Mohon tunggu...
Ahmad Fuad Afdhal
Ahmad Fuad Afdhal Mohon Tunggu... Dosen - Ph.D.

Pengamat isu sosial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tragedi Pesawat Indonesia AirAsia QZ8501: Bagaimana Dana Pencariannya?

11 September 2017   17:02 Diperbarui: 11 September 2017   17:28 2034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: solo.tribunnews.com

Tragedi kecelakaan pesawat Indonesia AirAsia QZ8501 sudah lama berlalu. Barangkali masyarakat sudah melupakan nasib pesawat nahas tersebut. Yang tersisa barangkali kesedihan keluarga para korban.

Sekadar untuk menyegarkan ingatan, pada hari Minggu 28 Desember 2014, pesawat Indonesia AirAsia QZ8501 terbang dari bandara Juanda, Surabaya hendak menuju bandara Changi, Singapura. Namun, pesawat tersebut tidak pernah sampai di Singapura. Rupanya, pesawat tersebut mengalami kecelakaan di sekitar selat Karimata lepas pantai Kalimantan Tengah. Kecelakaan itu sendiri telah menewaskan 162 orang.  Dunia penerbangan kaget mendengar kecelakaan tersebut. Berbagai pertanyaan muncul yang intinya adalah apa yang menjadi penyebab kecelakaan tersebut? Apakah human errorsebagai penyebabnya? Atau penyebabnya adalah karena terjadi masalah pada mesin pesawat tersebut?

Semua instansi terkait dengan sigap bekerja keras untuk melakukan pencarian pada pesawat nahas tersebut. Di antaranya adalah Badan SAR Nasional (Basarnas),  Kemenhub, TNI, KNKT, dan instansi lainnya.

Walau tragedi kecelakaan pesawat Indonesia AirAsia sudah berlalu beberapa tahun, ternyata masih terjadi pembicaraan, pembahasan, dan diskusi seputar dana yang digunakan untuk pencarian pesawat dan para korban dari pesawat tersebut. Ignasius Jonan, Menteri Perhubungan saat itu menyebut angka Rp 1 trilyun yang telah dihabiskan untuk pencarian dan evakuasi terkait kecelakaan pesawat nahas tersebut. Angka yang berbeda diungkapkan oleh Bambang Soelistyo yang Kepala Badan SAR Nasional (Basarnas), bahwa dana yang dipakai hanya Rp. 570 juta. Perbedaan yang cukup signifikan. Hanya saja, ada pertanyaan lain yang terkait dengan pencarian dan evakuasi tersebut.

Dalam hal ini pertanyaan tersebut adalah siapa yang seharusnya menanggung semua biaya tersebut? Apakah memang menjadi beban pemerintah? Bagaimana dengan pihak Indonesia AirAsia sendiri, apakah tidak ikut menanggungnya? Apalagi, sebagaimana lazimnya, pesawat itu diasuransikan secara penuh sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Sayang sekali, aspek ini seperti dianggap sepele. Padahal ini yang teramat penting.

Indonesia AirAsia:

Indonesia AirAsia adalah maskapai penerbangan yang relatif berusia muda.  Sebagai maskapai penerbangan yang berbiaya rendah (low-cost airline) pusatnya adalah di Tangerang. Dengan salah satu hub utama di bandara Internasional Soekarno-Hatta. Maskapai penerbangan ini mempunyai hubungan dengan Malaysia AirAsia.

Satu catatan menarik, sebagaimana banyak maskapai penerbangan Indonesia lainnya dilarang terbang ke negara-negara Uni Eropa. Larangan terbang ini dicabut pada Juli 2010. Sementara, AirAsia Indonesia masuk kategori 1 oleh Otoritas Penerbangan Sipil Indonesia. Untuk aspek kualitas keamanan.  Catatan lainnya adalah bahwa pada 2011, maskapai penerbangan yang seluruh armadanya adalah Airbus mendominasi pasar Internasional di Indonesia sampai dengan 41.5 %.

Awalnya, AirAsia Indonesia yang lebih dikenal sebagai Indonesia AirAsia, adalah Awair (Air Wagon International) yang didirikan pada 1999 oleh Gus Dur atau Abdurrahman Wahid. Gus Dur memiliki 40 % saham, yang setelah terpilih menjadi Presiden Rapublik Indonesia melepas semua saham-sahamnya.  Mulai 2001 Awair mulai beroperasi sebagai associatedari AirAsia.  

Pada 1 Desember 2005, Awair berubah namanya menjadi Indonesia AirAsia. Adapun kepemilikan saham 51% dimiliki oleh PT Fersindo Nusaperkasa dan AirAsia Berhad memiliki 49%  Struktur kepemilikan ini mengikuti UU yang berlaku di Indonesia, yang mana asing tidak boleh memiliki saham mayoritas dalam maskapai penerbangan yang berbadan hukum Indonesia.

QZ8501:

Burung besi jenis Airbus A320-200  yang berangkat dari bandara  Juanda Surabaya menuju Changi, Singapura pada  hari Minggu 28 Desember 2014,  telah mengalami nasib  yang nahas.  Pesawat yang diterbangkan oleh Kapten Irianto, mayoritas penumpangnya adalah warga Indonesia.

Pesawat yang membawa 162 orang tersebut lepas landas dari bandara Juanda, Surabaya  pada jam 05.35 menuju bandara Changi, Singapura. Pesawat terbang dengan ketinggian 32.000 kaki dan dijadwalkan tiba di bandara Changi, Singapura pada  jam 08.36 waktu Singapura.  Pada jam 06.01 pilot mendeteksi adanya gangguan melalui tanda peringatan . Gangguan tersebut terdapat pada sistem rudder travel limiter (RTL) yang terletak pada ekor pesawat.

Menurut Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), dari hasil investigasi  terhadap kotak hitam milik pesawat Indonesia AirAsia QZ8501, terdapat sejumlah faktor yang menjadi penyebabnya. Ketua KNKT  Soerjanto Tjahjono,  Ketua Tim Investigasi KNKT Mardjono Siswo Suwarno, dan Ketua Sub Komite Kecelakaan Pesawat Udara KNKT Kapten Nurcahyo Utomo memberikan penjelasan sehubungan dengan kronologi jatuhnya pesawat seperti telah dijelaskan di atas.

Asuransi:

Aspek asuransi sesungguhnya bukan hal yang baru bagi maskapai penerbangan manapun. Ini memang merupakan suatu kewajiban mutlak bagi setiap maskapai penerbangan yang mengoperasikan pesawatnya.  Namun yang menarik dalam kasus tragedi Indonesia AirAsia QZ 8501, jumlah biaya yang telah dikeluarkan harus diklarifikasi mengingat terdapat dua angka berbeda dari dua sumber yang berbeda pula. Dalam hal ini pihak Kementerian Perhubungan menyebutkan angka Rp 1 trilyun, sedangkan dari pihak Basarnas jumlahnya hanya Rp 570 juta.

Namun, yang paling utama adalah adanya informasi bahwa pihak Indonesia AirAsia yang menolak untuk mengganti biaya pencarian dan evakuasi sejumlah Rp 1 trilyun. Konon alasan penolakan tersebut karena pihak Indonesia AirAsia berpendapat bahwa tugas SAR adalah tugas public sesuai Undang-Undang No. 29/2014. Penolakan ini tertera dalam surat Indonesia AirAia tertanggal 10 Februari 2016 dan 7 April 2016.

Sesungguhnya penolakan pihak Indonesia AirAsia tidak berdasar sebab kalau merujuk kepada UU Penerbangan No. 1/2009 mewajibkan asuransi bagi setiap maskapai penerbangan yang beroperasi di Indonesia. Kewajiban tersebut mencakup pesawat yang dioperasikan, tanggung jawab kerugian kepada personil pesawat yang dioperasikan, dan tanggung jawab kerugian kepada pihak kedua yang dalam hal ini adalah penumpang yang diangkut dalam pesawat. Selain itu, juga meliputi tanggung jawab kerugian kepada pihak ketiga dan kegiatan investigasi insiden dalam kecelakaan pesawat udara.

Yang tidak kalah menarik adalah adanya argumentasi pihak Indonesia AirAsia yang menyebutkan bahwa biaya SAR bukan yang dimaksud dengan biaya investigasi insiden. Argumentasi ini juga salah besar karena kegiatan investigasi insiden hanya dapat dilakukan setelah Basarnas menemukan kerangka pesawat dan telah diangkat dari dasar laut untuk menemukan black box pesawat untuk kemudian KNKT melakukan investigasi insiden. Dalam hal ini kegiatan yang dilakukan oleh Basarnas terpisah dari kegiatan KNKT adalah dua kegiatan terpisah namun terkait dalam menghasilkan laporan akhir kecelakaan.

Sementara itu, dalam cakupan asuransi, pihak Indonesia AirAsia telah melaksanakan kewajiban penutupan asuransi sesuai dengan UU melalui PT Asuransi Jasa Indonesia yang kemudian direasuransikan ke Jardine Lloyd Thompson (JLT).  Akan halnya biaya pencarian sejumlah Rp 1 trilyun hanya 10 % dari batasan polis asuransi Indonesia AirAsia yang mana cakupan polis asuransi tersebut juga mencakup biaya pemakaian Emergency Center, pemakaman, kunjungan keluarga korban yang semuanya terdapat dalam  Combined Single Limit atau CSL Polis Asuransi. Pada hakekatnya CSL Polis Asuransi telah dengan jelas dan rinci menyebutkan tanggungan asuransi untuk mengangkat kerangka pesawat dan biaya lainnya.

Kasus tragedi pesawat QZ8501 semakin menarik karena munculnya pertanyaan, apakah kelalaian maskapai penerbangan merupakan tanggung jawab APBN? Jelas sekali bahwa kelalaian pesawat tidak seharusnya menjadi tanggung jawab APBN berpegang kepada lima faktor penyebab kecelakaan pesawat yang dalam hal ini disebabkan oleh tiga faktor maintenance pesawat dan dua faktor ketidakmampuan awak pesawat dalam mengendalikan pesawat sebagaimana terdapat dalam laporan KNKT. Kelima faktor tersebut masuk dalam kategori gross negligenceatau kelalaian besar sehingga menimbulkan liability yang berarti menjadi tanggung jawab maskapai penerbangan.

Jadi, dalam kasus ini pemerintah Indonesia bisa menggugat pihak Indonesia AirAsia mengingat tragedi  QZ8501 bukan kecekaan murni akibat cuaca melainkan kelalaian dari maskapai penerbangan. Lagi pula dana asuransi telah dialokasikan sesuai mekanisme asuransi dan juga dana asuransi tersebut diperoleh dari transaksi komersial secara berulang.

 Kasus tragedi Indonesia AirAsia QZ8501 telah menyita perhatian para pemerhati asuransi umumnya dan khususnya asuransi pesawat terbang. Penyelesaian aspek penggantian biaya pencarian pesawat oleh dana asuransi merupakan solusi yang sah dan tepat untuk mencegah hal ini menjadi preseden.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun