Mohon tunggu...
IMAM SYAFII
IMAM SYAFII Mohon Tunggu... Pelaut - KETUM AP2I

Ukirlah sejarah melalui tulisan!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Izin Rebutan, Perlindungan Dilempar, Kemana Pelaut Mengadu?

9 Oktober 2015   23:40 Diperbarui: 10 Oktober 2015   00:03 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi"][/caption]Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri yang berprofesi sebagai Anak Buah Kapal (ABK) dinilai jauh dari maksimal, bahkan sama sekali tak terkontrol oleh Pemerintah Indonesia. Posisi rentan dihadapkan kepada ABK asal Indonesia ketika mereka bekerja di luar negeri, di atas kapal tempat mereka bekerja, mereka kerap mendapatkan perlakuan kasar dari Kapten kapal dan Mandor di kapal yang kebanyakan jabatan tersebut di isi oleh Warga asing seperti China, dll.

Pasal 28 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN) menyebutkan, "Penempatan TKI pada pekerjaan dan jabatan tertentu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri". Menteri sebagaimana dimaksud, sesuai dengan bunyi Pasal 1ayat (17) UU PPTKILN adalah, "Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan".

Penjelasan atas Pasal 28 UU PPTKILN menyatakan, "Yang dimaksud dengan pekerjaan atau jabatan tertentu dalam Pasal ini antara lain pekerjaan sebagai Pelaut". Namun sejak disahkannya UU PPTKILN pada tahun 2004, Menteri yang diberi tugas mengeluarkan peraturan tata kelola TKI sesuai ketentuan Pasal 28 UU PPTKILN  tak juga mengeluarkan.

Hal tersebut berdampak pada kerancuan dan carut marutnya tata kelola TKI di sektor Pelaut, terbukti dengan beberapa instansi pemerintah yang terlihat saling rebut dan saling lempar dalam hal perijinan dan perlindungan. Misalnya, pada tanggal 10 April Tahun 2013 Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mengeluarkan Peraturan Kepala BNP2TKI Perka Nomor Per-12 KA/IV/2013 Tentang Tata Cara Perekrutan, Penempatan dan Perlindungan Pelaut Dikapal Berbendera Asing. Padahal jika dilihat dari Pasal 95 ayat (1) UU PPTKILN menyebutkan, "Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 mempunyai fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi".

Ya... BNP2TKI hanya sebagai pelaksana kebijakan, bukan pembuat kebijakan. Apakah hal tersebut, justru membuat BNP2TKI telah melanggar UU PPTKILN ?. Kemudian, pada tanggal 4 Oktober 2013 Kementrian Perhubungan juga mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 84 Tahun 2013 Tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal.

Sebenarnya Pekerja Indonesia di sektor Pelaut ada dibawah kewenangan siapa?, bukankah hal tersebut sudah diatur dalam UU PPTKILN?. Kenapa sejak tahun 2004, sejak disahkannya UU PPTKILN, Kementrian Ketenagakerjaan yang ditugaskan untuk membuat aturan tentang Penempatan dan Perlindungan Pelaut tidak/belum membuatnya hingga detik ini?

Ironisnya, jika terjadi sengketa antara TKI Pelaut baik dengan perusahaan pengirim di Indonesia maupun dengan perusahaan majikan di luar negeri (Owner), ketiga instansi pemerintah tersebut terkesan saling lempar?.

Berdasarkan pengalaman di lapangan dalam advokasi kasus-kasus yang terjadi sejak tahun 2012 hingga detik ini, sengketa pelaut dengan perusahaan belum menemui titik penyelesaian yang adil. BNP3TKI menyatakan jika pelaut bukan merupakan TKI, jika bukan kenapa BNP2TKI mengeluarkan Perka tentang Penempatan dan Perlindungan Pelaut di Kapal Berbendera Asing dan mewajibkan KTKLN?. Bahkan salah satu petugas BNP2TKI yang biasa ikut dalam proses penyelesaian kasus Pelaut dengan perusahaan melalui jalur mediasi menyatakan bahwa hanya BNP2TKI lah yang mau menerim aduan kasus tentang Pelaut.

Penulis juga sempat mendatangi Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) Kementrian Perhubungan (Kemenhub) untuk mengadukan kasus pelaut yang tidak dibayar hak gajinya selama bekerja 2 sampai 3 tahun di luar negeri, Hubla menyatakan bahwa kami sudah salah alamat. "Mas anda kalau mau ngadu gaji tidak dibayar jangan kesini, tapi ke Kemnaker. Karena itu ranahnya ketenagakerjaan, kalau mau ngadu seputar sertifikasi profesi baru datang kesini," ujar salah satu staf  Ditjen Hubla Kemhub.

Akibat dari carut marut tersebut, banyak kasus Pelaut yang terbengkalai penyelesaiannya. Kemnaker menyatakan jika perusahaan pengirim pelaut yang tidak terdaftar dalam perijinannya (SIPPTKIS), maka bukan merupakan kewenangan Kemnaker untuk mengawasi dan menindaknya. Lalu kewenangan siapa ?.

Berikut adalah bunyi penjelasan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 185 Concerning Revising The Seafarer's Identity Documents Convention, 1958 (Konvensi ILO No. 185 Tentang Perubahan Dokumen Identitas Pelaut, 1958) yang menyebutkan, (...Selain itu, sesuai dengan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang menyatakan bahwa “setiap Calon Tenaga Kerja Indonesia/Tenaga Kerja Indonesia mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” dan mengingat tenaga kerja pelaut merupakan bagian dari Tenaga Kerja Indonesia, maka para tenaga kerja pelaut ini wajib dilindungi yang dalam hal ini dokumen identitas pelaut merupakan bentuk lain dari Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) khusus untuk pelaut yang dikeluarkan oleh Pemerintah sesuai dengan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun