Mohon tunggu...
Fristian Setiawan
Fristian Setiawan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Sapere aude

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Antara Manusia dan Krisis Definitif-nya

3 Desember 2022   07:04 Diperbarui: 3 Desember 2022   07:23 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perdebatan mengenai definisi manusia memang nampaknya tak pernah berhenti dari zaman Socrates hingga zaman Joko Widodo. Sudah berbagai macam upaya yang dilakukan para filsuf besar untuk mendefinisikan apa itu dan siapa itu manusia. Mulai dari Plato yang melihat manusia sebagai makhluk dengan dualisme jiwa dan raga. Hegel yang melihat bahwa manusia dan sejarah sejatinya berada dalam kendali roh absolut. Sampai filsuf Spanyol kontemporer bernama Ortega Y. Gasset, yang mendefinisikan bahwa manusia merupakan makhluk yang mampu merenungkan diri. 

Namun bila dilihat secara lebih mendalam, dengan segala macam tentativitas (ketentativ-an) yang dimiliki oleh manusia berdasarkan latar belakang budayanya, tidak ada definisi yang mampu mendefinisikan manusia secara universal. Atau memang jangan-jangan manusia adalah makhluk yang tak terdefinisikan secara universal? Jika demikian, lantas mengapa eksistensi manusia di muka bumi ini muncul dengan berbagai macam keberagamannya? 

Bila menggunakan perspektif agama Abrahamik (karena penulis belum mempelajari lebih jauh terkait agama-agama di luar agama Abrahamik), maka pertanyaan yang muncul adalah untuk apa "Dia yang Transenden" menciptakan berbagai macam perbedaan dalam setiap individu manusia, jika pada akhirnya perbedaan tersebut yang menjadi masalah karena tidak bisa ditarik satu definisi yang universal? 

Bukan bermaksud untuk menafikan perbedaan/melihat sebuah perbedaan sebagai sesuatu yang berada dalam bayang-bayang ketiadaan. Namun jika di analogikan ke dalam perbedaan buku-buku, ada satu kesamaan yang dapat dilihat yakni bahwa buku merupakan kumpulan kertas-kertas yang berisi tulisan baik fiksi maupun fakta yang dibaca oleh manusia dengan tujuan tertentu. Memang kemudian akan ada antitesis bahwa, buku tidak akan bisa disamakan dengan manusia. Karena buku benda mati, sedangkan manusia itu makhluk hidup. 

Maka coba kita ganti analoginya dengan analogi kucing. Perbedaan yang dimiliki antara kucing anggora, persia, dan kucing kampung tetap masih bisa ditarik benang merahnya. Yakni kucing merupakan hewan berkaki empat yang berinteraksi dengan mengeluarkan suara "meong". Namun akan ada antitesis lagi bahwa itu merupakan definisi kucing secara jasmaniah, bukan secara substansial. Manusia pun mampu didefinisikan secara jasmaniah, yang menjadi masalah adalah bagaimana mendefinisikan manusia secara utuh dan universal.

Argumen tersebut memang ada benarnya. Demikian halnya jika yang digunakan adalah perspektif ateis. Ketiadaan tuhan menjadikan pertanyaan baru lagi, bahwa mengapa perbedaan manusia secara DNA dan sifat-sifat biologis, psikologis, dll tidak/belum bisa dijawab persamaan mendasarnya selain bahwa manusia itu merupakan makhluk sosial, makhluk dinamis, atau mungkin makhluk paradox. Yang sebetulnya definisi makhluk sosial dan makhluk dinamis juga dapat kita temukan dalam binatang-binatang di sekeliling kita. Mungkin hanya makhluk paradox yang bisa mendekati jawaban dari persamaan mendasarnya. 

Kendati demikian, itu pun belum cukup untuk membuktikan secara universal bahwa manusia memang sejatinya makhluk paradox. Ini disebabkan karena jika memang manusia merupakan makhluk paradox, lantas mengapa ada manusia-manusia yang secara radikal memilih pilihan-pilihan tertentu dalam hidupnya? 

Kembali pada argumen Ortega, manusia merupakan makhluk yang mampu merenungkan diri. Apa betul manusia merupakan makhluk yang mampu merenungkan diri? Jika demikian mengapa masih banyak manusia yang bunuh diri? Data WHO tahun 2019 menyebutkan bahwa setidaknya ada 800 ribu manusia yang bunuh diri setiap tahunnya di dunia. Apakah 800 ribu manusia tersebut tidak bisa digolongkan ke dalam golongan manusia yang manusia? 

Jika manusia memang mampu merenungkan diri, seharusnya angka bunuh diri tidak akan sebesar itu. Karena bunuh diri bukan cara yang tepat untuk mengimplementasikan hasil perenungan (meski dalam tradisi Stoisisme terdapat "ajaran" mengenai bunuh diri). Lalu apa dan siapa sejatinya manusia itu? Tulisan ini pada dasarnya lebih bermaksud kepada stimulus berpikir alih-alih memberikan pandangan penulis mengenai jawaban siapa itu manusia secara utuh dan universal. 

Karena, yang menjadi masalah adalah seringkali konstruksi standar kebenaran itu identik dengan relasi kuasa, relasi kuasa identik dengan manusia, sedangkan untuk mendefinisikan manusia secara utuh dan universal saja masih menjadi kesulitan tersendiri. Maka, jangan-jangan kebenaran yang selama ini diyakini tak lain hanyalah buah dari kepentingan pihak-pihak tertentu yang alih-alih ingin mengatur segala sesuatunya menjadi teratur, justru berkeinginan untuk menanamkan standarisasi tersebut demi ego/kesenangan pribadinya. 

Terakhir, pertanyaan mengenai bagaimana kita menyadari bahwa hari ini kita masih hidup sebagai manusia hanyalah dapat terjawab jika definisi manusia secara utuh dan universal sudah mampu terjawab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun