Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Biasakan Juga Melepas Sepatu (Sandal) sebelum Masuk Rumah Orang Jerman

7 Januari 2013   23:53 Diperbarui: 4 April 2017   18:10 2731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13576026372106141363

Melepas sandal atau sepatu adalah salah satu kebiasaan orang saat memasuki sebuah rumah. Entah lantainya terbuat dari marmer atau keramik biasa,beralaskan karpet, kayu bahkan plester (red: campuran pasir, kapur dan semen buatan sendiri?) … sepatu/sandal ya dilepas.

Ternyata budaya turun menurun sederhana berupa melepas sepatu/sandal ini juga nyata ada di Jerman sampai hari ini. Negeri sosis yang telah lama modern ini tetap memegang segi kedisiplinan dan kebersihan yang terkandung didalamnya.

Apakah hukum tak tertulis yang amat sederhana ini ada di rumah Anda?

***

Di Indonesia

Kata orang tua saya, rumah yang banyak didatangi tamu itu akan membawa rejeki bagi keluarga yang didatangi. Mungkin ada benarnya kepercayaan ayah dan ibu saya itu. Adat menyuguhi tamu dengan teh manis dan penganan seadanya, kalau perlu makan besar yang ada di dapur adalah hal-hal yang selalu saya perhatikan dan tercatat hingga kini.

Dari tradisi itu, ada satu yang saya ingat-ingat betul bahwa setiap tamu entah dari golongan miskin atau kaya, berpangkat atau tidak, mereka ini melepas sepatu didepan pintu rumah orang tua saya. Ah, jadi geli juga karena kadang saking banyaknya tamu berserakanlah sandal dan sepatu di depan keset ‘Welcome’. Akibatnya, pernah sekali tamu linglung salah satu pasangan sepatunya digondol anjing tetangga! Weleh-weleh … kalau yang itu mah tak bawa rejeki, bawa malu.

Yak. Kebiasaan melepas sandal di rumah orang tua saya ini dulu saya anggap sebagai ungkapan rasa hormat. Mungkin karena merasa bahwa pemilik rumah (ayah) adalah orang yang dituakan, mereka rela melepas sepatu atau sandal. Lantai keramik ayah berwarna putih itu tak mahal-mahal amat tapi mudah untuk mengepelnya. Sekali lap, sret, langsung mengkilat ! Apalagi bapak saya selalu bilang, “Diagem kemawon …-“ (red: meminta tamu untuk tetap memakai sepatu/sandalnya).

Oh, ternyata saya salah, saat saya banyak berkunjung ke rumah tetangga atau kawan … kebiasaan melepas sandal atau sepatu ini juga berlaku di rumah mereka. Jadi, bukan karena menghormati orangnya saja tapi sudah tradisi. Tujuannya juga menghargai orang yang membersihkan lantai setiap hari. Bayangkan kalau semua sepatu dan sandal kotor keluar masuk rumah menjejaki lantai yang bersih berubah kotor ? Waduhlahhhh !

Di Jepang

Tradisi ini nyata ada di kehidupan modern rakyat Jepun. Bahkan saya percaya sejak jaman kesatria Samurai masih hidup. Awalnya, saya berkunjung dan menginap seminggu di sebuah rumah Samurai yang telah berumur 100 tahun. Dari desain interiornya terlihat bahwa sepatu dan sandal harus dilepas, lalu diganti dengan selop rumahan (didapur atau kamar mandi) atau kalau tidak ada ya berkaos kaki saja (diruang tamu atau kamar tidur).

Saat mengunjungi penginapan di sebuah hutan, juga demikian. Tak berbeda dengan rumah-rumah penduduk Jepang pada umumnya. Ketika menginap di rumah kawan-kawan Jepang yang pernah menginap di rumah orang tua saya atau setidaknya bertemu di Semarang itu, acara melepas sandal/sepatu juga sebuah keharusan. Copot sepatunya, Gana san!“

Makanya lantai kayunya tetap cling, mengkilat!

Di Jerman

Dari perbincangan dan kunjungan ke ibu-ibu Jerman (entah yang asli atau pendatang), saya tangkap sebuah kesan bahwa masalah kebersihan dan kedisiplinan adalah yang hakiki. Jangan harap kita bisa cuek membersihkan atau menata rumah, nanti dikira messies (red: golongan orang-orang yang malas dan tak berpendidikan, memiliki rumah kotor dan berantakan).

Negeri semodern dan sebebas Jerman ini kebanyakan penduduknya, amat detil terhadap bakteri, debu dan sampah. Ada beberapa orang yang beranggapan bahwa memakai sepatu/sandal yang dipakai diluar dan masuk rumah itu eklig (red: menjijikkan). Ada pula yang menyebut orang yang bersangkutan, faul (red: pemalas). Atau parahnya, dituding tidak tahu diri dan tidak tahu malu ….

Ya. kebersihan dan kedisiplinan ini dianggap tercermin pada kebiasaaan harus melepas sepatu/sandal sebelum memasuki rumah. Entah itu yang berlantai kayu (Parketten), berkarpet (Teppich) atau keramik.

Jangan coba-coba untuk melanggarnya karena si empunya rumah (bahkan anaknya) akan buru-buru mengingatkan bahwa batasan sepatu/sandal hanya sampai di area depan pintu bagian dalam. Ya, iyalah kalau pintu bagian luar pastilah dingin (kecuali di musim panas).

Pernah beberapa kali saya kedatangan banyak tamu. Diantara mereka ada yang tidak melepas sepatu/sandal (kebanyakan adalah kebiasaan para pria). Teman-teman dekat saya (yang wanita, biasanya telah sedia sandal rumahan dari rumah) langsung berbisik pada saya bahwa saya harus tegas. Ini aturan rumah, tegas mereka. Alasannya, para wanita itu tahu betul repot dan susahnya membersihkan rumah dari hari ke hari, kasihan sayanya. „Jangan mau jadi putzfrau (red: tukang bersih-bersih) tapi Hausfrau (red: ibu rumah tangga) sajalah“, pesan mereka.

[caption id="attachment_234301" align="aligncenter" width="499" caption="Kebiasaan melepas sepatu juga ada di sekolah"][/caption]

Kebiasaan melepas sepatu/sandal luar lalu langsung memakai sandal rumahan atau hanya berkaos kaki ternyata telah ditanamkan sejak kecil. Otomatis. Bahkan ketika mereka meminta ijin bermain di rumah teman, sangu dari orang tuanya adalah sandal rumahan (agar bisa dipakai di rumah teman). Sandal rumahan juga wajib dimiliki/dibawa anak yang bersekolah di taman kanak-kanak dan SD (kelas 1-4) dan akan ditaruh dirak sepatu masing-masing (dibawah gantolan jaket, dan rak teratas untuk topi dan lainnya). Pemakaiannya adalah di ruang kelas atau ruang lainnya. Sepatu luar hanya untuk datang dan pergi atau saat bermain di kebun sekolah.

Oh ya, sandal rumahan di Jerman tiap musim biasanya berbeda. Misalnya yang untuk musim salju berbahan hangat, agak tebal dan tertutup (bahkan ada yang berbentuk sepatu bukan hanya sandal/selop). Sedangkan pada musim panas agak terbuka dan lebih tipis (sesekali berbentuk jepit biasa). Beberapa keluarga ada pula yang menyediakan selop khusus bagi tamu. Biasa dijual di toko (6 pasang sandal/selop all size, dibandrol 7 euroan).

Kebiasaan ini tak terikat apakah orang asli Jerman atau penduduk pendatang macam Turki, Rusia atau Asia. Amat sangat jarang bahwa tamu boleh memakai sepatu/sandalnya. Maklum, negeri Angel Merkel ini tak mengenal kata pembantu. Semua dikerjakan oleh ibu rumah tangga (kadang bapak rumah tangganya) sendiri. Istilahnya, tradisi keluarga Indonesia yang kelimpungan ditinggal mudik lebaran oleh pembantu setahun sekali, di Jerman adalah makanan sehari-hari. Benar-benar mandiri.

Meskipun demikian, untuk menghormati tamu, tetap saja ada kalimat pemilik rumah „Sepatu/sandalnya tak usah dilepas ….“ Dan tamu tetap melepasnya. Apalagi tahu kalau yang dikunjungi adalah keluarga muda yang memiliki bayi. Tak tega membayangkan anak-anak kecil itu mbrangkang (red: merangkak di lantai) lalu menemukan kotoran sisa sepatu/sandal tamu. Hiyyy ….

Hal tersebut terbukti efektif mengubah kebiasaan, malas membuka sepatu/sandal di dalam rumah. Yakni misalnya ketika para pria dewasa itu telah memiliki bayi/anak kecil dan melihat sendiri kenyataannya ketika lantai kotor akibat sepatu/sandalnya menyisakan bongkahan lumpur atau batu kecil di sela-sola sol sepatu lalu ditemukan anak dan dimasukkan kemulut!

Bisa dibayangkan bukan? Jerman dengan empat musim itu pastilah mengotorkan alas sepatu/sandal bagian bawah lalu menapaki karpet yang dilem di lantai. Mencucinya? Repooooootttt, mana obatnya mahal. Atau ketika sisa salju yang putih menjadi hitam karena campuran taburan garam pada aspal, melekat di sepatu/sandal lalu menempel di lantai rumah? Duh!

***

Dari kebiasaan tiga negara itu, bagaimanakah kebiasaan sederhana tapi penting ini di rumah Anda? Apakah Anda otomatis melepas sepatu/sandal ketika berkunjung ke rumah orang? Bagaimana sikap Anda ketika para tamu tidak terbiasa melepas sepatu/sandalnya saat memasuki rumah Anda? Lalu ketika mereka benar-benar melakukannya, ada resiko yang harus ditanggung; lantai bebas dari debu dan kotoran namun diganti oleh bau kaos kaki atau sepatu! Selamat pagi.(G76)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun