Mohon tunggu...
Super_Locrian
Super_Locrian Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis lepas, enthusiastic in journalism, technology, digital world

Cuma seorang yang mencoba mempelajari tekno lebih dalam

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Dilema BPJS Bagi Pak Kardi

5 November 2018   12:19 Diperbarui: 5 November 2018   12:27 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Waktu baru menunjukkan pukul 07.30 pagi, tapi pak Kardi sudah duduk manis di depan pendaftaran puskesmas yang lokasi tak begitu jauh dari rumahnya. Bukan tanpa alasan, pak Kardi menyambangi puskemas dikala embun pagi sisa semalam masih basah. Karena hari ini adalah jadwal pak Kardi menjalani pemeriksaan dan cuci darah, setelah dokter memvonisnya gagal ginjal sejak 3 tahun silam. Sebelum menjalani "ritual" untuk penyakitnya tersebut, pak Kardi terlebih dahulu harus mengurus rujukan ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).

Beruntung pak Kardi membawa sedikit bekal makanan dan minum dari rumah, karena puskemas jaman sekarang berbanding terballik di era 90-an. Kalau dulu puskesmas hanya didatangi segelintir pasien, namun sejak pemerintah memberlakukan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 2014 lalu, puskesmas sebagai sumber rujukan tingkat pertama kini ramainya tak ubah seperti sekolah dasar di pagi hari.

Antrean sudah mengular sejak pak Kardi tiba. Ia paham perlu waktu satu hingga dua jam baginya sebagai peserta BPJS untuk mendapatkan surat rujukan ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTL). Sambil menunggu giliran, pak Kardi sesekali menikmati cemilan yang ia bawa dari rumah. Sementara yang lain ada yang memilih untuk pulang dan kembali hingga tiba gilirannya.

Pak Kardi tak punya pilihan, semua proses harus ia jalani demi mendapatkan pelayanan kesehatan yang ia butuhkan. Proses yang harus dilalui pak Kardi tak hanya selesai sampai hari ini, karena pak Kardi harus kembali menjalani proses yang sama lusa mendatang agar ia bisa melakukan cuci darah setelah melakukan pemeriksaan dari FKTL.

Sabar Dalam Penantian

Pak Kardi kembali harus mengumpulkan tenaga dan asa agar bisa mendapat pelayanan kesehatan yang layak untuk penyakitnya. Karena hari ini ia paham akan menghabiskan waktu setidaknya lima hingga tujuh jam di FKTL, setelah mendapat rujukan dari puskesmas.

Kalau kemarin ia tiba di puskesmas pukul 07.30 pagi, kini ia tiba di RSUD pukul 05.30 pagi agar dapat nomor antrean lebih awal. Tapi apa daya, meski sudah tiba di RSUD berbarengan dengan matahari terbit, pak Kardi baru bisa masuk ruang periksa setidaknya enam jam mendatang. Lagi-lagi semua karena prosedur dan banyaknya pasien rujukan yang membutuhkan pelayanan kesehatan yang sama dengan pak Kardi.

Miris, di tengah sakitnya pak Kardi dan pasien cuci darah yang lain harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk bisa bertemu dengan dokter spesialis. Belum lagi waktu yang harus dihabiskan mereka untuk mengurus rujukan dari FKTP. Ironisnya, proses ini harus mereka ulang per tiga bulan.

Tak dibayangkan bila kondisi seperti ini harus dijalani oleh pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan secepatnya, artinya harus berjudi antara waktu dan nyawa.

Rujukan Online, Terobosan kah? 

mulai Oktober 2018, BPJS Kesehatan menerapkan sistem rujukan online. Artinya pak Kardi harus lebih mempersiapkan prosedur rujukan lebih awal. Sistem zonasi yang diberlakukan berdampak pada berubahnya fasilitas kesehatan menyesuaikan dengan domisili. Artinya FKTP akan memilihkan FKTL yang terdekat dari radius FKTP bagi pak Kardi.

Sekali lagi, sistem yang awalnya dibangun untuk memberi kemudahan dan kepastian bagi pasien, ternyata masih menyisakan beberapa PR yang harus dibenahi bersama.

Bicara sistem rujukan online, BPJS Kesehatan mengklaim dengan mengubah sistem rujukan menjadi online akan memberikan kemudahan dan kepastian bagi pasien. Ditambah lagi dengan sistem rujukan online efisiensi anggaran bisa terwujud.  Karena pak Kardi tidak bisa langsung memilih FKTL tipe A yang biayanya lebih mahal dari FKTL tipe D atau C.

Namun sistem ini bukan tanpa masalah. Mulai data FKTP, FKTL dan dokter yang kacau, hingga jadwal praktik dokter yang  tidak cocok. Bahkan ada KTP yang menggunakan rujukan manual karena sistemnya belum siap.

Pak Kardi pun pernah mengalaminya. Ia terpaksa pulang karena FKTL rujukan yang didapat dari FKTP, belum terdatar dalam Health Facilities Information System (HFIS) milik BPJS.

Selain itu, data rekam medis pasien yang dirujuk pun, terkadang menyisakan persoalan yang mengganjal. Dengan regulasi saat ini, setiap pasien rujukan harus menjalani pemeriksaan ulang ketika mendatangi dokter spesialis di FKTL, karena yang mereka bawa hanya berupa resume rekam medis dari FKTP. Tentu sang dokter spesialis tak ingin salah tindakan hanya dengan mengandalkan resume rekam medis.

Secara aturan jelas, Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) Nomor 55 Tahun 2013, pasal 18, mengatur bahwa setiap rekam medis harus dijaga kerahasiaannya. Maka yang diberikan oleh FKTP hanyalah berupa resume rekam medis.

Beberapa kali pak Kardi harus menjani pemeriksaan ulang kala mendatangi dokter spesialis, setelah mendapat rujukan dari FKTP. Karena resume rekam medis yang dibawa pak Kardi dianggap tak cukup menjelaskan terkait diagnosa dan tindakan medis yang dibutuhkan pak Kardi.

Tapi mari berpikir inovatif. Tak bisakah akhirnya sebuah rekam medis berbentuk digital/electronic sehingga akan memudahkan skema transfer data rekam medis akan leih mudah dan tetap terjaga.

Tentu langkah pertama untuk mewujudkan hal ini adalah membuat payung hukum yang akhirnya menjadi "permisi" bagi setiap FKTP maupun FKTL untuk membagi data rekam medis pasien ke FKTL tujuan. Untungnya? Efisiensi waktu bagi dokter sudah pasti, Karena tak perlu lagi melakukan pemeriksaan ulang terhadap pasien. Bagi pasien seperti pak Kardi pun ini akan menjadi angin segar ketika akhirnya ia tak perlu meghabiskan banyak waktu di dokter karena harus menjalani pemeriksaan ulang.

Healthcare Information Excange

Healthcare Information Exchange bisa menjadi salah satu cara untuk mengimplementasikan skema pertukaran data rekam medis pasien dari FKTP kepada FKTL lanjutan, yang akhirnya bisa memberikan keuntungan baik dari sisi rumah sakit, dokter, terlebih kepada pasien.

Dalam sistem ini, data rekam medis akan dikonversi menjadi rekam medis elektronik dan hanya bisa diakses oleh FKTL yang ditunjuk oleh FKTP. Maka bagaimana mengimplementasikan sistem Healthcare Information Exchange yang dimaksud tersebut? Pertama yang paling mendasar yang harus dilakukan adalah tentu bagaimana meyamakan persepsi antar rumah sakit bahwa pertukaran data pasien yang dimaksud dalam sistem ini bertujuan untuk mengefisiensikan waktu, yang akhirnya akan dikonversi menjadi benefit bagi semua pihak terkait.

Yang berikutnya adalah payung hukum yang akhirnya mempersilahkan FKTP dan FKTL untuk membagi data rekam medis pasien rujukan demi keakuratan diagnosa dan tindakan medis, tanpa harus melakukan pemeriksaan ulang.

Selanjutnya adalah penerapan sistem Hospital Information System secara menyeluruh, bukan hanya dilini administrasi semata. Secara tren, Hospital Information System bukan barang baru dilingkungan rumah sakit. Namun kebanyakan rumah sakit baru sebatas menerapkan sistem ini untuk urusan administrasi semata. Padahal sejatinya sistem ini bisa diterapkan untuk data pelayanan medis dan medis penunjang yang bermuara pada data rekam medis pasien.

Kalau saja ini sudah berjalan, maka Hospital Information Exchange yang diidam-idamkan pak Kardi, tentu bisa berjalan.

HIE dan Rujukan Online Solusi Integerasi Data 

Skema sistem rujukan online yang diterapkan BPJS saat ini memag masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah yang harus diperbaiki bersama. Tapi bukan berarti sistem rujukan online ini tak memberikan manfaat bagi keseluruhan sistem  di rumah sakit bagi pasien.

Terlalu naif bila teknologi yang sudah semakin berkembang tak dimanfaatkan secara maksimal disegala lini industri, termasuk rumah sakit dan farmasi. Justru dengan membawa inovasi yang berbasis teknologi di lingkungan rumah sakit, akan mendorong kualitas pelayanan.

Belajar dari apa yang sudah diterapkan di Jepang oleh salah satu perusahaan IT, yakni Fujitsu, menerapkan HIE dan sistem rujukan online tak hanya memberikan manfaat kepada rumah sakit semata. Badan penjamin pembiayaan kesehatan dan pasien pun akan merasakan manfaatnya.

Dari sisi lingkungan kerja rumah sakit, operasional manajemen rumah sakit menjadi lebih efisien dengan menerapkan rujukan online dan digitalisasi dokumen hingga efisiensi waktu dengan tidak melakukan tes dan perawatan ulang kepada pasien rujukan.

Peningkatan kualitas layanan kesehatan dengan pengurangan risiko, dengan cara berbagi informasi antara rumah sakit sehingga memungkinkan pemantauan dan observasi oleh petugas medis di kedua belah pihak. Dokter pun yang menangani akan memiliki ruang untuk berbagi pengetahuan tentang cara perawatan medis.

Bicara keuntungan, bukan hanya dari sisi efisiensi manajerial saja yang akan didapatkan rumah sakit, revenue pun akan mengiringi. Dengan fokus pada area khusus dan memanfaatkan secara maksimal asset medis. Contohnya ketika pasien yang dirujuk sudah menjalani pemeriksaan yang membutuhkan alat khusus (seperti EMR, CT Scan, dsb), maka rumah sakit tak perlu melakukan pemeriksaan ulang bahkan tak perlu melengkapi asset rumah sakit yang harganya tak murah tersebut. Karena kebutuhan rekam medis sudah didapatkan dari FKTL sekunder.

Skema pembiayaan yang dianut BPJS saat ini dituding menjadi penyebab defisit yang terus dirasakan oleh BPJS. Hal ini meyebabkan klaim biaya rumah sakit tak terbayarkan, fasilitas dan obat untuk pasien dipangkas, protes para dokter larena kerja serta tindakan medisnya dibatasi limit biaya, lebih parahnya dokter pun harus bersiap dengan konflik dan gugatan dari pasien karena protes pelayanan BPJS Kesehatan.

Dengan menerapkan sistem HIE, data rekam medis pasien yang masuk dalam sistem akan menjadi acuan yang akhirnya akan mengurangi biaya perawatan medis, melalui pencegahan pemeriksaan dan pengobatan berulang yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Ini juga akan memastikan perawatan yang lancer dan memaksimalkan kinerja institusi kesehatan tingkat pertama atau fasilitas kesehatan tipe D.

Bagi pak Kardi, keuntungan terbesar yang dirasakan adalah ia tak perlu khawatir limit biaya BPJS Kesehatan yang dimilikinya habis, hanya karena harus menjalani perawatan dan pemeriksaan berulang. Waktu pak Kardi untuk menghabiskan bermain bersama cucu kesayangannya pun bisa terwujud, karena pak Kardi tak perlu menghabiskan waktu berjam-jam di rumah sakit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun