Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Tidak Semua Ibu RT “Desperate Housewives“

7 Mei 2016   04:40 Diperbarui: 7 Mei 2016   07:47 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Nginet sama nginang memang beda. Nginet bisa bikin mata merah, nginang yang buat gigi sama mulut merah.

Nginet atau ngecek internet biasa saya lakukan di sela-sela rehat waktu ngerjain pekerjaan rumah tangga. Selingan, biar ada variasi. Biasanya kalau anak-anak sedang sibuk (sekolah/kegiatan/main).

Waktu nginet, ealahhh ... Kaget lalu ketawa sendiri. Membaca wall seseorang yang tulis kultum tentang  ibu RT. Pasalnya, seorang temannya menulis; mengapa hari gini masih ada perempuan yang hanya di rumah dan mengandalkan duit suami!

Hmm ... ibu rumah tangga, ibu RT, a housewife. Saya mengerti karena ini juga jadi profesi saya 10 tahun ini. Sebelumnya, saya kerja. Punya duit sendiri, tabungan sendiri. Sekarang mah bedaaaaa. Bapak works, mama shops (kata teman, Rina).

Mengapa  berstatus ibu RT?

Lantas, apa ada yang salah dengan ibu rumah tangga? Tidak ada yang salah memang.  Itu sebuah pilihan apa kata hati ... atau karena keadaan alias terpaksa.  Seingat saya, waktu menikah dengan bapak, ibu diminta berhenti kerja sebagai seorang guru SD. “Jadi rumah tangga saja, Jeng!“ Alasannya, bapak pengen anak-anak dirawat sendiri oleh ibu saya. Tahun demi tahun, ibu nggak betah. Mengapa? Bukan karena ibu nggak suka di rumah dengan anak yang banyak dan pekerjaan yang tak akan pernah ada ujungnya. Ya. Ibu melihat kenyataan bahwa asap dapur dan pendidikan untuk kami bersembilan, tak cukup dengan gaji PNS bapak dan beras jatah berkutu yang didapat setiap bulan. Ekonomi njomplang. Akhirnya, ibu mengajar lagi sampai kemudian pensiun sebagai kepala sekolah di dua SD dan ikut wiyata bakti selama kira-kira 2 tahun. Bapak mengiyakan, mendukung. Perempuan tidak hanya kanca wingking, di belakang. Juga di depan, tengah, atas dan bawah. Komplit pakai joss.

Akibatnya, selama itu, saya (dan saudara-saudara) jarang ketemu ibu. Ibu karir. Kalau ibu pergi, saya baru bangun, kalau saya sudah tidur, ibu baru datang. Selain bekerja mencari nafkah, ibu aktif berorganisasi budaya, membantu bapak. Ibu biasa pulang sebentar pada siang hari untuk membagi tugas kepada kami berlima. Siapa yang masak, siapa yang bersihin lantai, siapa yang bagian kaca jendela. Kamar dan baju, tanggung jawab masing-masing (lima anak laki-laki dan dua anak perempuan, nih). Kok, ya nurut, ya? Seruuu!

Beda sekali dengan saya yang waktu single punya prinsip, kalau nikah mau tetap jadi wanita karir, kerja! Nasib menggariskan ... jadi ibu RT karena keadaan. Iyalah, di luar negeri nggak ada siapa-siapa. Pembantu atau baby sitter mahal. Anak dan rumah diurus sendiri saja, dehhh. Kalau boleh pilih pasti waktu itu pengen di Indonesia saja. Serba ada, murah dan bisa karir, sementara pekerjaan rumah tangga diberesin pembantu atau dibantu ibu.

Hmmm ... Lambat laun saya jadi ngerti. Budaya jadi ibu RT amat dinikmati sebagian besar ibu RT yang saya kenal di Jerman. Alasannya, ini demi masa depan anak-anak. Semakin banyak waktu ibu RT merawat anak-anaknya sendiri, konon cerahlah masa depan anak. Memang tidak bisa digaransi tapi kepercayaan itu membuat mereka semangat meninggalkan kerjaan paling enggak setahun, seperti hak yang diberikan perempuan di Jerman pasca melahirkan. Cuti merawat anak dengan tetap digaji. Asyik yaaaa?

Karena merawat anak itu menyenangkan, banyak pula teman-teman Jerman saya yang justru nggak mau kembali lagi ke pekerjaan dan memilih sampai anak-anaknya lulus SD (kelas IV), di mana anak bisa ditinggal, dipeseni ini-itu dan lain-lain. Atau, bijak memilih memotong waktu berkarir dari seharian aka full time menjadi part time. Jadi pulangnya barengan waktu makan siang. Sip, kan? Itu saja pekerjaan rumah tangga tetap dikerjakan sendiri. Padahal rumah orang-orang Jerman di daerah besar-besarrrr (150-300 meter persegi dengan tiga lantai dan kebun!). So, karir-OK, ngurus anak-yes dan kerjaan rumah-nggak nolak. Hebat ya, ibu-ibu Jerman. Makanya jadi malu. Tahun-tahun berikutnya saya sudah menikmati jadi ibu RT ... sampai hari ini.

Bagaimana dengan Kompasianer perempuan? Mengapa jadi ibu RT? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun