Mohon tunggu...
Frumens Arwan
Frumens Arwan Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa Filsafat

Seorang mahasiswa jurusan filsafat. Senang mendaki gunung, bermain gitar, membaca buku, dan menulis. Mencintai hanya seorang wanita di bumi ini.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Autentikkah Saya di Antara Kalian?

5 Januari 2020   21:47 Diperbarui: 7 Januari 2020   13:59 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi menemukan jati diri. (sumber: shuttersock via kompas.com)

Keindividuan saya--yang saya anggap sangat berharga itu--tenggelam dalam tubuh-tubuh di kerumunan itu. Heidegger benar, saya tenggelam dalam semacam kerumunan.

Pengalaman di atas adalah salah satu wujud ketenggelaman diri saya yang tampak, artinya bisa diamati oleh orang lain. Belum lagi apa yang tidak tampak, yang hanya saya sendiri yang tahu. 

Saya ingin menceritakan satu hal ini kepada Anda. Bagi saya, dan hal ini baru saya rumuskan belakangan, hal terpenting dari sebuah pendidikan adalah kualitasnya. Entah hal itu membuatmu bahagia atau tidak, yang terpenting adalah kualitasnya. Dan ternyata saya salah dalam hal itu. Teramat salah. 

Saya masuk ke sebuah sekolah menengah terbaik di daerah saya. Dan saya tidak pernah bermimpi suatu saat bisa bersekolah di sana. Kesulitan saya di sana bukan soal tuntutan-tuntutan yang mesti saya penuhi, terutama soal akademik. Karena terutama dengan berbagai tuntutan itu, saya akhirnya bisa survive dengan pilihan-pilihan hidup yang saya ambil kemudian. 

Akan tetapi, ini soal makna hidup yang saya temukan. Soal perasaan bahagia dan tidak bahagia. Soal perasaan suka dan tidak suka. Soal betah dan tidak betah. 

Dan selama mengenyam pendidikan di sana, saya sebetulnya tidak pernah bahagia dan tidak pernah betah. Tentu pengakuan ini saya buat setelah sekian tahun menyembunyikannya. Semacam itulah saya.

Apa yang saya mau katakan. Orang seperti saya bahkan tidak mampu menyadari keterdesakkan dan kebutuhan paling mendasar dalam diri saya--bahkan selama bertahun-tahun seperti dalam cerita saya di atas, yakni soal makna hidup. Kenapa saya berada di sana? 

Apa yang saya dapat setelah berada di sana sekian tahun? Setelah terlempar ke sana, ke mana hidup saya selanjutnya? Dan saya tidak pernah berusaha mencari jawaban-jawaban itu. Saya seolah merasa nyaman dengan ketenggelaman diri saya. Yah, barangkali juga Anda.

Seseorang di depan Cermin

Apa yang sebenarnya hilang? Saya kehilangan refleksi diri. Kehilangan diri, seperti yang amat saya tekankan di atas tadi, bermula dari kehilangan refleksi akan diri. Saya kehilangan waktu saya untuk berdiri di depan cermin dan memandang seseorang di sana. 

Seseorang yang pada mulanya sangat asing, tetapi sebenarnya adalah bagian dari diri saya yang sedang memandangnya. Saya terlalu sibuk melihat diri saya berdasarkan ukuran di luar saya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun