas, jus buah pakai gas. Konon, mereka suka begitu lantaran demi mengatasi supaya rasa haus tidak terlalu cepat datangnya. Benarkah?
Mayoritas masyarakat Jerman juga sangat suka minum bir. Nggak heran ada festival bir sampai pagi di Oktoberfest. Saya bayangkan bahwa mereka memandang bir layaknya air putih, "glek-glek-glek" begitu. Bir (entah warna putih, kuning atau hitam) dikatakan sebagai minuman alami karena dibuat dari "Malz" (sejenis padi-padian) dan sebagian besar=air, sehat untuk dikonsumsi!
Begitu pula Wein" atau anggur. Berbeda dengan Anggur di Indonesia yang kata orang Jerman, rasanya seperti cuka. Anggur Jerman banyak yang manis dan lezat. Saya belum pernah coba tapi saya yakin itu. Buktinya, kalau sudah pada minum anggur, semua pada "tewas" seketika, tertidur di pulau kapuk.
Adat orang Jerman minum segelas anggur sebelum tidur, diyakini obat jantung kuat sampai tua. Saya paham itu meski nggak minum karena banyak tetangga saya yang umurnya sampai 80-90 masih gagah perkasa seperti Gatotkaca tanpa Gadarujakpala.
Sebagai tambahan, harga anggur banyak yang murah-meriah. Ada juga satu botol anggur yang dipatok harga sebulan gaji UMR DKI Jakarta.
Air Kran Jerman Layak Langsung Minum
Saya senang, saya sehat. Selama ini saya minum air dari kran di dapur rumah kami. Minum air putih setelah bangun tidur adalah pesan dari bapak sejak saya masih kecil. Kalau bapak pakai kendi, saya cukup pakai gelas yang didiamkan semalam.
Bapak saya biasa menaruh kendi di depan rumah, di atas buk", pagar dari batu. Saya mau ikut-ikut bapak tapi di Jerman orang cinta lingkungan, tidak suka membuat pagar kokoh mengelilingi rumah, kecuali dari tanaman.
Selain itu, saya takut air minum di luar rumah bisa dijilat kucing, anjing, trenggiling atau serigala dari hutan depan rumah. Parah lagi kalau itu benar terjadi dan nggak ketahuan.
Oh, ya. Selain hemat, saya yakin minum air kran Jerman (dengan 1-2 tetes sirop Holunder, bunga berwarna putih, manis dan wangi) itu mendukung kesehatan tubuh saya. Untung ada air kran Jerman yang sudah diolah sedemikian rupa dan diuji kelayakannya, dicap sebagai minuman yang bahkan lebih bersih dari yang dijual di toko.
Di setiap daerah memiliki tempat khusus untuk pengolahan limbah air dan air yang akan dikonsumsi. Air diambil dari sumber mata air lokal. Buergermeister atau walikota setempat biasa mengundang warga untuk sidak di pusat air minum supaya tahu bagaimana pengolahannya dan meyakini kesehatan yang akan diperoleh saat mengkonsumsi. Hebat, ya acara tahunan itu.
Sejarah pemikiran air bersih yang didistribusikan di Jerman dimulai sejak tahun 1412 di Augsburg. Dalam perjalanannya, banyak inovasi dan teknologi untuk menjaga kualitas air. Itu termasuk gonta-ganti bahan pipa, system pengolahan, cara pengukuran penggunaan air, tarif dan lain-lain.
Yang baik, harus ditiru. Indonesia jangan hanya copy paste bagaimana menampilkan kulit bersih putih bak orang Korea atau Jepang, bulu mata badai-topan yang dahsyat atau postur macho six packs yang bikin kagum saja, ya.
Kesehatan dan kepedulian lingkungan tetap nomor satu. Kalau lagi nggak sehat; kecantikan, kegagahan, kesuksesan, uang milyaran nggak ada harganya. Mati gaya, kan.
***
Menurut koran Sudkurir.de, air kran di jerman 99,8 % layak langsung minum. Hanya saja orang Jerman sangat skeptis kalau negara tetangganya melakukan penyulingan yang sama. Jadi rada mikir kalau mau minum langsung ketika trip.
Banyak minuman di Jerman atau EU yang ada Kohlenauerenya atau gas. Jadi kalau diminum agak nyengkring-nyengkring di kerongkongan kayak minuman kaleng bersoda begitu. Meskipun demikian, meminum air kran dianggap sudah biasa dan lestari. Asyik, kann.
Indonesia kapan? Hmm ... di tanah air untuk mendapatkan air bersih saja susah bahkan harus bayar mahal, bagaimana jika harus diberikan secara gratis? Orang masih bingung karena aset sumber mata air dikuasai oleh pihak tertentu yang mampu membayar mahal pada pemerintah.
Masyarakat sekitarnya bahkan bisa jadi belum pernah mencicipi air yang mengalir di tempat mereka tinggal. Harus merogoh kocek dalam-dalam untuk mendapatkan air minum bersih. Antrinya panjang, apalagi pas musim kering. Ya ampun, pedih.
Sedangkan selama ini saya belum yakin apakah perusahaan air minum nusantara yang dipercaya negara untuk mendistribusikan air, mampu menjamin kebersihan dan kelayakan air bersih untuk langsung ditenggak.
Itulah sebabnya, orang harus merebus air terlebih dahulu. Yang artinya, itu tidak ekonomis. Harus pakai kompor minyak, beli minyak dulu. Harus pakai kompor gas, beli tabung gas dulu. Iya kalau gasnya ada tabungnya menyublim alias nggak ada stok? Harus pakai kompor listrik, tegangnnya byar-pet (habis "byar"=terang, lalu "pet"=mati).
Bagi orang Indonesia seperti saya sudah biasa mengalaminya apalagi kalau ada hujan lebat di musim hujan. Tidak bagi orang Jerman, jika ada mati lampu itu pertanda kiamat kecil. Selama tinggal di Jerman saya belum pernah mengalami.
Semoga ke depan, air kran di seluruh daerah di Indonesia akan layak langsung minum karena negara melindungi sumber mata air untuk hajat hidup orang banyak bukan hanya untuk pebisnis saja. Impian yang tentu saja nggak hanya milik saya tetapi saya yakin, fantasi dari mayoritas penduduk Indonesia.
Sudahkah Anda minum air putih bersih dan sehat hari ini? Saya sudah barusan. Selamat pagi. (G76)