Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Berani Selalu Pakai Warna Cerah di Jerman?

21 November 2017   22:06 Diperbarui: 21 November 2017   23:53 1528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Merah, meriah euy (dok. Adhe Unyu)

Ya. Saya berani selalu pakai warna cerah di Jerman, meskipun warna cerah biasa dipakai orang Jerman pada musim semi (Fruehling) dan musim panas atau (Sommer). Ih, saya terbilang norak, ya? Penyuka warna-warna cerah di negeri orang yang tidak seperti Indonesia atau Afrika. Saya pikir, negara tropis lebih banyak didominasi warna cerah ketimbang suram dibandingkan dengan negara-negara 4 musim seperti Jerman.

Ya, warna-warna seperti hitam, biru gelap, abu-abu dan coklat gelap akan jamak dilihat pada musim gugur (Herbst) dan musim dingin (Winter). Pemakainya, rata-rata dari laki-laki sampai perempuan, dari bayi sampai lansia.

Jadi jangan heran, orang akan bertanya kepada saya ketika mengenakan pakaian cerah pada waktu yang dikatakan mereka, salah. Seperti yang baru saja kemarin terjadi. Ketika memasuki ruang kelas bahasa Inggris Volkshochschule. Kelas sebelumnya yang dipandu Herr Jahnel sebenarnya sudah usai pukul 16.00 tetapi sampai pukul 16.25, kelas belum juga bubar alias masih pada ngobrol di dalam kelas.

Merasa sudah waktunya, saya mengetuk pintu dan masuk. Meski bukan Napoleon tapi sebisa mungkin lima menit sebelum jadwal, saya harus siap. Rasanya tak nyaman kalau harus terengah-engah atau kelabakan memulai pelajaran.

Begitu meletakkan tas tangan dan material di meja, bos saya ramah menyapa.

"Wah, Anda selalu menyala." Matanya mengawasi saya dari atas ke bawah lalu meneruskan merapikan mejanya yang harus segera jadi meja saya. Baju saya memang selalu cerah.

"Ya, tentu, saya butuh warna untuk memotivasi dalam hidup. Tanpa warna, saya tidak bisa bahagia dan saya jadi kurang semangat beraktivitas." Tawa kecil saya lepas. Bos saya asli Jerman. Ia sangat memperhatikan penampilan saya. Sampai hari ini, komentar-komentar beliau belum pernah pedas seperti sandal. Sebaliknya, beliau menganggap saya seperti sinar matahari, the sunshine. Melihat saya seperti melihat hangatnya matahari, bahagia (cieee). Maklum, matahari sangat malu menampakkan diri di Jerman. Maksud saya, tidak setiap hari bersinar.

Pernyataan yang mirip kerap dilontarkan murid-murid kami yang umurnya 60 tahun ke atas itu.

"Saya yakin, Anda menyukai warna-warna cerah. Kepribadian Anda pasti ceria." Salah satu murid berkata, berbaik sangka.

"Anda benar. Saya harus memakainya. Jika tidak, badan saya kelihatan kuat tapi jiwa saya yang justru mulai sekarat." Kilah saya, yang merasa yakin be different, berbeda dengan gaya fashion kebanyakan orang Jerman itu adalah sesuatu dan bukan hal yang memalukan. Malulah kalau badan dibalut dengan pakaian kurang bahan atau parahnya, tidak dilembari sama sekali alias ... telanjang di muka umum!

Biasanya, segelintir orang-orang yang sirik atau orang yang tidak menyukai saya saja yang akan menganggap saya gila atau mau "Mau pergi ke karnaval, ya?" Tidak, saya tidak panik atau marah. Bukankah sirik tanda tak mampu? Biarlah, sebelum gila warna dilarang negara, saya akan memakainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun