Mohon tunggu...
Ahmad Fuad Afdhal
Ahmad Fuad Afdhal Mohon Tunggu... Dosen - Ph.D.

Pengamat isu sosial

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kalau Saya Menjadi Sjamsul Nursalim

12 Juni 2019   13:20 Diperbarui: 12 Juni 2019   13:38 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nampaknya tidak ada kasus  seperti kasus BLBI yang terkait Syamsul Nursalim bersama istrinya Itjih Nursalim. Coba amati sudah berapa kasus ini muncul-hilang-muncul.  Kalau ini episode sinetron di televisi, mirip Tukang Bubur Naik Haji yang pernah populer di salah satu stasiun televisi. Celakanya sang sutradara seperti tidak mau menghentikan endingnya atau tidak mudah memutuskannya di tengah kontrak iklan yang begitu banyak. Bagi pemirsa terasa bahwa sinetron ini belakangan sudah mengada-ada. Tapi, ratingnya bagus. Ini sesuatu yang dilematis. Akhirnya memang selesai juga, entah alasannya apa.

Tentu saja cerita tentang BLBI-BDNI bukan sinetron di televisi. Keduanya sangat berbeda bagaikan bumi dan langit. Hanya saja masyarakat sudah jenuh bahkan sebal. Karena seperti tidak ada penyelesaian. Padahal sesungguhnya kasus ini sudah selesai.

Kalau masyarakat saja kesal dengan tidak melihat niat dari KPK untuk menuntaskan kasus ini apalagi pihak-pihak terkait seperti Syamsul Nursalim dan Itjih Nursalim yang bagaikan bola ditendang kesana dan kesini. Celakanya gol tidak pernah terjadi.

Menegok kasus ini, tidak heran ketika pers asing geleng-geleng kepala melihat tidak adanya penuntasan. Bahkan KPK yang digaungkan sebagai lembaga anti korupsi modern yang didukung oleh pihak luar negeri termasuk aplikasi teknologinya, akhirnya kalah oleh rumor yang menunjukkan bahwa KPK hanyalah lembaga perpanjangan tangan dari kepentingan-kepentingan politik atau kepentingan golongan politik yang berada di Indonesia.

Syamsul Nursalim dan Bisnisnya di Indonesia:
Sebagai pebisnis, Syamsul Nursalim dan istrinya tidak muncul dengan tiba-tiba sebagai konglomerat. Pasangan suami istri ini dikenal sangat kokoh, teguh dan mampu melawan tantangan-tantangan bisnis. Kedua pasangan ini mampu meluruskan fundamen bisnis sehingga menjadi salah satu kekuatan usaha bisnis di Indonesia yang berkibar di dalam negeri dan di luar negeri.

Secara perlahan tapi pasti dengan membawa bendera Gajah Tunggal, Syamsul Nursalim (SN) dan Itjih Syamsul Nursalim (ISN) mulai melakukan ekspansi ke berbagai industri, namun tetap selektif. Ekspansi tidak dilakukan hanya di Indonesia tapi di mancanegara.

Kepiawaian SN dan ISN sebagai pebisnis sangat diakui oleh dunia internasional. Ini pula yang menyebabkan kelompok bisnis ini disambut hangat bahkan terbentang karpet merah oleh banyak Negara di dunia dan bagi banyak lembaga bisnis di dunia internasional, partisipasi kelompok Gajah Tunggal (GT) sangat signifikan dalam memajukan dunia usaha di Negara-negara tempat kelompok SN dan ISN berinvestasi.

Satu hal yang juga perlu di catat, bahwa kelompok GT ditopang oleh tenaga-tenaga professional dan sumber daya manusia yang berkompeten sesuai dengan bidang masing-masing. Mereka percaya bahwa pada akhirnya persaingan bisnis adalah persaingan sumber daya manusia.

Rekrutmen, seleksi, dan pelatihan sudah merupakan ciri dari kelompok SN. Bagaimanapun, kelompok SN mampu bersaing di banyak sektor industri. Ini pula yang membuat kawan dan lawan bisnis  mereka yakin bahwa kelompok SN mampu bersaing walaupun Ombak Tidak Selalu Ramah.

Kurang Penghargaan:
Sisi keberhasilan dari kelompok SN ternyata mendapat respon dari tanah air. Jadi terlihat ketika kasus BLBI-BDNI telah mengombang-ambingkan kelompok SN. Bahkan muncul persepsi negatif dari sekelompok kecil masyarakat yang kurang welcome terhadap ekspansi bisnis kelompok SN. Wajar jika kemudian ada yang bertanya mengapa SN dan ISN masih mempertahankan bisnisnya di Indonesia?

Sebagai analogi kita lihat bagaimana petenis Boris Becker dan petenis Steviee Graf meninggalkan tanah kelahirannya Jerman, untuk mengadu untung sekaligus mencari peluang dalam bidang olah raga. Pasti berat bagi kedua petenis ini meninggalkan Jerman, penyebabnya tidak lain karena rasialisme dalam olahraga di Jerman dan tidak ada upaya yang konkrit dari pemerintah jerman untuk menghentikan tindakan rasialisme dalam olah raga. Analogi lain adalah dalam kasus Juerge Klopp, pelatih Liverpool yang mampu membawa Liverpool menjadi juara Liga Champion 2019-2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun