Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

"Blusukan" di Kampung (Batik) Laweyan, Solo

4 Oktober 2017   18:16 Diperbarui: 4 Oktober 2017   18:40 4009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum meninggalkan showroom, kami melihat workshop Cempaka. Beberapa pria tampak sigap mencetak batik. Kami perhatikan betul prosesnya. Wah, kalau nggak kebiasa, bisa salah-salah, ya? Nggak lurus kek, mblobor lah ... nggak rata kek atau gimana. Mereka mah cool. Makanya, meski kami berlima ribut, rupanya konsentrasi mereka nggak pecah. Kerja-kerja-kerja.

Mblobor nyantingnya (dok-Gana)
Mblobor nyantingnya (dok-Gana)
Dikuret pakai peso (dok-Gana)
Dikuret pakai peso (dok-Gana)

Mewarnai (dok-Gana)
Mewarnai (dok-Gana)
Digodog (dok-Gana)
Digodog (dok-Gana)
Yuhuuu jadi! (dok-Gana)
Yuhuuu jadi! (dok-Gana)
Belajar Mbatik, yuk?        

Dua tahun lalu waktu di Indonesia, saya pernah belajar mbatik di Semarang. Lewat seorang guru asli Yogya yang akhirnya pindah ke Semarang itulah, saya tahu proses awal sampai akhir dari membatik. Untung saya nggak belajar mbatik pertama kali dalam hidup di Jerman. Malu belajar budaya sendiri di negeri orang.

Begitu pulang ke Jerman, saya tularkan pada anak-anak cara membatik sederhana. Karena pakai kompor bisa bahaya, saya ajari anak-anak pakai canting listrik pemberian kakak sulung. Anak-anak senangnya bukan kepalang. Sesuatu yang baru memang menarik.

Kemudian, dalam acara Malam Indonesia bersama Diaspora Baden-Wrttemberg di Konstanz, orang Jerman juga tertarik lho buat praktek juga sama kami. Sayang kompornya nggak boleh nyala dengan alasan keamanan. Hasilnya lilin wax cepat dingin karena harus digotong dari dapur menuju panggung dan seterusnya. Nggak bagus di kain. Penonton hanya dikasih tahu cara pegang canting dan pewarnaan saja.

Nah, pas di Kampung Laweyan itulah, anak-anak ingat. Mereka mau nyoba mbatik lagi. Si pemandu jadi-jadian segera mengantar kami ke tempat mas Taufik. Tokonya yang kecil itu rupanya dijadikan tempat untuk menjual hasil batiknya, workshop blangkon dan workshop batik. Maklum, satu keluarga kakak-adik. Satu bisa mbatik, satu bisa bikin blangkon (topi, tutup kepala adat Jawa).

Tanya harga kursus, cuma Rp 50.000,00 per orang. Kami mengangguk. OK, tiga anak mau belajar mbatik. Siap! Semua seperti bebek baris mengikuti bu Taufik, masuk ke dalam.

Omaigot. Ruang belajarnya sangat sederhana, berlantai tanah! Semua bahan dan alat lengkap. Tersedia kompor gas kecil, beberapa ember, panci-panci dari blek roti, pewarna, cotton but, kuas, gelas plastik bekas air minum mineral dan ember-ember hitam untuk pencucian.

Setelah anak-anak tenggelam dengan menggambar desain awal pakai pensil, kami tinggal jalan-jalan sebentar. Kami ke batik Wedelan di Setono 116. Senangnya nemu trenchcoat batik ukuran S harga Rp 130.000,00. Pernah lihat barang yang mirip di Mall Solo Square atau Progo, sayangnya besar-besar.

Setengah jam kemudian, kami kembali. Mereka sudah siap dengan proses nyanting. Canting ada tiga; untuk garis tipis, pengisi gambar-cecek dan ngeblok. Cara megang canting juga nggak sembarangan karena bisa menetes sampai panas di kulit atau mblobor, melebar nggak rata di kain mori.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun