Mohon tunggu...
Fujianto
Fujianto Mohon Tunggu... Guru - Guru

Saya seorang guru yang punya hobbi menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Budaya Positif untuk Pembelajaran Berpihak Pada Murid

29 Agustus 2022   21:23 Diperbarui: 29 Agustus 2022   21:24 6283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

       Sekolah adalah salah satu tempat penyelenggaraan pendidikan. Di sekolah harus tercipta sebuah lingkungan yang kondusif, representatif,menarik, dan  nyaman bagi siswa untuk melaksanakan proses pendidikan. Sejalan dengan Filosofi Ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat. Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia, upaya menuntun tumbuh kembang anak sesuai dengan kodrat alam dan zamannya agar mencapat kebahagiaan, keselamatan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat. Dalam proses "menuntun", anak diberi kebebasan, sedangkan  guru sebagai 'pamong' dalam memberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Seorang 'pamong' dapat memberikan 'tuntunan' agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar. Anak juga secara sadar memahami bahwa kemerdekaan dirinya juga memengaruhi kemerdekaan anak lain. Oleh sebab itu, tuntutan seorang guru harus mampu mengelola dirinya untuk hidup bersama dengan orang lain (menjadi manusia dan anggota masyarakat).

            Pendidikan yang menuntun adalah skema pendidikan yang berpihak pada murid sebagai upaya membangun budaya positif. Dalam mengimplementasikan budaya positif yang bersumber pada nilai-nilai kebijakan universal, guru dapat mengawalinya dengan pembiasaan disiplin positif. Selama ini disiplin sering dikaitkan dengan tata tertib, teratur, dan kepatuhan pada peraturan. Kata "disiplin" juga sering dipasangkan dengan hukuman, padahal itu berbeda. Jika hal pun itu harus terjadi, maka hanya akan menjadi alternatif terakhir atau bahkan tidak perlu digunakan sama sekali.  Dalam masyarakat, disiplin identik dengan perilaku menunjukkan sebuah kepatuhan dan berujung pada ketidaknyamanan jika melanggarnya. Begitu juga dengan lingkungan sekolah, untuk menciptakan murid yang merdeka, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang bersumber dari motivasi intrinsik. Jika tidak dari motivasi intrinsik, maka diperlukan pihak lain untuk mendisiplinkan (motivasi eksternal) yang berasal dari luar diri. Hal ini akan bersifat sementara dan menimbulkan kebergantungan. Disiplin diri berarti mereka bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri atas apa yang telah dilakukan berdasar nilai-nilai kebajikan universal. Oleh karena itu,  guru sebagai pendidik memiliki tujuan untuk menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.

            Disiplin sebagai bentuk kontrol diri, merupakan  belajar untuk kontrol diri agar dapat mencapai suatu tujuan mulia sebagaimana nilai-nilai kebajikan universal. Glasser pada Teori Kontrol (1984), menyatakan bahwa setiap perbuatan memiliki suatu tujuan, dan selanjutnya Diane Gossen (1998) mengemukakan bahwa dengan mengaitkan nilai-nilai kebajikan yang diyakini seseorang maka motivasi intrinsiknya akan terbangun, sehingga menggerakkan motivasi dari dalam untuk dapat mencapai tujuan mulia yang diinginkan.

Ada banyak motivasi dan kebutuhan yang melatar belakangi sebuah perilaku, contohnya  murid di sekolah. Mereka melakukan tindakan dengan motivasi yang bermacam-macam seperti motivasi menghindari hukuman/ketidaknyamanan, motivasi ingin dipuji, atau menghargai diri sendiri. Ketiganya sering digunakan dalam situasi yang berbeda sesuai dengan kebutuhan yang ada. Dalam berperilaku, ada kalanya mereka juga melakukan hal-hal yang tidak sesuai peraturan atau keyakinan yang telah dibuat sehingga terjadilan sebuah hukuman, konskuensi atau bahkan penghargaan. Dalam menerapkan disiplin positif di sekolah, hal yang menimnbulkan ketidaknyamanan akan dihindari karena akan lebih tepat jika menerapkan sebuah model yang bisa mengajak murid untuk berkolaborasi, belajar merefleksi apa yang telah dilakukan melalui restitusi.

            Restitusi merupakan pengkondisian bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Restitusi juga merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah mereka, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996). Untuk melakukan restitusi, terlebih dahulu dibuat keyakinan kelas sebagai landasan dalam berperilaku. Nilai-nilai Kebajikan menekankan pada keyakinan seseorang akan lebih menumbuhkan motivasi seseorang dari dalam. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan tertulis tanpa makna. Adapun nilai-nilai kebajikan yang diterima secara universal lepas dari latar belakang budaya, bahasa, suku bangsa, maupun agama berupa hal-hal seperti keadilan, kehormatan, peduli, integritas, kejujuran, pelayanan, keamanan, kesabaran, tanggung jawab, mandiri, berprinsip, keselamatan, kesehatan, dan masih banyak lagi nilai-nilai kebajikan universal yang juga bisa mengacu pada profil pelajar pancasila.

            Untuk membuat keyakinan kelas , Guru dan murid berkolaborasi menggunakan model curah pendapat/branstorming untuk mengeksplor nilai-nilai keyakinan yang mereka inginkan sesuai dengan karaketr, kebutuhan, dan visi sekolah. Forum diskusi adalah cara yang cukup efektif untuk menentukan keyakinan kelas yang dipilih. Guru hanya mengarahkan dan menuntun siswa agar memiliki pemahaman, kesadaran, dan keyakinan akan nilai-nilai kebajikan universal yang diyakini dan disepakati  bersama. Kesepakatan tersebut akan menumbuhkan komitmen bersama untuk dilaksanakan. Namun, Ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan/keyakinan, maka sebenarnya mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti   kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan penguasaan (power). atau melanggar peraturan, Jika murid  dapat mengidentifikasi kebutuhan apa yang mendorong perilakunya, maka perubahan perilaku positif dapat dimulai dengan mencari solusi untuk memenuhi kebutuhan tertentu dengan cara yang positif. Untuk itu guru harus dapat memerankan posisi kontrol yang tepat sebagai bagian dari upaya membangun budaya postif.

            Pada dasarnya selama ini guru sebenarnya telah memerankan lima posisi kontrol di sekolah, disadari/tidak. Posisi apakah itu? Yaitu Posisi penghukum (menggunakan hukuman fisik maupun verbal), Posisi Pembuat merasa bersalah (guru akan bersuara lebih lembut,  menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri), Posisi Teman (Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi), Posisi Pemantau (Posisi pemantau berdasarkan pada peraturanperaturan dan konsekuensi), dan Posisi manajer (posisi di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri). Namun di antara lima posisi tersebut, posisi manakah yang paling dominan? Tentu jawabannya bervariasi sesuai kondisi dan karakter sekolah. Rata-Rata posisi yang dominan dilakukan adalah penghukum atau pembuat rasa bersalah. Nah. Sekarang saatnya para guru mengubah mind set ke arah yang lebih baik berpusat, memerdekakan, dan memandirikan murid.           

            Di posisi manajer ini guru menerapakan segitiga restitusi yang dimulai dari tahap Pertama  Menstabilkan identitas yaitu untuk mengubah identitas anak dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses. Dampaknya suasana diri anak menjadi ternetralisir, dan kepercayaan diri anak mulai tumbuh kembalil.  Adapun kalimat yang bisa digunakan adalah  (1) Tidak ada manusia yang sempurna, (2) Saya juga pernah melakukan kesalahan seperti itu. (3) Bapak/Ibu tidak tertarik mencari siapa yang salah, tapi Bapak/Ibu ingin mencari solusi dari permasalahan ini. (4) Kamu berhak merasa begitu. (5)Apakah kamu sedang menjadi teman yang baik buat dirimu sendiri?. Tahap yang kedua adalah Validasi tindakan yang salah. Pada tahap ini tujuannya adalah mengeksplor alasan mengapa murid melakukan tindakan tersebut. Pasti mereka memiliki motivasi dan kebutuhan. Contoh Kalimat yang bisa digunakan adalah (1) Padahal kamu bisa melakukan yang lebih buruk dari ini ya?" (2)"Kamu pasti punya alasan mengapa melakukan hal itu" (3) "Kamu patut bangga pada dirimu sendiri karena kamu telah melindungi sesuatu yang penting buatmu". (4) "Kamu boleh mempertahankan sikap itu, tapi kamu harus menambahkan sikap yang baru." Tahapan yang ketiga adalah Menanyakan keyakinan (dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan). Contoh kalimat yang dapat dipakai adalah (1) Apa yang kita percaya sebagai kelas atau keluarga? (2) Apa nilai-nilai umum yang kita telah sepakati? (3) Apa bayangan kita tentang kelas yang ideal? (4)Kamu mau jadi orang yang seperti apa?

Demikian segitiga Restitusi yang dapat diterapkan di sekolah sebagai aksi nyata dari salah satu implementasi Budaya Positif di Sekolah. Semuanya membuthkan waktu dan proses untuk diimplementasikan, akan tetapi dengan bemodal komitmen untuk menumbuhkan pemahaman, kesadaran, dan keyakinan, serta Sinergi antar stakeholder maka hasilnya akan dapat terlihat dan dirasakan oleh murid.

Oleh : Hermin Irawati, M.Pd.

CGP ANGKATN V

SMA NEGERI 1 BATUAN-SUMENEP

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun