Malam itu, angin bertiup lembut di Pasir Kadempet, menyapu dedaunan yang berjatuhan di tanah. Aroma dupa bercampur dengan harumnya bunga sedap malam yang tersusun rapi dalam wadah anyaman bambu. Di bawah temaram cahaya lampu bohlam yang berpendar, warga berkumpul di bale desa, membawa tumpeng, air bunga, dan harapan yang tak terucap. Wajah-wajah mereka penuh takzim, menyadari bahwa malam ini bukan sekadar pertemuan biasa, melainkan upacara yang menghubungkan dua dunia: dunia yang terlihat dan dunia yang gaib.
Di tengah-tengah mereka, seorang kasepuhan yang disegani duduk bersila, wajahnya diterangi cahaya temaram. Ia membuka acara dengan suara pelan tapi berwibawa, "Saudara sekalian, malam ini kita melaksanakan Ruwahan. Ini bukan sekadar ritual, tetapi jalan untuk menguatkan hubungan dengan para leluhur."
"Abah, mengapa kita harus mendoakan leluhur? Bukankah mereka sudah pergi?" tanya seorang pemuda.
Abah tersenyum, matanya menyipit penuh kebijaksanaan. "Sebagaimana Imam Mahdi masih ada namun tak tampak, begitu pula ruh leluhur. Mereka tidak hilang, hanya berada di alam lain. Doa kita menjembatani antara yang hidup dan yang telah tiada."
Ruwahan dilakukan menjelang Ramadan. Warga berziarah ke makam orang tua, membaca doa, dan menyiapkan sedekah. Ada pula tradisi munggahan, tempat sanak saudara berkumpul, bersilaturahmi, dan saling memaafkan. Bulan Sya'ban diyakini sebagai bulan yang berhubungan dengan para arwah. Ruh leluhur datang menerima berkah dari doa keturunannya, sebagaimana bulan ini juga dikaitkan dengan Imam Mahdi yang kehadirannya masih tersembunyi namun tetap menyertai umat manusia dalam perjalanan spiritualnya.
Ruwahan juga diiringi dengan nyekar dan berbagi beras kepada fakir miskin. Ini bagian dari filsafat Sunda: "silih asah, silih asih, silih asuh"---saling mengingatkan, menyayangi, dan membimbing. Para kasepuhan mengajarkan bahwa hubungan antara yang hidup dan yang telah tiada tidak terputus. Fariduddin Attar menulis dalam Mantiq al-Tayr : " - . , ."
Doa yang tulus tidak hanya memberikan keberkahan bagi leluhur, tetapi juga memperkuat jiwa mereka yang masih hidup. Ruwahan menjadi momen untuk merajut kembali silaturahmi, menyadarkan manusia akan kefanaan, serta memupuk kebersamaan dalam keluarga dan komunitas. Para arif bestari menyebutkan bahwa doa yang dipanjatkan oleh hati yang bersih akan membentuk cahaya yang tidak hanya menerangi dunia ini, tetapi juga menerobos dimensi yang lebih dalam.
Masyarakat Sunda meyakini bahwa kehidupan adalah rangkaian sebab akibat yang terus berlanjut. Jika leluhur kita dermawan, kita meneruskan kedermawanan itu. Jika mereka menyebarkan ilmu, kita menjaga warisan tersebut. begitu seterusnya sampai kemunculan Imam Mahdi yang dipercaya akan muncul kembali untuk menegakkan keadilan, doa kita untuk leluhur diyakini kembali sebagai keberkahan dalam hidup.
Sebagaimana tradisi-tradisi leluhur yang tetap hidup, Ruwahan mengajarkan kita untuk tidak melupakan akar dan nilai-nilai kebajikan. Setiap langkah menuju makam, setiap untaian doa, dan setiap sedekah yang diberikan adalah cermin dari kasih sayang yang terus mengalir, menghubungkan dunia ini dengan alam yang lebih luas.
Malam itu, setelah doa-doa dipanjatkan, langit terasa lebih tenang. Udara malam mengalir lembut, membawa harapan dan kenangan yang tak lekang oleh waktu. Warga mulai beranjak pulang, membawa hikmah yang akan mereka teruskan kepada anak-cucu.
Dalam keheningan, seorang kasepuhan berbisik lirih, "Manusa di bumi ukur nyaba, nu sabenerna nyorang jalan panjang."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI