Mohon tunggu...
Frits IsakLake
Frits IsakLake Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial

make life better

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penyintas Covid dan Perilaku Empati

11 Februari 2021   20:48 Diperbarui: 11 Februari 2021   21:31 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam WA Grup Golongan Darah “O” banyak yang mengirimkan pesan meminta bantuan donor plasma convalescent bagi pasien penderita covid-19, dengan salah satu syarat adalah pernah terjangkit covid-19 dan sudah sembuh atau biasa disebut penyintas covid. Apa itu penyintas? 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata penyintas adalah orang yang mampu bertahan hidup. Arti lainnya dari penyintas adalah orang yang dapat bertahan terhadap kondisi yang membahayakan kelangsungan hidup. Jadi penyintas covid adalah orang yang mampu bertahan hidup melewati covid-19. Seseorang disebut penyintas setelah hasil Swap atau pcr dinyatakan negatif.

Banyak kasus permohonan bantuan donor plasma convalescent, banyak pasien yang akhirnya tidak tertolong karena tidak mendapatkan bantuan donor padahal data dari rilis pemerintah, per 9 Februari 2021, di Provinsi Nusa Tenggara Timur dari 6.659 kasus, sebanyak 3.463 orang atau 52 % penderita yang sembuh. 

Hal ini mengindikasikan bahwa dari banyak orang yang sembuh tetapi sedikit yang punya keinginan untuk menyumbangkan plasma convalescent untuk membantu orang yang terkonfirmasi positif. Hal ini dsebabkan karena beberapa faktor antara lain stigma yang terbangun saat seseorang atau sekelompok orang yang terkonfirmasi positif covid atau punya riwayat kontak erat dengan penderita covid.

Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) dalam websitenya menuliskan bahwa Di Indonesia, stigma sosial muncul dalam bentuk antara lain: (1) mengucilkan penyintas atau pasien yang telah sembuh dari COVID-19, karena dianggap masih dapat menularkan penyakitnya; (2) menolak dan mengucilkan orang yang berpindah dari satu daerah ke daerah lain; (3) mengucilkan etnis tertentu karena dianggap sebagai pembawa virus; (4) mengucilkan tenaga medis/kesehatan yang bekerja di rumah sakit, karena dianggap dapat menularkan virus corona; (5) menolak jenazah karena dianggap masih membawa virus yang dapat ditularkan kepada orang lain; (6) mengucilkan keluarga pasien, tenaga medis dan orang-orang yang berpindah tempat.

Stigma sosial muncul karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang fenomena pandemik yang sedang terjadi, adanya prasangka dan diskriminasi terhadap individu atau kelompok yang sudah mendapatkan label tertentu terkait dengan COVID-19. Tanpa disadari, stigma sosial ini bisa sangat melukai seseorang/kelompok, bahkan lebih berdampak negatif bagi kesehatan mental dibandingkan virusnya itu sendiri. 

Beberapa dampak yang bisa saja terjadi adalah sebagai berikut: (1) mendorong orang untuk menyembunyikan penyakit yang diderita untuk menghindari diskriminasi; (2) membuat orang tidak mau mencari perawatan kesehatan segera ketika mengalami gejala; (3) berkontribusi pada masalah kesehatan yang lebih berat, penularan berkelanjutan dan kesulitan dalam mengendalikan penyebaran virus corona; dan (4) penyintas covid tidak akan berkontribusi dalam memberikan donor plasma convalescent karena sakit hati akibat perlakuan saat masih menderita atau terpapar covid.

Ada banyak alasan orang menolong orang antara lain: (1) dengan menolong maka diharapkan orang akan membalas monolong kita; (2) menolong sebagai investasi masa depan, mana saat kita membutuhkan pertolongan dimasa akan datang atau saat dibutuhkan ada orang yang bersedia menolong; (3) menolong orang lain karena tidak ingin melihat ketidakadilan yang terjadi pada orang lain; (4) menolong orang lain akan meningkatkan harga diri dan mendapatkan penghargaan dari orang lain seperti ucapa terima kasih, dll.

Untuk membantu melawan stigma sosial serta mendorong orang lain (penyintas covid) untuk menolong/membantu mereka yang terpapar covid maka sudah saatnya kita menciptakan empati sosial. Daniel Batson (1991) mengatakan bahwa orang terkadang menolong orang lain untuk alasan pribadi, namun terkadang motif orang tersebut murni altruistik, dimana tujuan mereka yaitu hanya menolong orang lain, walaupun dalam menolong tersebut memerlukan pengorbanan yang besar bagi dirinya. 

Batson mengatakan, altruisme yang murni akan muncul ketika kita merasakan empati terhadap orang lain yang membutuhkan bantuan, yaitu menempatkan diri kita pada posisi orang lain serta merasakan emosi dan kejadian seperti yang mereka rasa. Empati adalah  kemampuan untuk menempakan diri sendiri pada posisi orang lain, dan merasakan emosi serta kejadian (misalnya kegembiraan dan kesedihan) seperti yang mereka rasakan.

Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) dalam websitenya menuliskan bahwa menurut Elisabeth Segal, penulis buku Social Empathy: The Art of Understanding Others, mendefinisikan empati sosial sebagai kemampuan untuk memahami orang lain, dengan merasakan atau memahami situasi kehidupan mereka dan sebagai hasilnya mendapatkan wawasan tentang ketidaksetaraan dan kesenjangan struktural. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun