Awal munculnya fenomena tawuran pelajar ini, belum diketahui secara jelas. Tetapi, pemberitaannya  pertama kali muncul pada 1968 yang dimuat dalam Harian Kompas. Fenomena tawuran ini sepertinya sudah membudaya. Tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi, seperti yang terjadi pada kasus perkelahian antar kelompok pemuda yang terjadi di daerah Belawan, Sumatera Utara.Â
Dari situs Waspada Online disebutkan, perkelahian yang melibatkan pemuda dari Gudang Arang dan Belawan Lama ternyata sudah berlangsung sejak 1970-an. Parahnya, para orangtua yang seharusnya melerai, justru menjadi penonton.
Adanya provokator bisa jadi menjadi pemicu munculnya konflik. Luka lama yang belum sepenuhnya sembuh bisa jadi akan membuat seseorang menghasut orang lain untuk membenci kelompok atau orang yang menjadi musuhnya. Begitu seterusnya hingga generasi ke generasi. Begitu juga di kalangan pelajar . Mereka membentuk kultur permusuhan antar sekolah dengan menghasut para adik kelas untuk menyerang sekolah lain.
Apa yang harus dilakukan?
Masalah tawuran ini tidak hanya menjadi urusan satu pihak saja. Keluarga, Sekolah, Kepolisian, masyarakat lainnya harus menyikapi  masalah ini dengan lebih serius lagi.  Bila masalah tawuran ini terus menerus dibiarkan dan tidak ditindak secara tegas, maka disinyalir akan berdampak pada keutuhan bangsa dan negara.Â
Seperti yang dikatakan oleh Muhammad Hatta bahwa jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Semakin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta . Bagaimana bangsa ini akan menghadapi ancaman dari luar  bila generasi mudanya saja hobi membuat keributan di negaranya sendiri?
Sedari dulu, anak muda lah yang menjadi agen  perubahan. Mestinya generasi muda sekarang lebih menghargai apa yang sudah diperjuangkan oleh generasi muda pada jaman sebelumnya. Mengisi kemerdekaan bukan dengan huru-hara tetapi dengan hal-hal yang kreatif dan inovatif demi bangsa yang lebih kuat,maju dan bermartabat.