Mohon tunggu...
Lidya Prastuti
Lidya Prastuti Mohon Tunggu... -

announcer, enthusiastic students, have big passion in singing and cooking, love writing, and absolutely i'm a future wife

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengabdi dan Bekerja dengan Hati

30 Agustus 2012   12:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:08 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sungguh indah anugerah Sang Pemilik Kehidupan yang mengatur segala hal sedemikian, tidak ada yang kebetulan dan semua nyaris sempurna. Bahkan untuk memberikan pelajaran yang berharga sekalipun, Sang Kuasa menggunakan cara-cara ajaib pada kita manusiaNya.


Siapa sih di dunia ini yang ingin bekerja di tempat yang nyaman, sesuai keinginan kita dan menghasilkan banyak uang? Pasti siapapun menginginkannya. Namun sebaliknya, tidak semua orang mendapatkan kesempatan tersebut. Tetapi menariknya, di tempat-tempat yang tidak kita duga ternyata kita bisa banyak belajar, bahkan seringkali di tempat yang membuat kita tidak nyaman kita malah ditempa dan dibentuk untuk menjadi pribadi unggul dan dengan begitu kualitas kita dan ‘emas’ kita yang sesungguhnya muncul.

Saya melihat bahwa sebuah profesi bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan kita semata, pekerjaan tidak hanya soal mata pencaharian dan mengejar rupiah. Sebuah profesi yang dipercayakan pada kita mengandung sebuah tuntutan, kewajiban dan tanggung jawab, namun yang saya maksudkan bukan tuntutan, kewajiban dan tanggung jawab kepada atasan, perusahaan atau instansi tempat kita bekerja, tetapi lebih kepada lingkungan sosial sekitar kita, tanggung jawab kita sebagai makhluk berakal budi, berakhlak dan berintelektual. Bagaimana kita sebagai manusia harus memiliki manfaat dan berkontribusi untuk kehidupan yang lebih baik, entah untuk pasangan, anak cucu, orang tua, saudara, ataupun kelompok sosial yang lebih luas.

Ada hal berharga yang saya pelajari dan dapatkan ketika ibu saya tercinta harus dipindah tugaskan. Beliau berprofesi sebagai seorang guru di sebuah SD negeri di kota kami. Ibu saya adalah seorang sosok guru hebat dan berdedikasi, tak pernah terlambat bekerja, bersedia pulang paling akhir saat guru-guru lain mungkin sudah tidur siang dirumah, selalu ingin memberi yang terbaik pada sekolah maupun murid-muridnya. Beliau juga memperhatikan murid-muridnya secara detail, mulai dari kebersihan kuku, kebersihan baju, sampai kalau muridnya ada yang mengantuk tidak segan beliau akan menyuruhnya mandi ataupun cuci muka. Ibu saya selalu berusaha memikirkan hal-hal baru bagi muridnya sehingga proses pembelajaran menjadi sesuatu yang menarik. Di mata saya ibu saya guru yang berprestasi dan selalu mengajar dengan hati. Beliau telah mengabdi selama kurang lebih 23 tahun di sebuah sekolah negeri di kota kami, saya tahu beliau amat mencintai sekolahhnya, hingga beberapa waktu lalu beliau dikejutkan dengan keputusan bahwa beliau dipindahtugaskan ke sekolah lain. Sekolah ibu saya yang baru memang masih dalam satu kota tetapi berbeda wilayah. Sekolah yang baru berada di kawasan yang kurang menyenangkan, terletak di pemukiman miskin, dengan anak-anak miskin sebagai muridnya dan tentu saja lingkungan yang benar-benar berbeda dengan sebelumnya.

Ibu saya benar-benar terpukul sampai beberapa hari setelah menerima keputusan kepindahannya, saya menemukan beliau menangis sedih. Ibu sangat sedih karena sekolah yang dibesarkannya harus ia tinggalkan. Beliau bertanya-tanya bagaimana seorang guru seperti dirinya, yang berdedikasi dan berprestasi ‘dibuang dan dihukum’ di sekolah yang terpinggirkan dengan anak-anak yang belum tentu mengerti pentingnya pendidikan. Saya melihat beliau malu kepada teman-teman guru yang berada di wilayahnya, ditempatkan di wilayah lain yang kurang baik membuat ibu seolah dihukum dan dipertanyakan kredibilitasnya dalam mengajar. Sempat ibu melakukan beberapa usaha untuk mengubah keputusan tersebut, tapi akhirnya beliau berusaha menerima berkat dukungan dari keluarga, sahabat dan teman-teman yang lain.

Ibu menemukan banyak hal yang berbeda di sekolah barunya, muridnya memang lebih sedikit namun hampir semuanya dari masyarakat kalangan tak mampu. Murid-muridnya banyak yang berpakaian ‘kucel’, ‘omongannya’ kasar, semangat belajar murid-muridnya pun sangat rendah. Tidak hanya itu, suasana sekolah ibu kurang kondusif, dengan lingkungan yang kurang bersih. Lucunya tak ada bel sebagai tanda jam pelajaran, masuk kelas tergantung murid dan guru, demikian pula jam istirahat dan jam pulang sekolah, semua menggunakan ilmu perkiraan.

Ibu melihat banyak hal baru di sekolah baru ini, mulai dari karakter murid-murid, ada yang berprofesi sebagai pengamen, ada yang tidak pernah mandi saat berangkat sekolah sampai jajanan ‘aneh-aneh’ yang sebenarnya tak layak dikonsumsi oleh mereka. Ibu juga melihat etos kerja teman-teman sekantor tidak begitu tinggi, mereka cenderung kurang kreatif dan inovatif, mungkin mereka juga sudah tahu siapa yang mereka ajar, tidak perlu susah-susah dan penuh usaha. Saya memperhatikan meskipun sampai hari ini ibu masih kurang nyaman berada di tempat kerja barunya, ibu telah belajar banyak hal dan ibu mengakuinya. Ibu nelangsa jika teringat murid-muridnya, ibu bisa makan enak, kemana-mana naik mobil dan selalu mengenakan pakaian yang layak, sungguh berbeda dengan murid-muridnya yang masih sangat lugu namun sudah harus berlajar kerasnya hidup.

Saya kemudian jadi ikut belajar banyak hal dari peristiwa ini. Kadang sebagai profesional kita dituntut keluar dari zona nyaman dan tanggung jawab yang besar. Malahan ketika kita diharuskan keluar dari zona nyaman sesungguhnya kita sedang ditantang, kredibilitas kita sedang diuji, apakah kita mampu menjadi seorang pribadi yang mampu beradaptasi, mampu mengendalikan keadaan, dan tentu saja membawa perubahan.
Bukan hanya soal keluar dari zona nyaman, peristiwa itu membuat saya belajar nilai dan arti pengabdian sesungguhnya. Tentu sangat nyaman bukan jika kita berada di tempat yang kita inginkan dengan fasilitas yang memadai, murid yang menyenangkan dan teman yang mendukung. Bagaimana jika sebaliknya, masihkah kita bisa mengabdi? Masihkah kita bisa memberi yang terbaik pada anak-anak yang lebih membutuhkan banyak perhatian dan didikan?

Saat melihat ibu sedih di saat sulitnya kemarin, saya sempat memotivasi beliau, bahwa beliau beruntung dan harus lebih bisa bersyukur, bahwa banyak guru-guru lain di seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke mengalami hal yang lebih parah dan harus berjuang sangat keras untuk mencerdaskan bangsa. Saya juga mengingatkan beliau tentang novel ‘Laskar Pelangi’ yang menginspirasi, bahwa  banyak guru di pelosok negeri yang lebih susah keadaannya.

Sebuah profesi menurut saya bukan soal sebagai ladang mencari sesuap nasi, namun soal pengabdian, soal bagaimana melakukannya dengan hati bukan sekedar asal-asalan dan kewajiban. Apapun profesi yang kita emban cobalah terus berikan yang terbaik, meskipun mungkin kita berada di tengah keadaan yang sulit, jauh dari yang namanya kata ‘nyaman’ atau mungkin benar-benar harus menyesuaikan diri dengan keadaan. Saya percaya, ketika kita telah berusaha dengan sungguh dan sudah melakukannya dengan hati, maka ketika perubahan itu terjadi, kebahagiaan yang kita rasakan pasti tak akan bisa kita gambarkan. Pertanyaannya, sudah siapkah kita bekerja dengan hati dan mengabdikan diri dimanapun dan apapun profesi kita?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun