Mohon tunggu...
Firmansyah Arowana
Firmansyah Arowana Mohon Tunggu... Administrasi - Aparatur Sipil Negara

Seorang anak sulung, suami yang beruntung, abi dari duo krucil yang aktif dan lucu, ingin menjadi pembelajar sepanjang hayat, belajar menulis, belajar meneliti

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Berhentilah Menjadi "Good Man", Indra Sjafri

11 Desember 2019   13:45 Diperbarui: 12 Desember 2019   16:35 5392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Coach Indra Sjafri (IS) (KOMPAS.com/Garry Lotulung)

Tidak bisa dipungkiri memang bahwa coach Indra Sjafri (IS) merupakan salah satu pelatih lokal terbaik yang dimiliki oleh Indonesia. Berkat tangan dingin pria kelahiran Batang Kapas, Sumatera Barat tersebut Timnas Indonesia U19 (2013) dan U22 (2019) berhasil dibawa untuk menjadi kampiun.

Kondisi tersebut benar-benar menjadi sebuah anomali di tengah kacaunya persepakbolaan dan federasi Indonesia saat itu.

Timnas U19 tahun 2013 dan U22 tahun 2019 yang dibawa juara oleh IS, sumber Republika
Timnas U19 tahun 2013 dan U22 tahun 2019 yang dibawa juara oleh IS, sumber Republika

IS juga bukan pelatih lokal yang hanya jago kandang. Terbukti sudah banyak pelatih-pelatih asing bahkan beberapa sudah memiliki nama besar seperti Akira Nishino dan Fandi Ahmad dibuat bertekuk lutut di hadapannya.

IS berhasil memberikan warna terhadap filosofi konservatif sepakbola Indonesia yang dulunya hanya menggunakan strategi monoton dengan umpan-umpan panjang dan mengandalkan kekuatan fisik.

Di bawah asuhan IS, timnas junior Indonesia sudah berani memainkan gaya permainan ball possession. Pemain mengetahui peran taktikal dan bermain dengan strategi yang terorganisasi baik serta sesuai dengan postur orang-orang Indonesia.

IS menanamkan logika berpikir, psikologis pantang menyerah, dan percaya diri kepada pemain, membuat para pemain lebih bisa meredam emosi, kepahaman yang lebih mendalam pemain terkait rules of game. VO2Max dan stamina pemain juga cenderung meningkat di bawah IS.

Ia mengutamakan talenta lokal dan pemain muda, rela blusukan ke daerah-daerah guna mencari bakat-bakat yang sebelumnya tidak terjamah. IS menerapkan aturan yang ketat terhadap pemain terkait menu makanan, pola istirahat, jam keluar, kelakuan di dalam dan luar lapangan.

Di era IS pula muncul talenta-talenta hebat penerus generasi Primavera, Barreti, dan SAD. Alumni U19 era Evan Dimas dan U19 era Egy Maulana Vikri yang bermain di liga lokal banyak yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk menjadi pemain inti di klubnya masing-masing. Serta ada beberapa yang sempat dan sedang meniti karier di luar negeri.

Harapan untuk kembali berjaya di level internasional kembali menyeruak tatkala IS sukses membawa Timnas U23 lolos ke final SEA Games Filipina 2019 menghadapi Vietnam.

Besar ekspektasi dari rakyat Indonesia IS dapat menyamai pencapaian Anatoli Fyodorovich Polosin yang mempersembahkan emas untuk Indonesia di SEA Games 1991 dan Bertje Matulapelwa pada SEA Games 1987. Tapi realita berkata lain Indonesia kembali harus menjadi runner up setelah kalah 3-0 dari Vietnam.

Meskipun menderita kekalahan, terdapat beberapa perbaikan strategi dan pola permainan yang kontras terlihat dari hasil racikan IS pada penampilan Timnas U23 Indonesia di ajang Sea Games 2019 kali ini, seperti:

Perbaikan pertahanan pada serangan bola-bola set piece
Terbukti dari 9 pertandingan terakhir timnas U23 hanya 3 kali kebobolan melalui set piece, timnas U23 tidak kecolongan ketika melawan Iran saat partai uji coba serta ketika melawan Thailand dan Singapura di SEA Games yang notabene memiliki postur lebih tinggi dari para pemain timnas U23.

Perbaikan Transisi Permainan
Dahulu permasalahan ini merupakan momok bagi IS tetapi di ajang Sea Games kali ini terlihat sangat sukar bagi musuh untuk menciptakan gol dari situasi serangan balik, sebaliknya TImnas U23 sudah beberapa kali menghasilkan gol dari serangan balik tatkala melawan Thailand dan Singapura.

Pressing Ketat Tim Lawan sampai ke Pertahanan

Thailand dan Singapura melakukan strategi ini ketika melawan timnas U23 di SEA Games 2019, seakan mengulang euforia tatkala mereka berhasil mengalahkan Indonesia pada AFF 2018 dan kualifikasi AFC Cup 2019.

Namun layaknya Manchester City dan Barcelona, IS sukses membuat timnas U23 keluar dari situasi tersebut dan membungkam balik mulut sombong pemain Singapura dan mantan pelatih Thailand dengan permainan bola-bola pendek impresif, cepat, presisi, dan pergerakan tanpa bola dari pemain-pemainnya.

Pasca kekalahan dari Vietnam di final, ada beberapa kelemahan IS yang  menurut penulis masih harus diperbaiki seperti:

Sebagai pelatih IS belum bisa keluar dari seorang "good man"
Terlihat dari ucapan IS beberapa waktu lalu sebelum pertandingan final, "Yang membedakan Indonesia dan Vietnam adalah pelatih Vietnam sudah mendapat kartu kuning dua kali, saya belum." (BolaSkor.com, akses Desember 2019).

Menjadi catatan, terkadang menjadi sedikit "nakal" tentu diperlukan apalagi untuk ajang seperti turnamen yang pelaksanaannya relatif singkat. Strategi ini benar-benar dipakai oleh tim kepelatihan dan pemain Vietnam terlihat ketika pemain Vietnam bernomor punggung 5, Doan Van Hau melakukan invisible tackle kepada Evan Dimas.

Terlihat respons dari pelatih, tim, dan pemain Vietnam cenderung santai. Namun sebaliknya ketika ada pemain Vietnam terkena tekel maka dapat dilihat respons mereka begitu reaktif.

Negatifnya, mungkin akan terkena kartu, tetapi positifnya respons yang reaktif akan membuat wasit menjadi terprovokasi sehingga susah membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Tekel Horor yang sengaja dilakukan pemain Vietnam Doan Van Hau kepada Evan Dimas saat Final Sea Games 2019, sumber Tribunnews
Tekel Horor yang sengaja dilakukan pemain Vietnam Doan Van Hau kepada Evan Dimas saat Final Sea Games 2019, sumber Tribunnews

Respons Reaktif Tim Kepelatihan Vietnam Terhadap Pelanggaran yang dilakukan Pemain Timnas U23, Sumber Football5star
Respons Reaktif Tim Kepelatihan Vietnam Terhadap Pelanggaran yang dilakukan Pemain Timnas U23, Sumber Football5star
IS terlihat belum tertarik menggunakan strategi ini walaupun setidaknya taktik "nakal" lainnya juga sudah dipakai dengan drama cederanya para pemain timnas U23 tatkala di posisi unggul.

IS tidak perlu mengadopsi taktik invisible tackle dan reactive response ini di setiap laga, tapi sekiranya perlu digunakan pada saat tertentu kala menghadapi tim-tim dengan taktik yang sama atau di laga yang menentukan. Sebab yang akan selalu tertulis dalam sejarah adalah gelar juara, sedangkan permainan "nakal" perlahan akan dilupakan seiring berjalannya waktu.

Minimnya Variasi Strategi IS
Realitanya memang tidak ada strategi permainan yang memiliki kejayaan absolut dalam sepakbola seperti Catenaccio ala Italia, Jogo Bonito ala Brasil, Kick and Rush ala Inggris, Total Football ala Belanda, Tiki Taka ala Spanyol, False Nine ala Jerman, sampai Pepepa ala IS.

Kelemahan Pepepa IS saat ini terlihat masih monotonnya strategi yang dipakai. Serangan hanya diandalkan pada sisi sayap minim sekali adanya penetrasi dan kreasi dari lini tengah.

Pola pergantian pemain juga kerap tak mengubah strategi. Ketika Evan Dimas, Osvaldo, Firza, Egy, atau Saddil out yang masuk adalah pemain dengan posisi yang sama. Misal, Abimanyu sebagai pengganti Evan, Rafli menggantikan Osvaldo, atau Witan untuk mengganti Egy.

Selain itu permasalahan fokus dalam bertahan adalah salah satu kelemahan yang masih belum ditemukan obatnya.

Terkadang IS masih berani mengganti the winning team's squad pada saat pertandingan-pertandingan penting.

IS tidak menginstruksikan pemainnya untuk bermain lebih spartan
Sejatinya filosofi sepak bola Indonesia dan Vietnam memiliki kesamaan dengan mengandalkan passsing-passing pendek dan kecepatan, namun sekali lagi pembedanya hanya pada mental di mana para pemain vietnam lebih spartan dalam bermain untuk mencapai tujuan mereka menjadi juara. 

Risiko tentu saja ada berupa benturan fisik sampai cedera, dan peringatan sampai pemberian kartu oleh pengadil lapangan. Namun bukankah itu semua adalah sebuah keniscayaan di dalam permainan final sepak bola dengan tensi yang tinggi.

IS masih terlalu toleran terhadap pemain yang melakukan pelanggaran tidak perlu serta pemain yang membuang peluang untuk menciptakan gol
Sepertinya IS harus mulai mencontoh Hairdryer Treatmentnya Sir Alex Ferguson. Atau murkanya Guardiola terhadap Sterling, yang membuang peluang gol pada saat final piala FA 2018-2019. Padahal posisi City saat itu sudah juara dengan kemenangan telak 6-0 atas Watford.

Hal ini menjadi sangat penting pada saat melawan tim-tim kuat dikarenakan peluang minim yang disia-siakan serta kesalahan kecil pada area pertahanan dapat menjadi biang keladi kekalahan.

Pada akhirnya kembali lagi sepak bola bukanlah sebuah matematika pasti melainkan tentang bagaimana memaksimalkan kemampuan individu dan peluang, meminimalisasi kesalahan dalam sebuah permainan yang kolektif terlepas dari apapun strategi yang diterapkan di atas lapangan hijau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun