Mohon tunggu...
Frumens Arwan
Frumens Arwan Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa Filsafat

Seorang mahasiswa jurusan filsafat. Senang mendaki gunung, bermain gitar, membaca buku, dan menulis. Mencintai hanya seorang wanita di bumi ini.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Autentikkah Saya di Antara Kalian?

5 Januari 2020   21:47 Diperbarui: 7 Januari 2020   13:59 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi menemukan jati diri. (sumber: shuttersock via kompas.com)

"Siapa saya?" Saking sepelenya pertanyaan semacam ini, saya tidak pernah memberi porsi waktu yang lebih untuk menjawabnya. Setelah menginjak usia yang ke dua puluh, pertanyaan ini menjadi penting bagi saya mengingat angka 20 adalah gerbang menuju kedewasaan hidup yang menuntut saya untuk survive. 

"Autentikkah atau palsukah diri saya?" Kira-kira demikianlah rumusan lanjutan atas pertanyaan itu. Atas pertanyaan itu, saya mencoba melihat siapa diri saya.

Tenggelam

Setelah 20 tahun ini, hal yang sungguh-sungguh tidak saya temukan adalah diri saya sendiri. Wujud dari kehilangan diri ini adalah ketidakmampuan diri saya mewujudkan dan menunjukkan diri yang autentik. Tingkah laku, perkataan, dan pikiran saya sepenuhnya tergantung pada lingkungan di sekitar saya. Saya dipenuhi oleh kepalsuan. Saya tenggelam.

Saya menyebut kondisi ini sebagai ketenggelaman diri. Tenggelam artinya segala sesuatu yang saya tunjukkan ke luar diri saya tidak mampu menunjukkan diri saya yang autentik, yang asli. 

Pengaruh-pengaruh dari luar mendominasi segala sesuatu yang saya tunjukkan ke luar dari diri saya. Akibatnya, tindakan, perkataan, maupun pikiran saya tidak mewakili diri saya.

Ketenggelaman itu saya alami dalam banyak hal, entah itu dalam rutinitas, dalam formalitas, sistem, pekerjaan, kampus, keluarga, dan sebagainya. Di kampus, misalnya, saya lebih suka terlambat ramai-ramai bersama kawan-kawan saya, ketimbang masuk ke ruang kuliah lebih awal seorang diri. 

Atau di asrama tempat saya tinggal, misalnya, saya lebih memilih untuk patuh pada pimpinan, meski hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip hidup yang saya pegang. Masih banyak contoh lain yang menunjukkan bagaimana keindividuan saya hilang di tengah-tengah kerumunan itu.

Apa yang tampak di sini? Apa yang saya tunjukkan ke luar adalah apa yang mentah-mentah berasal dari luar, bukan apa yang berasal dari dalam diri saya. Saya adalah saya yang palsu.

Minggu yang lalu, misalnya, saya ke Gereja setelah disuruh bapak asrama saya agar mesti beribadah. Saya pergi dalam keadaan mengantuk. Semalaman saya begadang. Kalau tidak karena itu, saya tidak akan pergi ke gereja dan memilih melanjutkan tidur saya.

Apakah secara individu saya tampak di sana? Saya kira hampir tidak, bahkan tidak sama sekali. Semua hal yang saya alami selama ini hanya terjadi dalam lingkup kolektif, yang mana saya hanyalah salah satu unit terkecil di dalamnya. 

Keindividuan saya--yang saya anggap sangat berharga itu--tenggelam dalam tubuh-tubuh di kerumunan itu. Heidegger benar, saya tenggelam dalam semacam kerumunan.

Pengalaman di atas adalah salah satu wujud ketenggelaman diri saya yang tampak, artinya bisa diamati oleh orang lain. Belum lagi apa yang tidak tampak, yang hanya saya sendiri yang tahu. 

Saya ingin menceritakan satu hal ini kepada Anda. Bagi saya, dan hal ini baru saya rumuskan belakangan, hal terpenting dari sebuah pendidikan adalah kualitasnya. Entah hal itu membuatmu bahagia atau tidak, yang terpenting adalah kualitasnya. Dan ternyata saya salah dalam hal itu. Teramat salah. 

Saya masuk ke sebuah sekolah menengah terbaik di daerah saya. Dan saya tidak pernah bermimpi suatu saat bisa bersekolah di sana. Kesulitan saya di sana bukan soal tuntutan-tuntutan yang mesti saya penuhi, terutama soal akademik. Karena terutama dengan berbagai tuntutan itu, saya akhirnya bisa survive dengan pilihan-pilihan hidup yang saya ambil kemudian. 

Akan tetapi, ini soal makna hidup yang saya temukan. Soal perasaan bahagia dan tidak bahagia. Soal perasaan suka dan tidak suka. Soal betah dan tidak betah. 

Dan selama mengenyam pendidikan di sana, saya sebetulnya tidak pernah bahagia dan tidak pernah betah. Tentu pengakuan ini saya buat setelah sekian tahun menyembunyikannya. Semacam itulah saya.

Apa yang saya mau katakan. Orang seperti saya bahkan tidak mampu menyadari keterdesakkan dan kebutuhan paling mendasar dalam diri saya--bahkan selama bertahun-tahun seperti dalam cerita saya di atas, yakni soal makna hidup. Kenapa saya berada di sana? 

Apa yang saya dapat setelah berada di sana sekian tahun? Setelah terlempar ke sana, ke mana hidup saya selanjutnya? Dan saya tidak pernah berusaha mencari jawaban-jawaban itu. Saya seolah merasa nyaman dengan ketenggelaman diri saya. Yah, barangkali juga Anda.

Seseorang di depan Cermin

Apa yang sebenarnya hilang? Saya kehilangan refleksi diri. Kehilangan diri, seperti yang amat saya tekankan di atas tadi, bermula dari kehilangan refleksi akan diri. Saya kehilangan waktu saya untuk berdiri di depan cermin dan memandang seseorang di sana. 

Seseorang yang pada mulanya sangat asing, tetapi sebenarnya adalah bagian dari diri saya yang sedang memandangnya. Saya terlalu sibuk melihat diri saya berdasarkan ukuran di luar saya. 

Saya melihat diri saya bahagia, ketika kawan-kawan saya bahagia. Saya melihat diri saya teramat religius ketika saya berbondong-bondong ke Gereja bersama orang-orang yang seiman dengan saya.

Saya melihat diri saya sukses, ketika komunitas tempat saya berkarya menjadi sukses. Saya melihat diri saya sukses dalam hal akademis, misalnya, ketika saya melihat teman-teman kelas saya berhasil lulus dengan nilai yang memuaskan. Sekali lagi, diri yang autentik adalah diri yang terus merefleksikan diri.

 Yang terpenting dari berefleksi adalah pemberian waktu untuk diri sendiri. Selama ini saya tidak memberikan porsi waktu yang cukup untuk diri saya sendiri. 

Saya hanya tenggelam dalam arus-arus kebanyakan orang. Saya lebih mengutamakan kepentingan-kepentingan orang lain dibanding kebutuhan-kebutuhan mendasar diri saya sendiri. Altruisme bagaimanapun, membahayakan keindividuan saya jika dihayati tanpa memberi waktu pada diri sendiri.

Adalah naif untuk mengatakan bahwa selesai menulis tulisan ini, saya akan berubah secara total menjadi pribadi yang autentik. Tidak. Hal ini butuh proses yang panjang, bahkan berlangsung terus sepanjang perjalanan hidup saya. 

Paling tidak, hal pertama yang saya lakukan dan Anda lakukan adalah menyadari ketenggelaman diri itu. Kita bisa mencoba menjadi diri kita sendiri perlahan-lahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun